Kejanggalan Prosedur Penangkapan Oleh Polresta Malang

Hohoi

Gemercik News-Tasikmalaya (29/4). Ribuan orang beramai-ramai mendesak Polresta Malang Kota untuk membebaskan tiga Aktivis Kamisan Malang melalui petisi pada laman change.org. Petisi tersebut dipelopori oleh Perhimpunan Pers Mahasiswa Indonesia (PPMI) Kota Malang. Tercatat sampai saat ini (29 April 2020 pukul 00:44 WIB) 3.817 orang telah menandatanganinya.

Tiga aktivis yang berinisial AFF, MAA dan SRA ditangkap polisi tak berseragam dikediaman mereka. Mereka dituduh terlibat dalam kelompok anarko hanya dengan bermodalkan bukti helm, motor, cat semprot dan sketsa yang bertuliskan “Tegalrejo Melawan”. Tuduhan yang dianggap PPMI Malang mengada-ada ini mengantarkan tiga aktivis tersebut mendekam sebagai tersangka di Polres Malang Kota.

PPMI Malang menjabarkan 5 kejanggalan dalam prosedur dan proses hukum penangkapan AFF, MAA dan SRA melalui laman petisinya.

Pertama, Polisi tidak menunjukkan surat penangkapan saat mendatangi rumah mereka. Bahkan polisi tanpa seragam itu sempat melakukan penggeledahan. Keluarga MAA dan SRA sempat meminta surat penangkapan, tapi polisi tersebut menolaknya.

Kedua, pihak kepolisian tidak menerangkan secara jelas, alasan mereka dibawa ke Polresta Malang. Pada saat penangkapan, pihak kepolisian mengatakan mereka ditahan untuk dimintai keterangan. Tapi, tidak jelas. Setelah ditelusuri pihak LBH Surabaya, status ketiganya malah jadi tersangka.

Ketiga, tuduhan dan barang bukti yang ditunjukkan ini sangat mengada-ngada. Polisi menyebut helm, motor, cat semprot dan sketsa yang bertuliskan “Tegalrejo Melawan” sebagai barang bukti. Polisi juga sebut motif mereka adalah kebencian terhadap kapitalisme, atas dasar itu mereka dijerat Pasal 160 atas tuduhan provokasi kepada masyarakat untuk melawan kapitalisme.

Keempat, polisi kerap menuding bahwa AFF, MAA dan SRA ada kaitannya dengan kelompok Anarko, walau tanpa bukti. Tudingan polisi jelas tidak berdasar dan tampak seperti hanya melakukan penggiringan opini yang justru berpotensi menimbulkan keresahan di masyarakat.

Kelima, sejak penetapan mereka sebagai tersangka, Tim Kuasa Hukum belum juga mendapat salinan BAP dari pihak kepolisian. Padahal, Kuasa Hukum sudah meminta sejak Senin, 20 April 2020  tapi belum juga mendapat salinan, hingga saat ini. Hal ini jelas melanggar hak-hak hukum dari pihak tersangka.

Pada akhir petisi, PPMI Malang menegaskan bahwa proses hukum yang tidak mencerminkan profesionalisme seperti ini, tidak bisa dibiarkan. Polisi seharusnya melakukan tugasnya sesuai dengan aturan hukum bukan justru melanggar hak AFF, MAA dan SRA, sebagai warga negara Indonesia.

#BebaskanAktivisMalang

Penulis: Winda Grizela

Penyunting: Rini Trisa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *