Era digital kini dijanjikan sebagai solusi masa depan sekaligus kebutuhan mendesak dalam pengelolaan keuangan negara, terutama untuk mengoptimalkan penerimaan pajak dan pendapatan non-pajak. Namun, penerimaan pajak Indonesia masih jauh tertinggal dibandingkan negara-negara maju. Pada tahun 2023, Direktorat Jenderal Pajak (DJP) mencatat penerimaan pajak mencapai sekitar Rp1.869,23 triliun, naik 8,9 persen dibandingkan tahun sebelumnya yang sebesar Rp1.716,77 triliun. Meski demikian, rasio pajak terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) tetap stagnan di sekitar 10 persen, jauh lebih rendah dibandingkan negara-negara anggota The Organization for Economic Co-operation and Development (OECD) seperti Korea Selatan dan Jepang yang mencapai lebih dari 24 persen.
Data juga menunjukkan bahwa dari total 19,27 juta wajib pajak yang terdaftar, hanya sekitar 10,16 juta yang secara aktif melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (SPT). Artinya, hampir separuh wajib pajak tersebut tidak aktif, sebuah tanda nyata bahwa kepatuhan pajak masih menjadi persoalan besar. Di sisi lain, penetrasi internet nasional memang sudah cukup tinggi, sekitar 79,5 persen, namun kenyataannya akses digital di wilayah 3T (tertinggal, terdepan, dan terluar) masih sangat terbatas, hanya sekitar 20 persen. Kondisi ini berpotensi menimbulkan ketidakadilan dalam digitalisasi pajak, dan jika kesenjangan tidak segera diatasi, akan memperlebar jurang ekonomi.
Lantas, muncul pertanyaan, apakah Indonesia benar-benar siap menghadapi era digitalisasi dalam pengelolaan pajak dan penerimaan negara? Apakah teknologi digital yang gencar dikembangkan sudah benar-benar mampu menjangkau seluruh lapisan wajib pajak dan meningkatkan kepatuhan secara merata? Atau jangan-jangan, kita terlalu cepat mengklaim keberhasilan tanpa terlebih dahulu menyelesaikan persoalan mendasar yang tersembunyi di balik kemajuan teknologi? Selain itu, bagaimana kesiapan infrastruktur keamanan data dan sumber daya manusia (SDM) yang mengoperasikan sistem digital ini?
Kepatuhan wajib pajak menjadi tantangan utama yang tidak bisa dipandang sebelah mata. Data yang ada mengindikasikan bahwa hampir separuh wajib pajak tidak aktif melaporkan SPT mereka, menunjukkan digitalisasi semata belum menjadi solusi efektif. Teknologi yang ada pun belum mampu menjangkau kelompok wajib pajak yang selama ini sulit diakses. Bahkan, digitalisasi justru berpotensi memperkuat ketimpangan dan semakin meminggirkan kelompok tertentu.
Sementara itu, aspek keamanan data wajib pajak menjadi ranah yang sangat rentan dan penuh teka-teki. Pada September 2024, konsultan keamanan siber mengungkap bahwa sekitar 6 juta data Nomor Pokok Wajib Pajak (NPWP) warga Indonesia bocor dan diperjualbelikan di dark web seharga Rp150 juta. Informasi yang bocor mencakup NPWP, Nomor Induk Kependudukan (NIK), alamat, nomor telepon, dan email. Jika infrastruktur keamanan digital belum cukup tangguh menghadapi serangan siber, kepercayaan masyarakat akan terus menurun, yang tentunya menghambat partisipasi mereka dalam sistem perpajakan.
Tak kalah penting, kesiapan SDM di DJP dan instansi terkait juga menjadi tantangan serius. Data dari Badan Kepegawaian Negara (BKN) menunjukkan nilai kualifikasi pegawai naik dari 21,11 menjadi 22,09 dan nilai kompetensi dari 30,61 menjadi 32,41. Meski ada perbaikan, peningkatan ini masih tertinggal dari laju transformasi teknologi. Tanpa lompatan signifikan, digitalisasi berisiko memunculkan jurang antara kecanggihan sistem dan kemampuan penggunanya. Sebab itu, teknologi secanggih apa pun akan menjadi ilusi kemajuan jika tidak ditopang SDM yang siap mengoperasikannya.
Di samping itu, literasi digital dan pajak masyarakat juga masih jauh dari kata ideal. Sejumlah survei menunjukkan bahwa tingkat pemahaman wajib pajak terhadap layanan digital masih tergolong rendah, akibatnya separuh masyarakat masih kesulitan menggunakan fasilitas yang sudah disediakan pemerintah. Tanpa edukasi yang memadai, digitalisasi sulit memperluas basis pajak. Pertanyaannya, apakah pemerintah sudah serius membangun literasi, atau hanya fokus pada teknologi?
Selain potensi besar, Kristianti & Kurniasi (2024) menyatakan bahwa ketergantungan pada teknologi digital juga membawa risiko gangguan sistem dan serangan siber. Serangan ransomware yang pernah menimpa sejumlah lembaga pemerintahan di Indonesia mengingatkan kita betapa rapuhnya sistem digital jika tanpa perlindungan memadai. Sudahkah pemerintah menyiapkan sistem cadangan (backup) dan rencana kontinjensi yang matang? Risiko downtime yang berkepanjangan bisa berdampak pada penerimaan pajak nasional secara signifikan, sehingga hal ini harus menjadi perhatian utama.
Meskipun begitu, teknologi digital tidak otomatis meniadakan peluang manipulasi data dan penghindaran pajak. Sistem audit digital dan pengawasan berbasis big data memang menjanjikan peningkatan transparansi, tetapi kejahatan siber juga semakin canggih. Apakah pengawasan dan regulasi yang ada sudah cukup kuat untuk mengantisipasi modus-modus baru tersebut? Jika tidak, potensi kerugian negara akibat kebocoran pajak justru bisa bertambah besar.
Terakhir, masa depan penerimaan negara Indonesia di era digital memang penuh harapan, namun tantangan dan risiko yang mengiringinya tidak boleh diabaikan. Dari apa yang saya lihat, tanpa kesiapan infrastruktur, pengembangan SDM, penguatan keamanan data, serta literasi masyarakat yang merata, semua jargon solusi hanya akan berakhir sebagai ilusi semu yang tak menyentuh akar persoalan. Oleh karena itu, tantangan sesungguhnya adalah berani jujur mengakui kelemahan dan menutup celah sebelum terlambat. Jika hal ini diabaikan, kita bukan melangkah menuju masa depan yang lebih baik, melainkan berjalan di atas jembatan rapuh sambil berharap tak runtuh.
Penulis: Silvia Ripa Nurkaromah
Referensi
APJII. (2024). Jumlah Pengguna Internet Indonesia Tembus 221 Juta Orang. https://apjii.or.id/berita/d/apjii-jumlah-pengguna-internet-indonesia-tembus-221-juta-orang
Badan Kepegawaian Negara (BKN). (2025). Laporan Kinerja BKN Tahun 2024. https://www.bkn.go.id/unggahan/2025/03/1.-LAPORAN-KINERJA-BKN-TAHUN-2024.pdf
Badan Pusat Statistik (BPS). (2025). Rasio Penerimaan Pajak terhadap PDB. https://www.bps.go.id/id/statistics-table/2/MTUyOSMy/rasio-penerimaan-pajak-terhadap-pdb.html
DDTC News. (2024). Ada 19,27 Juta WP yang Wajib Lapor SPT Tahunan 2023, DJP Fokus Hal Ini. https://news.ddtc.co.id/berita/nasional/1801541/ada-1927-juta-wp-yang-wajib-lapor-spt-tahunan-2023-djp-fokus-hal-ini
Direktorat Jenderal Pajak (DJP). (2024). Statistik Penerimaan Pajak Tahun 2023 dalam Angka. https://www.pajak.go.id/index.php/id/artikel/statistik-penerimaan-pajak-tahun-2023-dalam-angka
Kristianti, N., & Kurniasi, R. (2024). Peraturan dan Regulasi Keamanan Siber di Era Digital. Satya Dharma: Jurnal Ilmu Hukum, 7(1), 297–310. https://doi.org/10.33363/sd.v7i1.1243
Tempo.co. (2024). Polemik Data Pribadi: 5 Kasus Kebocoran Data di Indonesia Selama 2023-2024. https://www.tempo.co/digital/polemik-data-pribadi-5-kasus-kebocoran-data-di-indonesia-selama-2023-2024-2052924
Trading Economics. (2025). South Korea Corporate Tax Rate. https://id.tradingeconomics.com/south-korea/corporate-tax-rate