Nyatanya, Konglomerasi Media Ancam Kebebasan Pers

Untitled 1

Oleh, Ayu Sabrina Barokah

Hari Kebebasan Pers Internasional, yang bertepatan dengan 3 Mei adalah momentum para jurnalis dan masyarakat mengingat jasa-jasa buruh tulis kepada negara kita, juga pentingnya keterbukaan informasi kepada khalayak publik. Yaa itung-itung biasanya gak ingat ya kan. Padahal, informasi kasus korupsi, artis idola nikah lagi, bahkan kasus anak bunuh ibu gara-gara gak ngasih uang jajan, bisa sampai ke publik adalah jasa para jurnalis.

Segala informasi yang ada di Indonesia bahkan dunia, kita bisa tahu dari kerja peliputan yang dilakukan para jurnalis. Bukan hanya dari surat kabar, tapi melebar ke digital. Seperti, E-koran, Portal Berita Online, bahkan media arus utama menampilkan beritanya di media sosial (Instagram, Twitter, Facebook, dkk). Hal ini tentu didukung dengan kemajuan teknologi yang begitu cepat, juga banyaknya cuan yang diterima dari pemilik media.

Pesatnya perkembangan media pemberitaan setelah berakhirnya masa Orde Baru yang diharapkan dapat menguatkan pilar demokrasi di Indonesia, justru menjadi alat politisasi demi kepentingan kelompok tertentu. Sejauh ini, media-media arus utama menjadi lebih partisan akibat konsentrasi kepemilikannya yang semakin menguat di ranah politik. Namun juga memiliki pengaruh yang sangat kuat di ruang-ruang redaksi turut menjadi elit politik, yang akan dengan mudah menggiring arah pemberitaan ke arah kepentingan oligarki yang menunggangi media tersebut. Kemudian saling berusaha memenuhi dominasi opini publik. Bahkan hubungannya tidak terbatas pada politik semata, namun erat hubungannya dengan ekonomi-politik.

Menurunnya kepercayaan masyarakat, terutama kalangan muda, terhadap konglomerasi media mainstream (arus utama) mendorong terbukanya alternatif media atau ruang publik yang lebih luas dan bebas. Misalnya, Komp*s dengan K*ompasiana-nya, Liputan 6 dengan C*tizen Jurnalism-nya, T*mpo dengan Ind*nesiana-nya, dan media sosial dengan kekuatan tagarnya. Namun, berbanding lurus juga dengan meningkatnya debat publik dan pemberitaan-pemberitaan tak berdasar atau lebih akrab disebut, hoaks. Dewasa ini, sebagian kalangan muda bahkan sudah tak begitu akrab dengan benda yang kita sebut televisi maupun media pemberitaan seperti radio dan media cetak. Banyak diantaranya lebih senang memanfaatkan media sosial sebagai media utama untuk mengakses dan berbagi hoaks, eh informasi.

Eits, apa sih Konglomerasi Media itu? Apa dampaknya pada jurnalis juga masyarakat ? Ini dia, Konglomerasi Media adalah penggabungan-penggabungan perusahaan media menjadi perusahaan yang lebih membawahi banyak media. Konglomerasi ini, dilakukan dengan melakukan korporasi dengan perusahaan media lain yang dianggap mempunyai visi yang sama. Pembentukan konglomerasi ini dengan cara kepemilikan saham, joint venture/merger, atau pendirian kartel komunikasi dalam skala besar baik intergrasi vertikal, intergrasi horizontal, maupun kepemilikan asing.

Akibatnya, kepemilikan media yang berpusat pada segelintir orang, alias Oligarki Media. Wow, jelas ini akan berpengaruh kepada masyarakat karena, para oligarki inilah yang akan menentukan mana yang harus dikerjakan perusaahan media, mana yang tidak. FYI, media juga memiliki teori agenda setting, di mana ia bisa memilah mana yang layak terbit atau tidak. Akibatnya, apa yang diaggap penting bagi media menjadi penting pula bagi publik dan yang tidak penting menurut media tersebut, juga akan luput dari perhatian pu

Akibat selanjutnya, jika media yang tergabung dalam satu group tertentu maka berita dan informasi yang disampaikan akan homogen. Selain itu, berita yang disampaikan hanya berita yang dianggap menguntungan secara ekonomi. Akhirnya Pers tidak lagi dinilai dari seberapa besar nilai berita yang ada, tetapi berapa banyak keuntungan yang akan didapatkan dari pemuatan berita tersebut. Sebetulnya ini merupakan tanda-tanda bahwa regulasi atau peraturan yang mengatur tentang kepemilikan media tidak berjalan dengan baik. Padahal Konglomerasi Media berbahaya dan ancaman kebebasan

Berarti, Pers hari ini sudah tidak netral dong ? Pers itu tidak bisa benar-benar netral. Mereka malah harus berpihak. Nah, keberpihakan inilah yang nanti menentukan. Apakah sebuah media/Pers ini merupakan tukang kritik penguasa atau sebagai corong penguasa. Rata-rata sih, media akan lebih mudah berpihak pada sesuatu yang dianggap sedang dizalimi, diperkosa hak-haknya, atau yang dikebiri kewenangannya.

Jangan. Jangan. Plis jangan kuliahi teman-teman jurnalis dengan… “Lah kan katanya media itu harus cover both side?” Memang Media itu harus cover both side, namun “both side” ini jangan diartikan sama rata dengan porsinya, melainkan aspek proposional, aspek keadilannya. Tentu saja disesuaikan dengan nilai keadilan yang dianut oleh media itu sendiri.

Ingat dengan kasus korupsi E-KTP yang menjerat Setya Novanto? Kira-kira ada nggak media di Indonesia (yang waras) memberitakan porsi kepentingan Setya Novanto? Kalaupun ada, biasanya media tersebut juga cuma mengabarkan klarifikasi-klarifikasi dari kuasa hukum Setya Novanto doang. Kenapa seperti itu? Karena, media itu isinya rakyat juga. Mereka juga punya rasa geram kalau lihat pejabatnya ada yang korupsi gede-gedean tapi, bisa lolos-lolos saja dengan cara-cara yang unik bin lucu kayak gitu.

Di dalam Konglomerasi Media pun kebebasan Pers untuk mencari berita dan memuat berita jadi terbatas, karena dibatasi dengan peraturan-peraturan tertentu dari sang pemilik saham yang merupakan orang dari Parpol misalnya. Bisa jadi sesama Pers saling menjatuhkan karena sang pemilik saham merupakan rival terkuatnya di dalam perpolitikan, hal ini bisa saja terjadi ketika Uang telah berbicara, Uang telah bertindak, segala sesuatunya di dasari (oleh) Uang.

Sepengalaman penulis, para pejabat publik seringkali hanya mengkonfirmasi kegiatannya atau kepentingannya kepada media yang berpihak kepadanya. Ketika, media kritis minta konfirmasi, para pejabat publik ini justru mengangkat tangan sambil berkata.. “Nanti ya nanti.”. Kadang, media kritis ketika meminta data pada pemerintah seringkali tidak mendapatkan akses, entah sentimen apa yang menyekat keduanya.

Lalu, masih layakkah publik percaya pada Pers? Tentu. Penulis akan memberikan alternatif untuk pembaca. Salah satunya adalah Lembaga Pers Mahasiswa (LPM). Loh kenapa? Persma juga bagian dari dunia Pers, yang membedakan hanya Uang yang didapat dari kerja-kerja jurnalistik. Memang di mana lagi yang ada, liputan sana-sini, dikejar deadline menulis, narasumber sulit dihubungi, dan gak dibayar lagi. Siapa lagi kalo bukan Persma yang mau?

Persma pernah mengalami masa jaya. Semasa Orde Baru, ketika kebebasan Pers arus utama dikunci lewat SIUPP dan kontrol Departemen Penerangan, Persma adalah media alternatif yang bersedia menaikkan berita-berita kritis. Dalam kasus penggusuran ketika Waduk Kedungombo dibangun, misalnya, sementara Pers arus utama bungkam, Persma justru terlibat dalam advokasi.

Reformasi membuat Persma disorientasi. Dengan situasi negara yang semakin demokratis, dan Pers arus utama tidak lagi dikontrol negara, apa peran yang mau Persma mainkan? Pertanyaan itu masih belum terjawab hingga hari ini. Disorientasi tersebut sangat terasa sampai ke proses sirkulasi produk. Siapa kini yang mau membaca terbitan Persma? Mereka bukan lagi alternatif, bahkan angin berbalik. Kini, mereka yang mengekor Pers arus utama. Lah katanyaalternatif.

Kualitas Persma jelas bukan rujukan. Wong masih amatiran. Penulisnya baru belajar, karena ini tempat menempa diri. Mereka cuma punya stok penulis jelek, bagusnya baru keliatan setelah keluar. Eka Kurniawan, misalnya, pernah dengar namanya sewaktu dia masih di Balairung UGM? Zen RS juga tidak mungkin punya followers puluhan ribu di Twitter kalau dia masih nyangkruk di sekre EKSPRESI UNY.

Tapi, kita perlu apresasi atas hadirnya Pers Mahasiswa di tengah merajanya Oligarki Media. Karena, hanya mereka lah yang kadang bisa ngekor, dan masih tetap bisa kritis. Karena dengan gelar mahasiswanya, menjadi sarat mereka harus memperjuangkan keadilan, memberitakan kebenaran, bukan hanya sekadar hiburan. Lagian, anak Persma kalo nulis biasanya pedas-pedas mantap, apalagi kalo nyinggung pemerintah. Yaa gak ?

Namun tetap, media arus utama adalah kepercayaan publik yang paling utama. Ia memiiki akses di segala lini, dan sudah lama memiliki legitimasi yang luas. Sementara kita sebagai publik harus pandai memilah mana berita yang harus dikonsumsi, mana yang tidak. Apalagi, stasiun televisi yang isinya hanya kampanye Parpol dan politisi. Karena selama Oligarki Media ada, Kebebasan Pers itu takkan pernah ada.

Penyunting: Ghina

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *