Oleh: Tiara

Marsinah, seorang aktivis buruh yang berlidah tajam dan organisator terpelajar. Ia merupakan seorang buruh dari PT. Catur Putera Surya (CPS), pabrik arloji di Siring, Porong, Jawa Timur. Di mana buruh dari PT. CPS ini digaji sebesar Rp. 1700 per bulan. Padahal jika berdasarkan KepMen 50/1992, diatur bahwa UMR Jawa Timur ialah Rp. 2.250. Saat itu Pemerintah Provinsi Surabaya meneruskan aturan tersebut dalam bentuk Surat Edaran Gubernur KDH Tingkat I, Jawa Timur, 50/1992, yang isinya meminta bahwa para pengusaha untuk menaikkan gaji para buruh sebesar 20 persen.

Pada saat itu kebanyakan dari pengusaha menolak aturan tersebut, termasuk perusahaan tempat Marsinah bekerja yaitu PT. CPS. Salah satu rekan Marsinah bernama Bianto, menuturkan bahwa manajemen PT. CPS hanya akan mengakomodasikan kenaikan upah dalam bentuk tunjangan, bukan dalam bentuk upah pokok. Hal ini menimbulkan permasalahan, karena jika buruh tidak masuk bekerja dengan alasan sakit ataupun melahirkan maka tunjangan akan dipotong. Negosiasi pun dilakukan antara buruh dengan perusahaan, tetapi negosiasi ini mengalami kebuntuan. Oleh karena itu, para buruh dari PT. CPS menggelar mogok kerja pada tanggal 3 Mei 1993. Di mana jumlah buruh yang mogok saat itu adalah 150 dari total 200 buruh perusahaan PT. CPS.

Para buruh yang melakukan aksi mogok kerja ini membawa 12 tuntutan, yaitu kenaikan upah pokok dari Rp. 1.700 menjadi Rp. 2.250, perhitungan lembur sesuai keputusan menteri, penyesuaian cuti haid dengan upah minimum, penjaminan kesehatan karyawan, pengikutsertaan karyawan dalam program ASTEK (Asuransi Sosial Tenaga Kerja), pembayaran THR (Tunjangan Hari Raya) satu kali gaji, kenaikan uang makan dan transportasi, pembubaran SPSI (Serikat Pekerja Seluruh Indonesia), pembayaran cuti hamil tepat waktu, penyamaan hak karyawan lepas training (pelatihan) dengan mereka yang sudah bekerja satu tahun, peniadaan pencabutan hak-hak karyawan yang sudah diberikan, serta pelarangan mutasi, intimidasi, dan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karyawan yang berunjuk rasa.

Pada tanggal 4 Mei 1993, semakin banyak buruh yang mengikuti aksi mogok kerja dengan berunjuk rasa di depan pabrik mereka. Di sinilah peran Marsinah semakin menonjol, karena Marsinah yang melarang buruh untuk menuruti permintaan pihak dari manejemen untuk kembali bekerja. Lalu dilakukan negosiasi dimana dihadiri oleh petugas Departemen Tenaga Kerja, petugas Kecamatan Siring, serta perwakilan polisi dan koramil. Perundingan antara perusahaan dan para buruh menghasilkan beberapa kesepakatan yang berpihak pada perbaikan nasib buruh, kecuali membubarkan SPSI di tingkat pabrik. Hal ini disebabkan pimpinan perusahaan menganggap hal itu menjadi kewenangan internal SPSI.

Namun pada tanggal 5 Mei 1993, 13 buruh datang ke markas kodim Sidoarjo. Di sana dalam suasana tertekan dan intimidatif, mereka di PHK secara sepihak. Mengetahui ketiga belas rekannya dipaksa untuk mengundurkan diri, Marsinah meminta salinan surat pengunduran diri tersebut dan surat kesepakatan dengan manejemen PT. CPS. Karena  di dalam surat kesepakatan terdapat  tuntutan yang diterima dari 12 tuntutan, termasuk poin mengenai pengusaha dilarang mutase, intimidasi, dan PHK (Pemutusan Hubungan Kerja) karyawan yang berunjuk rasa. Itulah terakhir kali Marsinah terlihat.

Tepat 28 tahun lalu, tepatnya tanggal 8 Mei 1993. Marsinah ditemukan sudah tidak bernyawa di sebuah gubuk pematang sawah di desa Jagong, Nganjuk. Kemudian jenazah Marsinah divisum di Rumah Sakit Umum Daerah Nganjuk, pimpinan Dr. Jekti Wibowo. Di mana hasil visum menunjukkan adanya luka robek tak teratur sepanjang 3 cm dalam tubuh Marsinah. Luka tersebut menjalar mulai dari dinding kiri lubang kemaluan sampai ke dalam rongga perut. Di dalam tubuhnya pula, ditemukan serpihan tulang dan tulang panggul bagian depan hancur. Selain itu juga, selaput dara Marsinah robek, kandung kencing dan usus bagian bawahnya memar. Rongga perutnya mengalami pendarahan kurang lebih satu liter.

Pembunuhan Marsinah sangat menyedot perhatian publik, bukan hanya Jawa Timur dan Indonesia, tetapi juga internasional. Hal ini pun sampai hingga ke Konferensi tentang Hak Asasi Manusia (HAM) di Jenewa, Swiss dan Wina, Australia. Besarnya perhatian ini tidak lantas membuat makin terangnya pengungkapan kasus.

Sehingga berdasarkan pemaparan di atas, saya berasumsi bahwa kasus pembunuhan Marsinah ini membuktikan penegakkan HAM di Indonesia masih sangat lemah. Hal ini dapat terjadi karena lemahnya kemampuan institusi negara dalam penghormatan, perlindungan dan juga dalam pemenuhan HAM di indonesia. Juga dipicu karena adanya budaya aparat dalam penghormatan dan perlindungan HAM, para aparat negara ini minim terhadap pemahaman pada pendekatan dan prinsip dari Hak Asasi Manusia. Padahal dalam penegakkan HAM, aparat memiliki peranan yang sangat penting. Tetapi, jika pemahaman serta perlindungan dalam pemenuhan HAM para aparat ini masih saja minim, maka tidak menutup kemungkinan akan ada Marsinah-Marsinah lainnya. 

Dalam pembunuhan Marsinah ini termasuk kasus HAM berat, karena telah melanggar pasal 9 UU No. 26 Tahun 2000, di mana terdapat unsur kejahatan manusia dan juga mengandung unsur pelanggaran hak asasi manusia. Serta juga terdapat dasar hukum yang dilanggar pula, terdapat pada sila ke 2 yaitu “kemanusiaan yang adil dan beradab”, yaitu terdapat penyiksaan serta pembunuhan yang sama sekali tidak beradab. Kebebasan Marsinah beserta kawan-kawannya dalam mengeluarkan pendapat atau menyuarakan aspirasinya berakibat dengan terbunuhnya Marsinah. Padahal, setiap warga negara memiliki kebebasan dalam mengemukakan dan menyampaikan pendapat baik secara tulisan maupun lisan yang bebas dan bertanggung jawab.

Penyunting: Aneu Rizky Yuliana