Oleh, Muhammad Yusya Rahmansyah
Sebutan Mahasiswa rasa-rasanya merupakan sebutan tertinggi dalam dunia pendidikan. Terlebih mereka si mahasiswa terkadang mampu memberikan perubahan dalam berbagai aspek kehidupan. Menjadi mahasiswa merupakan impian bagi setiap manusia. Namun, dibalik nama mahasiswa terkadang ada pula mahasiswa yang ‘maha-lucu’, dalam artian tidak paham apa arti menjadi mahasiswa itu sendiri.
Sekarang Indonesia memiliki kurang lebih 4.500 perguruan tinggi yang tersebar di seluruh penjuru negeri. Angka tersebut berdasarkan data dari Kementerian Riset dan Perguruan Tinggi pada tahun 2017. Di sisi lain, jumlah banyaknya perguruan tinggi tidak sebanding dengan minat menjadi mahasiswa. Angka Partisipasi Kasar (APK) di Indonesia berada dikisaran 33,37%.
Dibandingkan dengan beberapa negara di ASEAN, APK pendidikan tinggi Indonesia masih rendah dan jika dibandingkan dengan negara tetangga, seperti Singapura dengan APK 78% dan Malaysia dengan APK 38%. Fakta tersebut semakin menunjukan betapa bobroknya minat menjadi mahasiswa.
Tapi, memang jika sudah menjadi mahasiswa dapat dipastikan sudah layak dan sudah luar biasa tangguh menghadai segala kemungkinan? Nyatanya, masih banyak mahasiswa yang tidak paham menjadi mahasiswa. Pemerintah boleh saja menggonta-ganti kementerian yang menaungi perguruan tinggi di Indonesia, dan boleh saja mengkampanyekan agar banyak manusia Indonesia yang menjadi mahasiswa. Tapi, kalau sudah menjadi mahasiswa masih belum paham, untuk apa menjadi mahasiswa?
Sesuai pembukaan di atas kita ambil sebuah pernyataan maha-lucunya mahasiswa. Hal ini berangkat dari banyaknya mahasiswa yang merasa salah jurusan, tidak memahami ilmu yang dipelajari selama berkuliah dan tentunya sikap kekanak-kanakan yang dilakukan mahasiswa. Memang untuk poin terakhir tidak dapat digeneralisir ke semua mahasiwa, tapi mari kita ambil contoh mahasiswa di lapangan.
Sebagai mahasiswa, tentu begitu banyak peluang yang ada di dunia perkuliahan dan di kampus. Anggapan dan stereotipe tentang mahasiwa yang banyak beredar di masyarakat, apalah itu namanya, “Kupu-kupu”, “Kura-kura”, “Kuda-kuda”. Hal ini yang membentuk stigma terhadap mahasiswa, siapa yang membentuk stigma itu? Ya, mahasiswanya sendiri. Alih-alih mendukung sesama mahasiswa, justru mahasiswa saling menjatuhkan dalam lingkungannya sendiri. Walaupun ini sekedar candaan dan hiburan, tapi terkadang ada yang menganggap ini permasalahan serius juga.
Bukan hanya itu, terkadang masalah politik kampus juga menjadi masalah yang seakan-akan masalah besar dan tidak dapat selesai. Padahal sebagai miniatur negara, kampus menjadi sebuah laboratorium besar yang nantinya menentukan sikap generasi penerus bangsa terhadap peristiwa-peristiwa politik di Indonesia. Kalau baru di miniatur saja sudah seperti itu, bagaimana nanti ketika berhadapan dengan yang asli?
Masa iya beda pandangan politik dan terkena adu domba jadi saling bermusuhan. Contohnya, saat Pilpres kemarin jadi ada kadrun lah, unta lah, cebong lah. Tapi para aktor politiknya baik-baik aja kan? Nah, itu karena salah dalam penyikapan. Kalau mahasiswa sudah seperti ini dalam ranah kampus, nantinya mereka seperti apa ya dalam ranah kehidupan yang bukan miniatur? Bisa diadu lagi nanti sama sebangsanya atau serumahnya.
Contoh lainnya, ketika mahasiswa menentukan akan menjadi model mahasiswa yang mana ketika di kampus, aktivis sosial yang aktif dalam isu sosial, dan perdemoan atau aktivis akademis yang aktif di kelas dan dalam ranah akademik. Dalam hal ini menurut asumsi saya, semua mahasiswa adalah aktivis, entah itu dalam ranah akademik atau ranah sosial. Pada dasarnya semua mahasiswa memperjuangkan napas rakyat.
Teringat kata-kata dari pria paruh baya di sudut ruko, “Kamu ini mahasiswa, apapun yang kamu lakukan pasti memperjuangkan rakyat, jadi yang benar kamu di kuliah ya.” Seharusnya ini menjadi tamparan keras bagi semua mahasiswa, tidak perlu lagi mengkotak-kotakan ranah mahasiswa, ingat semua yang kalian lakukan itu ya untuk memperjuangkan rakyat. Selain turun ke jalan termasuk juga menimba ilmu yang benar dan sungguh-sungguh.
Itu sebagian contoh kekanak-kanakannya mahasiswa. Selain itu, masih banyak kelucuan-kelucuan yang ada di mahasiswa. Ini yang perlu diperhatikan selain problematika salah jurusan yang nantinya menjadikan si mahasiswa terlihat tidak menikmati pembelajaran di perkuliahan. Sikap dewasa dari mahasiswa juga perlu diulas dan dilihat.
Karena kedepannya mahasiswa-mahasiswa inilah yang akan menjadi tonggak negara dan bangsa Indonesia. Contoh mudahnya, sekarang lihat pemangku kekuasaan dan orang-orang yang memiliki kuasa yang besar, hadirnya mereka dan sikap mereka pasti didasari atas latar belakang mereka selama ini. Kenapa? Karena tanpa adanya masa lalu tidak mungkin mereka menjadi yang seperti sekarang.
Jauh sebelum menjadi seperti mereka, mahasiswa harus mulai sadar betapa pentingnya posisi mereka saat ini, saat menimba ilmu dan pengalaman, proses yang dilalui harus dilakukan secara sadar, keputusan yang diambil harus rasional dan jelas adanya. Mengapa harus rasional dalam mengambil keputusan? Lihat saja ketika calon mahasiswa memilih jurusan dan apa landasan mereka mengambil jurusan, sebagian orang yang saya tanya menjawab seperti ini “Aduh gak ada pilihan lain”, selain itu ada yang seperti ini “Iya ini juga pilihan terakhir”, dibersamai dengan senyuman ala kuda. Atau “Ah iya, ga sengaja masuk di jurusan ini”.
Dari jawaban-jawaban di atas memang ada mahasiswa yang mampu menyesuaikan diri dan beradaptasi menikmati kenyataan dan keadaan yang ada, sehingga mampu menyelesaikan studi mereka. Tapi, ada pula yang jenuh dan berhenti, atau bahkan tidak aktif berkuliah tapi namanya masih tercatat menjadi mahasiswa. Kan jadi sayang itu bangku kuliah yang mereka ambil, masih banyak yang memiliki niat dan benar-benar rasional menentukan pilihan jurusan yang mereka inginkan. Tapi, jurusan itu akhirnya berakhir di mahasiswa yang tidak rasional seperti tadi.
Maka dari itu tentukan sikap dan landasan yang rasional dalam memilih, hilangkan ego, sesuaikan dengan kemampuan. Setiap pilihan yang kita tentukan memang harus kita nikmati pada akhirnya. Tapi, mengapa harus di akhir kalau bisa dari awal kita nikmati? Agar usaha kita menjadi maksimal. Semua butuh waktu, tapi waktu tidak berarti apa-apa kalau kita (mahasiswa) tidak mau merubahnya.
Kembali ke APK tadi, dengan angka 33,37%. Memang angka tersebut menunjukkan minat terhadap perguruan tinggi, berarti angka tersebut menunjukkan jumlah keinginan manusia Indonesia untuk menjadi mahasiswa. Sementara, ketika menjadi mahasiswa mereka merasa kecewa dan tidak ada sikap dewasa. Dahulu, mahasiswa itu dirancang untuk menjadi ilmuwan dan orang bijaksana. Inilah yang terjadi dulu ketika mahasiswa-mahasiswa dipandang sebagai orang-orang berilmu dan bijaksana, tidak percaya? Coba lihat pemikir dan beberapa tokoh bangsa yang harus menimba ilmu di negeri lain.
Sekarang? Ya, bisa kita rasakan sendiri. Saya sendiri sebagai mahasiswa merasakan hal ini, maka dari itu lahirlah opini ini, berangkat dari keresahan dan muncul pandangan sungguh Maha-lucunya mahasiswa. Saat ini kita dapat menimba ilmu di dalam negeri sendiri, saat ini akses sudah luar biasa, saat ini mahasiswa merupakan jalan perubahan bangsa Indonesia untuk beberapa tahun ke depan. Tapi, kalau mahasiswanya saja terus seperti ini, sepertinya sudah dapat ditebak akan seperti apa bangsa Indonesia kedepannya. Sekian.
Penyunting: Rini Trisa