Sebuah Persepsi Iftihal Muslim Rahman, Mahasiswa Ilmu Sosial dan Ilmu Politik 2015

Gaungan “Hidup Mahasiswa”, “Hidup Rakyat Indonesia” sampai “Reformasi dikebiri” bertebaran dimana–mana, kegelisahan itu sampai kepada seluruh wilayah Indonesia; yang mengartikan Indonesia sedang tidak baik-baik saja. Namun, demikian hal itu terjadi, para politisi masih menganggap bahwa kegelisahan mahasiswa ini ditunggangi kepentingan oknum tertentu, sedangkan dalam dunia mahasiswa tak lagi awam akan aksi yang ditunggangi, jika memang aksi ini ditunggangi kepentingan oknum lain, tidak mungkin seluruh hati mahasiswa merasa gelisah. Aksi dimana–mana, media daring ramai akan protes pada Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), tidak ada yang tidak merasa gelisah dengan semua aturan yang dirancang ini sebab begitu bermasalah.

Gugatan demi gugatan hadir, protes dimana–mana, tetapi kata “tunda” masih saja jadi kata paling elok dari pemerintah untuk diungkapkan kepada masyarakat. Mosi tidak percaya dikeluarkan oleh para mahasiswa, tetapi tak nampak anggota DPR cemas dengan semua ini. Adapun Revisi Undang–Undang (RUU) yang dituntut untuk tidak disahkan ialah RUU Pemasyarakatan (PAS), RUU Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), RUU Pertahanan, dan Revisi Kitab Undang–Undang Hukum Pidana (RKUHP). Pemerintah belum mengambil tindakan tegas atas hal ini, sedangkan mahasiswa sendiri belum berhenti berjuang untuk menegakkan keadilan akan Indonesia yang sedang sakit ini.

Pasal–Pasal kontroversi dalam RKUHP ialah tentang Korupsi (Pasal 604), Alat Kontrasepsi (Pasal 414 dan 416), Perzinaan (Pasal 418), Penghinaan Presiden (Pasal 218-220), Santet (Pasal 252), Aborsi (Pasal 251, 470-472), Gelandangan (Pasal 432), dan tentang Unggas (Pasal 278-279). Pasal–Pasal ini dianggap tidak masuk akal dan merugikan masyarakat, pun menguntungkan pihak pemerintah juga oknum–oknum yang tidak bertanggung jawab serta begitu tirani dengan sikap dalam Pasal tersebut yang mencederai Hak Asasi Manusia (HAM).

Adapun sikap pemerintah yang seolah gagap dalam memberikan solusi dengan bukti ditundanya terus pengesahan RUU sedangkan kita tahu bahwa Undang–Undang yang dibuat akan tetap disahkan setelah 30 hari pernyataan sikap presiden yang menunda pengesahan ini, sebagaimana proses pembuatan Undang–Undang ialah melalui usulan–usulan Presiden, Dewan Perwakilan Daerah, hingga DPR RI langsung. RUU dari presiden atau DPD atau DPR RI ini nantinya dibahas dua tingkat pembicaraan mengenai RUU yang dimaksud, kemudian disetujui oleh DPR RI hingga ditandatangani presiden dan jadilah sebuah Undang–Undang.

Besarnya tuntutan mahasiswa pada aksi di hampir seluruh Indonesia pada tanggal 23 sampai 25 September 2019 kemarin ialah ditolaknya beberapa RUU tersebut, namun, penolakan–penolakan ini justru dijawab dengan kata menunda dari presiden, bahkan tanggapan dari DPR RI sendiri tetap ingin menyetujuinya, seperti statement dari Fahri Hamzah terkait RUU KPK pada acara Mata Najwa tanggal 25 September 2019, “kan saya mewakili rakyat, rakyat melihat korupsi kok enggak selesai–selesai, saya kan mendengar masyarakat, dia bilang kok enggak selesai–selesai tiap hari ditangkap, tiap hari kok enggak selesai?” katanya. Hal ini menjadi pandangan yang sangat miris melihat korupsi terjadi bukan karena kinerja KPK yang tidak baik, melainkan adanya regulasi yang kurang tegas sehingga korupsi di Indonesia masih menjadi hal biasa dan dibudayakan hingga hari ini. Dengan lemahnya KPK, maka janji–janji Jokowi saat kampanye pun seolah kebohongan semata bahwa jika dirinya terpilih sebagai presiden lagi, maka KPK akan diperkuat; yang kenyataannya kini KPK justru dilemahkan oleh RUU KPK ini.

Pandangan demi pandangan hadir, negara tidak memberikan solusi terbaiknya untuk menyelesaikan persoalan sosial yang kursial, namun justru memberikan kembali masalah lain, pemerintah yang gagap solusi ini akhirnya melahirkan masalah yang lagi–lagi dibalas dengan masalah lain. Sedangkan daripada itu, tanpa kita sadari selama ini rakyat Indonesia melawan para serakah yang kita sebut penjajah, bahkan seharusnya para serakah dalam negeri kita ini pantas disebut penjajah sebab mereka (oknum–oknum yang serakah) telah membuat negeri ini tidak sejahtera, bahkan mengikat suara masyarakat yang bising akan kritikan. Dengan solusi yang tidak kunjung dihadirkan atau sekiranya tidak menyelesaikan masalah, jengahnya kritikan, maka lebih baik kritikan tersebut dibunuh sama sekali agar damai dan nyaman para oknum ini menguras kekayaan di bumi pertiwi.

Inilah mengapa banyak mahasiswa dan masyarakat yang turun ke jalan, menyampaikan aspirasinya secara langsung, bahkan di beberapa daerah mereka memberanikan diri untuk berdemonstrasi, jelas untuk menyuarakan keadilan yang mana pemerintah telah pelan–pelan mengebiri hak rakyat, mencederai reformasi, membuat Indonesia miskin demokrasi, jika mahasiswa tetap diam, maka sama saja Indonesia melanggengkan niat para oknum untuk menjerat rakyat dengan aturan–aturan yang tidak masuk akal dan hanya menguntungkan DPR RI, pemerintah sampai para korporasi; yang akhirnya rakyat kecil semakin kecil dan tidak dapat hidup sejahtera di negerinya sendiri.

Adapun hal menyedihkan yang rakyat lupakan ialah betapa aksi di bulan September ini menjadi luka banyak pihak; orang tua yang mendapati anaknya luka–luka, pingsan di jalan, keluarga para aparat yang kocar–kacir menunggu kepulangannya di atas anarkisme yang terjadi hingga perjuangan anak sekolahan sebut saja STM untuk ikut serta membantu massa aksi yang sudah mulai lelah berdiri tegap. Lebih daripada itu ialah DPR RI yang masih tenang dalam gedungnya, pulang selamat sampai di rumah, bungkam keputusan yang ditolak rakyat dan hanya diam menyaksikan keramaian di luar gedungnya; istananya. Keramaian itu ialah antara massa aksi dan juga aparat yang bertugas.

Media sosial ramai akan tindakan represif aparat atau bahkan aparat yang dibela atau membela diri atas aksi tersebut, sedang substansi RUU yang ditolak massa aksi ini digeser dikesampingkan. Apakah ini yang diinginkan para pejabat itu? Agar fokus berubah, anarkis jadi titik tumpu, sedangkan aturan–aturan ini belum juga menemui titik akhir; akan menjadi apa? Ditolak atau diterima? Berbagai DPRD di Indonesia mempunyai sikapnya masing–masing, ada yang diam, ada pula yang ikut menolak, menerima massa aksi masuk ke dalam gedung dan berdialog dengan massa aksi, menerima tuntutannya untuk menolak beberapa RUU itu untuk disahkan, contohnya DPRD Kota Tasikmalaya dan DPRD Kota Surabaya.

Tidak ada hal lain yang dapat dilakukan kecuali menolak seluruh aturan yang kacau ini, di mana HAM dilanggar, KPK dilemahkan dan para pejabat yang semakin tenang dengan aturan yang melemahkan ruang gerak masyarakat, demokrasi telah dikebiri. Jangan berikan celah untuk pemerintah mematikan demokrasi sebab reformasi sudah pernah bergaung dan oknum–oknum yang ada di bangku pemerintah, di bangku legislatif bisa jadi mereka yang pernah menggaungkan reformasi di tahun 1998, jangan biarkan penjara ramai oleh mereka yang memperjuangkan hak manusia sebagaimana-mestinya namun para penjahat berdasi hingga kriminalitas yang lebih keji justru dikesampingkan. Maka daripada itu, tolak segala bentuk ketidakadilan.

Penyunting: Yanifa RS