Mengapa Allah Memberikan Akal Pikiran?

E95813f4 484e 46e3 8c46 473c7365ff80

Pernah gak kalian bepikir tentang akal pikiran kita yang Allah berikan dengan sejuta kenikmatannya. Waktu aku masih kecil terlintas dalam pikiran tentang fitrahnya manusia dan nikmat Allah yang tak pernah berhenti diberikan. Saat masuk sekolah SMP, aku cari tahu dan bertanya-tanya tentang apa, kenapa, mengapa, dan bagaimana manusia seharusnya. Sampai saat aku SMA guruku bilang, “Manusia dengan makhluk yang lainnya itu berbeda, yang membedakannya itu akal pikiran yang kita dimiliki.” dari situ aku berpikir dan mencari tahu tentang akal pikiran manusia dan akhirnya aku mendapatkan jawaban yang memuaskan saat kuliah.

            Akal pikiran merupakan satu-satunya keistimewahan yang Allah berikan kepada kita sebagai nikmat besar yang tiada duanya. Dengan adanya akal pikiran, kita bisa membedakan yang benar dan salah, yang halal dengan yang haram. Tak hanya itu, akal pikiran sendiri menyimpan banyak sekali rahasia dan keajaiban.

            Namun, selama ini apakah kita telah menyadarinya? Semoga kita termasuk orang-orang yang mengetahui nikmat yang sangat dahsyat itu dan mensyukurinya, bukan termasuk orang-orang yang melalaikan nikmat-Nya sehingga cenderung mengufurkannya.

            Akal pikiran adalah nikmat teragung dan terbesar yang Allah berikan kepada kita yang dengannya Allah ingin mengangkat derajat kita, menempatkan diri kita manusia (sebagai hamba) ketempat yang setinggi-tingginya pada kedudukan yang paling mulia.

            Pertanyaanya, mengapa Allah memilih kita (manusia) sebagai satu-satunya ciptaan-Nya yang diberi kelebihan nikmat berupa akal pikiran itu? Mengapa Allah tidak memilih makhluk-Nya yang lain, seperti hewan dan tumbuhan? Mengapa Allah tidak memilih malaikat saja yang sudah jelas-jelas makhluk yang paling taat kepada-Nya? Mengapa justru memilih kita, padahal kita adalah makhluk yang sangat lemah dan memiliki kecenderungan untuk berbuat kerusakan.

            Ada dua alasan mengapa Allah memberikan akal pikiran kepada kita, bangsa manusia. Pertama, karena Allah ingin menjadikan kita sebagai wakil-Nya dimuka bumi ini. Dia hendak menyerahkan tanggung jawab mengurus alam dunia ini kepada kita dan tidak ingin menyerahkan tanggung jawab itu kepada makhluk selain kita. Alasanya, karena seluruh ciptaan-Nya, kecuali manusia, tidak akan mampu mengemban amanah menyuruh dunia dan seisinya.

            Sebelum menawarkan pengelolaan alam dunia ini kepada manusia, Allah telah menawarkan amanah itu kepada makhluk ciptaan-Nya yang lain. Malaikat, jin, binatang, tumbuhan, lautan, dan gunung pernah Allah tawari tugas dan tanggung jawab tersebut.

Namun, tak ada satupun di antara mereka yang sanggup memikulnya. Karena tidak ada satupun makhluk yang bersedia menerimanya, maka Allah menawarkannya kepada manusia. Tawaran itu segera diterima manusia dengan penuh percaya diri. Kisah agung ini terangkum jelas dalam firman-Nya sebagai berikut.

Yang artinya :

“Sesungguhnya Kami telah menawarkan amanat kepada langit, bumi, dan gunung-gunung, tetapi semuanya enggan untuk memikul amanat itu dan mereka khawatir tidak akan melaksanakannya (berat), lalu dipikullah amanat itu oleh manusia. Sungguh, manusia itu sangat zalim dan sangat bodoh.” (Q.S. Al-Ahzaab [33]:72)

Dari ayat di atas, tahulah kita bahwa semua makhluk di langit dan bumi, selain manusia, tidak bersedia menerima tawaran Allah untuk mengurus bumi dan seisinya, karena khawatir tidak akan sanggup melaksanakannya. Karena tidak ada satupun ciptaan-Nya yang sanggup memikul amanah itu, maka Allah menawarkannya kepada manusia. Meskipun Allah tahu bahwa manusia adalah makhluk-Nya yang paling bodoh dan paling zalim, tetapi Dia tetap memercayakan tugas mengatur dan mengelola bumi ini di tangan manusia. Allah percaya, hanya ditangan manusialah peradaban di bumi akan berjalan dengan baik, sesuai dengan misi besar-Nya.

Demikianlah Allah menyerahkan tugas dan tanggung jawab mengurus bumi kepada manusia. Namun, apakah semuanya berjalan lancar? Tidak! Kemampuan manusia diragukan oleh para malaikat. Saat Allah menyatakan bahwa manusia adalah khalifah-Nya di muka bumi, para malaikat protes dengan mengatakan, “Apakah Engkau hendak menjadikan orang yang merusak dan menumpahkan darah di sana, sedangkan kami bertasbih memuji-Mu dan menyucikan nama-Mu?.” Mendengar apa yang dikatakan para malaikat, Allah berfirman, “Sesungguhnya, Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui.” Allah lantas mengajarkan nabi Adam a.s (manusia pertama) nama benda-benda yang ada di sekelilingnya. Kemudian Dia memerintahkan nabi Adam a.s menyebutkan nama benda-benda itu di hadapan para malaikat, sementara malaikat itu sendiri tidak tahu nama benda-benda tersebut.

Sejak saat itulah, manusia dipercaya oleh Allah dan makhluk lain sebagai pemimpin di muka bumi ini. Kedua, Allah memberi kita akal pikiran karena Dia ingin membedakan manusia dengan makhluk ciptaan-Nya yang lain. Karena kita adalah wakil Allah di muka bumi, Dia ingin kita terlihat beda dari makhluk-makhluk ciptaan-Nya yang lain. Karena itulah, Allah menciptakan manusia dengan potensi yang istimewa pula, yaitu akal pikiran.

Keberadaan akal pikiran itulah yang membedakan manusia dengan hewan, tumbuhan, malaikat, dan jin. Barangkali kita pernah mendengar atau melihat hewan yang memiliki kemampuan untuk menuruti kemauan tuannya. Namun, apa yang dilakukan hewan itu bukanlah kecerdasan yang berasal dari akal, karena memang hewan tidak memiliki akal. Jika kecerdasan hewan yang menuruti kemauan tuannya itu bukan berasal dari akal pikirannya, lantas berasal darimana? Karena hewan yang tidak memiliki akal pikiran, otomatis bangsa hewan juga tidak memiliki kemampuan untuk berpikir. Hewan dapat melakukan sesuatu, termasuk dapat menuruti perintah tuannya karena itu berasal dari insting atau naluri binatang itu sendiri. Selain berasal dari insting atau narulinya, biasanya hewan melakukan segala sesuatu karena terbiasa. Hal itu tentu saja sangat berbeda jauh dengan manusia, bukan?

Jika hewan melakukan segala sesuatu sesuai dengan insting atau naluri dan kebiasaan, maka manusia melakukan segala sesuatu lebih karena didorong dengan keinginan akal pikirannya. Akal itulah yang kemudian menciptakan pikiran-pikiran, sehingga manusia dapat mempertimbangkan untung rugi, manfaat juga madharatnya.

Akal merupakan nikmat yang Allah berikan kepada manusia agar manusia senantiasa berada dijalan yang lurus. Jika seorang hamba dapat menggunakan potensi akalnya dengan benar, otomatis dia akan mendapat kesuksesan di dunia dan akhirat.

Sebaliknya, jika kita tidak menggunakan dan memanfaatkan potensi akal sesuai dengan kehendak Allah, maka nilai kita sebagai manusia (Makhluk Allah yang paling sempurna) tak lebih baik daripada seekor binatang. Pendek kata, seseorang yang tidak dapat menggunakan fungsi akal sesuai dengan kehendak Allah, dia akan jatuh kederajat yang serendah-rendahnya, jauh lebih rendah daripada binatang.

Selain kedua alasan diatas, ada sekian banyak ayat Al-quran  yang memerintahkan kita untuk berpikir. Begitu banyak ayat Al-quran yang memerintahklan kita untuk membaca, menadaburi, menafakuri, dan lainnya. Sebagai contoh, kita sering menemukan kata-kata yang berbunyi “La’allaikum tatafakkaruun” (mudah-mudahan kamu berpikir), “afalaa ta’qiluun” (apakah kamu tidak berakal), atau “afalaa yatadabbaruuna Al-Qur’ana” (apakah mereka tidak menadaburi/merenungi isi kandungan Al-quran).

Melihat kenyataan yang ada, maka bagaimana mungkin kita dapat berpikir tanpa akal? Bagaimana kita dapat mengambil pelajaran jika kita tak memiliki akal untuk melakukan pelajaran? Itulah alasan mengapa Allah memberikan akal dan pikiran kepada kita. Dengan akal pikiran, Allah ingin kita membaca dan memikirkan tanda-tanda kekuasaan-Nya yang terbesar di jagat semesta ini. Dengan akal dan pikiran, kita dituntut untuk membaca setiap kejadian yang kita lihat dan dengar. Setiap ayat dan kalam-Nya wajib kita mengerti dan pahami.

Hanya dengan menggunakan akal pikiran sebagaimana yang dikehendaki Allah, kita dapat memahami ayat-ayat Al-quran, dapat memikirkan segala sesuatu yang kita lihat dan dengar. Akal pikiran itulah yang akan menuntut kita demi kejadian di lingkungan sekitar kita, hingga menuntut kita untuk memberikan penilaian sehingga kita dapat mengambil hikmah dan pelajaran.

 Penulis: Ira Sartika

 Penyuting: Muslimatul Hajar

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *