Tanpa Pers, Negara Bukan Apa-apa

9d2bb7cc 9166 42e8 93c2 B01bb38930f4

Oleh, Ayu Sabrina Barokah, Pemimpin Redaksi LPM Gemercik 2021

Pers berperan dalam meraih dan mengisi kemerdekaan, menjadi saksi dan garda terdepan penyampaian informasi kepada publik terhadap peristiwa-peristiwa penting di Indonesia. Mulai dari zaman penjajahan kolonialisme hingga meraih kemerdekaan. Selepas itu pun, pers kembali mencatat momentum penting perpolitikan di Indonesia, yakni Reformasi 1998 dan beragam peristiwa penting lainnya yang pernah ada di negeri ini.  

Pers memiliki kontribusi yang sangat besar bagi perubahan dan kemajuan budaya, serta peradaban dalam masyarakat, bahkan kemajuan negara. Selama ini, pers berjasa menyebarluaskan informasi, melakukan kontrol sosial, menyalurkan aspirasi rakyat, dan meluaskan komunikasi massa.

Di samping itu, pers juga memiliki dimensi lain. Ia bukan sekadar mencerminkan apa yang terjadi secara reaktif atau paska kejadian, tetapi dapat melihat lebih dulu, meramalkan sesuatu, merencanakan, dan mengagendakan (agenda setting). Pers bukan saja reading the news, tetapi, diproduksi untuk membedakan, making the news, dan planning the news. Dari sinilah, pers dikatakan tidak sekadar terbawa oleh peristiwa dan masalah, tetapi semacam membuat, menentukan atau lebih proporsional memengaruhi agenda.

Dari argumentasi tersebut, saya berasumsi bahwa ada satu hubungan yang penting antara pers, pemerintah, dan juga publik. Pers berperan menyampaikan kebenaran kepada publik, pemerintah memiliki tanggung jawab untuk mengelola negara dan melayani rakyat, dan publik memiliki hak dari tugas dan peran kedua pihak tersebut. Sehingga, pers akan terus berusaha untuk mencari kebenaran terhadap pemerintahan dan menyampaikannya kepada publik. Sedangkan, pemerintah juga sibuk memperbaiki citra dan mencegah untuk pers mengetahui adanya keburukan-keburukan yang ada. Mirisnya, jika pemerintah dan pers justru malah membuat sebuah kesepakatan untuk mengelabui publik, yang pada akhirnya pers menjadi sahabat pemerintah untuk memberitakan hal-hal baiknya saja.

Dalam perjalanannya pers, sempat ikut berjuang dalam kemerdekaan dan juga sempat dikebiri oleh pemerintah. Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP) di zaman orde baru yang digadang untuk mengontrol pers, supaya tidak ‘kebablasan’ dalam memberikan kebenaran kepada publik. Nyatanya, menjadi mimpi buruk bagi insan pers yang turut menjadi korban dan sebuah catatan sejarah kelam bagi dunia jurnalistik di Indonesia.

Mengutip perkataan ‘Mas’ Marco Kartodikromo (Jurnalis yang lahir dari kalangan Aristokrat saat itu)  bahwa, “Bukankah sudah terang sekali bahwa kita kaum jurnalis sengaja dijaga betul oleh pemerintah kita, supaya mereka itu jangan sampai berteriak membuka kejahatan pemerintah atau bangsa kapitalis?”

Kelompok-kelompok elite yang memiliki kepentingan tertentu, seperti partai politik, ormas, dan agama berusaha mendirikan dan menguasai penerbitan pers tertentu. Mereka menggunakan media massa sebagai sarana untuk mensosialisasikan ideologi atau program kerja mereka. Kuatnya posisi tawar pers terhadap kekuasaan, mendorong para pemilik modal berlomba-lomba membuka usaha, atau menanam modal di perusahaan-perusahaan penerbitan pers. Mereka melihat posisi strategis pers yang dinilai mampu memberikan laba maksimal melalui industri media dan media massa.

Posisi penting pers terhadap kekuasaan bukan hanya terjadi saat ini, tetapi juga telah terjadi dari zaman kolonialisme Belanda. Di mana mereka melakukan tekanan fisik serta menyiarkan berita-berita negatif melalui kantor beritanya Aneta (Algemeen Nieuws en Telegraaf Agent Schap). Empat pemuda Indonesia yakni Adam Malik, Sumana, Albert mengungkap, dan Pandu Kartawiguna pada akhirnya menyadari, bahwa mendirikan kantor berita tandingan  dapat membantu perjuangannya meraih kemerdekaan. Pada 13 Desember 1937, berdirilah kantor berita pertama milik Indonesia yang diberi nama Antara. Mereka menempati kantor yang terletak di Jalan Pinangsia, Jakarta Pusat.

Pada Perang Dunia II, Jepang masuk ke Indonesia bersamaan dengan larinya Belanda meninggalkan tanah air, tanpa membawa apa pun termasuk meninggalkan gedung Aneta. Jepang yang sadar akan pentingnya media, mengontrol Antara dan menggantinya menjadi Domei. Pers pada zaman itu dikendalikan oleh Jepang, di mana orang pada waktu itu sudah memiliki pesawat radio tetapi, ia hanya boleh mendengar gelombang radio yang disiarkan oleh Jepang. Sehingga, tombol tuning disegel supaya tidak bisa bergerak ke kiri atau kanan, dan jika ada radio yang segelnya terbuka orang tersebut akan mendapatkan hukuman.

Sehingga, berita kekalahan Jepang oleh sekutu memang secara logis tidak akan pernah sampai pada telinga pendengar rakyat Indonesia. Namun, berita besar itu diketahui salah satu tokoh pemuda yakni Sutan Syahrir Pada 10 Agustus 1945, Sutan Syahrir mendengar berita tersebut dari siaran radio luar negeri yang pada waktu itu dilarang. Akhirnya, Syahrir menghubungi Chairil Anwar dan segera meneruskan berita tersebut kepada para pemuda yang pro kemerdekaan. Hingga para pemuda mendesak Soekarno untuk segera memproklamasikan kemerdekaan Indonesia secepat mungkin, dan Indonesia meraih kemerdekaan pada 17 Agustus 1945 salah satunya berkat Pers.

Ini menjadi bukti bahwa tanpa pers, negara memang bukan apa-apa. Pers digunakan sebagai alat untuk mengatur konflik di kalangan publik, mengatur opini publik, bahkan tolak ukur dari kecerdasan suatu bangsa. Hal ini sudah pasti negara membutuhkan elemen semacam itu. Bukan hanya di negara demokratis, di negara yang menganut komunisme sekali pun ia membutuhkan pers untuk terus-menerus mempropaganda tentang pemerintah yang tengah berkuasa, meskipun pers tersebut tidaklah bebas.

Jauh dari pada itu, tanpa pers mungkin kita tidak akan pernah merdeka. Kita tidak akan pernah dikenal dunia, atau bahkan kita tidak mengenal dunia. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jaqcues Derrida bahwa “tidak ada kebenaran di luar teks”, dengan penafsiran penulis bahwa yang mengumpulkan dan membuat simbol-simbol dan juga teks-teks tersebut adalah insan pers, dan tanpa mereka kita tidak akan tahu kebenaran.

Penyunting: Rini Trisna

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *