Oleh: Safitri Dina Prameswari
Senyum tidak pernah hilang dari wajah Viona sejak dari Bandara Internasional Soekarno Hatta hingga pesewat yang ia tumpangi mendarat di Bandara John F. Kennedy. Dengan cepat ia mengurus segalanya baik itu imigrasi dan bagasi, hingga ia menaiki taksi yang akan mengantarnya ke apartemen yang akan ia tempati selama berada di New York.
Viona melemparkan pandangannya ke luar jendela. Beberapa saat ia larut dengan suasana New York pada malam hari yang ia lihat dari kaca jendela. Pikirannya berkelana pada satu bulan yang lalu, yang mana dia mendapat email dari kampus impian. Vio berhasil lolos divisi musik Juilliard School yang terletak di Licoln Center for the performing arts di New York City, Amerika Serikat. Gelar Bchelor of Music ada di depan mata. Entah sudah berapa lama dia melalmun, hingga tidak sadar bahwa dia sudah mendekati lokasi yang ia tuju.
“Excuse me, Miss. We already arrive at your destination,” kata si supir taksi.
Vio terlonjak dari lamunannya, segera ia membayar dan mengambil barang bawaannya dari taksi. Ia mempercepat langkahnya menuju apartemen. Setelah sampai di depan pintu, ia segera masuk dan meletakkan barang-barangnya. Apartemen ini tidak besar, tapi cukup nyaman untuk orang yang tinggal seorang diri. Apartemen ini didominasi warna putih bersih pada dinding dan beberapa perabotannya. Vio segera melangkah ke kamar yang berada di sudut apartemen. Tanpa basa-basi, ia segera membaringkan tubuhnya yang terasa sangat penat ke pembaringan. Ia segera mengambil ipod,memutar lagu kesukaannya, lalu memejamkan mata. Entah mengapa, rutinitas ini yang paling ia sukai.
Setelah cukup lama ia berbaring, mata Vio terpaku pada jendela di sudut kamar dengan tirai yang terbuka. Tirai tersebut menampakkan jalanan kota New York. Ia segera menghampiri jendela tersebut dan melihat gemerlap lampu jalan dan papan iklan yang besar.
“Welcome to New York, Vio!” ucapnya pada diri sendiri
Ini baru awal dari perjalanan hidupnya. Waktu akan bergulir dan mungkin akan meninggalkan sebongkah kenangan. Entah itu akan terasa manis, atau pahit. Vio akan berjalan menghadapi segala rintangan yang menghadang dan melewati jalanan terjal yang akan mengoyakkan semangat. Ia siap melawan apa pun yang siap melemparnya pada jurang keputusasaan.
Keesokan harinya.
Viona menghela napas perlahan. Ia berjalan menelusuri lorong demi lorong konservatorium musik yang terkenal untuk sekedar mencari ketenangan.
Sepi.
Akhirnya, Vio beranjak keluar dan duduk di hamparan rumput lalu bersandar di bawah pohon besar. Ia mengamati setiap daun yang meninggalkan rantingnya dan menikmati setiap embusan angin musim gugur yang mengibaskan rambut panjangnya. Ia selalu menyukai musim ini.
Viona membuka tempat biolanya, menghela napas, dan memejamkan mata. Dia memainkan lagu yang ada dalam benaknya. Berusaha menyerap semua rasa sakit dalam tubuhnya yang perlahan menghimpit dada dan membuatnya sulit bernapas. Dia merindukan ayahnya, dia juga merindukan ibu yang bahkan belum pernah ia lihat seumur hidupnya. Bagaimanakah lekuk wajah ibunya? Apakah ibunya memiliki wajah yang mirip dengan dirinya? Entahlah, rasanya begitu sulit meski hanya untuk sekadar bertanya kepada sang ayah.
***
Suara alunan biola yang menyayat dengan penuh keahlian itu mengalun melintasi lorong konservatorium. Bagas mengenali melodi itu. “Butterfly Waltz” dimainkan dengan sangat apik. Meski terdengar samar-samar, tetapi bagas tetap terhanyut dengan gesekan biola yang membawa turun naik nadanya sampai merasuk ke jiwa. Siapa pun yang memainkannya pasti sangat cerdas dan berbakat.
Suara biola itu masih terdengar. Bagas berjalan mengikuti lorong yang panjang sampai menemukan satu titik hamparan rumput di halaman samping. Tampak seorang gadis berbalut dress sedang memainkan biolanya. Gadis itu terlihat memukau dan entah mengapa, biola yang ada di genggamannya terlihat begitu menarik. Seakan kakinya terpaku di bumi, Bagas enggan untuk pergi, dan gadis itu juga belum berniat untuk membuka matanya. Selang beberapa menit, gadis itu selesai memainkan biolanya.
“Don’t stop it!” seru Bagas spontan. Mungkin karena terlalu hanyut dengan permainan biola gadis itu, Bagas tidak sadar dengan ucapannya.
Gadis itu terkejut lalu menatapnya. Dan untuk pertama kalinya Bagas baru menyadari bahwa gadis itu memiliki sepasang bola mata berwarna kecoklatan yang indah.
“Who are you?”tanya gadis itu ketus dan bergegas meletakkan biola di tempatnya. Dengan cepat dia juga mengemasi barang-barang yang dibawanya dan beranjak pergi. “Dasar pengganggu!” ucapnya lirih.
“Kamu dari Indonesia?” tanya Bagas karena dia terkejut dengan perkataan gadis itu.
Gadis itu berhenti sejenak, “Bukan urusanmu!” ketus gadis itu. Lalu dia segera beranjak meninggalkan tempat tersebut.
***
“Kamu sudah latihan?” tanya seorang pria berambut pirang yang duduk di sampingnya.
“Tentu, bagaimana denganmu?” Vio balik bertanya.
“Aku sudah memulai latihan sebelum masuk Juilliard”
“Great, semoga berhasil!”
“Terima kasih. Namaku Kevin.”
“Aku viona.”
“Baiklah, kita sudah bisa menjadi teman mulai hari ini. Sampai jumpa. Gilaranku sebentar lagi.”
Setelah pria pirang itu pergi, Viona kembali berkutat pada ipod miliknya sembari menunggu giliran audisi. Entah sudah berapa lama, akhirnya nama Viona dipanggil untuk masuk ke ruang audisi. Bergegas dia melangkah dengan yakin dan penuh percaya diri. Vio sudah berada di tengah ruangan yang megah dengan panggung besar dan deretan kursi penonton yang dapat menampung ribuan orang, mungkin. Vio menghela napas terlebih dahulu agar lebih tenang. Ia lalu meletakkan biola di pundak dan menggesek biola tersebut hingga melodi dapat terdengar oleh telinganya.
“Por una cabeza”, tiba-tiba lagu itu yang muncul dalam benaknya. Dengan nada-nada yang ringan di awal tetapi semakin cepat tangga nada yang harus dilalui. Sebenarnya Vio belum pernah memainkan lagu-lagu tango, tapi ternyata tidak buruk juga. Dia bahkan menikmati setiap gesekan melodi yang keluar dari biola kesayangannya.
***
Entah mengapa, audisi tahun ini terasa membosankan bagi Bagas. Semua peserta terasa sama saja, terpaku dengan hafalan tangga nada dan erkesan tidak jujur dalam memainkannya. Baiklah, mungkin setelah ini, dia bisa beranjak sejenak dari kursi juri. Tapi pikirannya tiba-tiba terhenti, karena seorang gadis yang berjalan menuju panggung audisi, tampak santai dan yakin. Tunggu dulu, rasanya Bagas pernah melihat gadis itu sebelumnya. Dia terus mengingat di mana dia pernah bertemu dengan gadis itu. Sampai ketika gadis itu memainkan biolanya, nadanya yang ringan membuat dia ingin berdansa di bawah sinar lampu sorot. Saat memasuki pertengahan lagu, nada yang dimainkan tampak terdengar penuh emosi, kesedihan dan putus asa.
Ahh, Bagas pernah melihat gadis yang sama dengan biolanya di taman. Semakin lama mendengar pemainan biolanya, membuat Bagas ingin bermain juga. Segera dia meminta pengawal untuk mengambilkan biola Vieuxtemps Guarneri yang diberikan oleh salah satu violinis saat ia dalam perjalanan konser ke Belgia. Biola ini tidak antik seperti Stradivarius, tetapi tentu saja mahal, mengingat biola ini pernah dilelang dengan harga 16 juta dolar Amerika.
Segera Bagas berjalan ke arah panggung sembari menggesek. Tentu saja hal ini membuat Viona terkejut. Tapi dia tetap fokus pada nada yang dimainkan. Duet tidak terduga malam ini terasa begitu sempurna. Bagas tidak berusahan menonjol dalam permainan, tetapi tetap saja setiap nada yang bergulir dari tangannya terasa amat sesuai. Ketika akhirnya melodi terakhir dimainkan, mereka berdua masih terhanyut dalam permainan. Sampai suara riuh tepuk tangan memenuhi seluruh ruangan.
Rasa tidak percaya memenuhi benak Viona, entah karena dia tampak asing dengan suasana ramai ini, atau karena seorang pria yang ditemuinya adalah juri dari audisi yang dia ikuti. Tanpa pikir panjang dia segera menunduk, lalu bergegas untuk meninggalkan panggung.
“Viona!” panggil seorang pria, “Aku tidak percaya, ternyata kamu hebat sekali. Bahkan violinisfavoritku ikut bermain denganmu tadi,” tambahnya.
“Memangnya siapa dia?” tanya Vio penasaran, mengingat dia ada di meja juri, pastilah orang penting.
“Bukankah kamu dari Indonesia? Dia Bagas Arsenio, Violinis lulusan terbaik di Juilliard,” ujar kevin si rambut pirang.
***
Ketika pengumuman tiba, Viona menjadi yang terbaik dalam audisi dan tentunya menjadi violinisutama untuk konser trip di Broadway New York.
Penyunting: Ana