Investasi Miras Dicabut. Mengapa?

14.3.21

Oleh: Thariq Najmi Octaviantoro

Presiden Joko Widodo telah mencabut poin 31, 32, dan 33 yang berisikan tentang perizinan minuman beralkohol dalam lampiran III Perpres No. 10 Tahun 2021, yang telah ditandatanganinya pada 2 Februari 2021. Diunggah melalui akun youtube Sekretariat Presiden tentang pencabutan Perpres (Peraturan Presiden) tersebut karena adanya masukan dari para ulama, MUI, NU, Muhammadiyah, dan organisasi masyarakat yang lainnya. Presiden Joko Widodo telah menunjukkan pentingnya negara demokrasi dengan mendengarkan pendapat masyarakat luas, untuk mencabut beberapa poin yang berada dalam lampiran tersebut. Penolakan publik yang membuat presiden mencabut ini menunjukkan, bahwa rakyat masih memiliki kuasa untuk mengatur atau pun mengontrol pemerintahan. Walaupun begitu, Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Bahlil Lahadalia akan mencoba untuk merevisi ataupun mengkaji kembali tentang keputusan presiden yang telah mencabut peraturan tersebut. Karena Bahlil sendiri menilai masih banyak beberapa dampak positif dari perpres ini.

Di Indonesia sendiri pada era sebelum kemerdekaan tepatnya tahun 1931, perizinan investasi miras sudah ada. BPKM mencatat saat ini sudah ada 109 izin investasi miras yang tersebar di 13 provinsi di Indonesia. Artinya, perusahaan yang menjalani atau memproduksi minuman beralkohol bukanlah suatu hal yang baru. Investasi miras yang dilakukan oleh masyarakat sudah ada di Indonesia sebelum lampiran III No. 10 Tahun 2021 dikeluarkan. Tetapi, mengapa gejolak masyarakat baru keluar saat presiden menandatangani lampiran tersebut. Padahal investasi minuman beralkohol yang dilakukan masyarakat pada suatu perusahaan sudah ada sejak tahun 1984. Perusahaan itu adalah PT Delta Djakarta Tbk. perusahaan ini telah berdiri sejak tahun 1932 dalam memproduksi bir Jerman. Pada tahun 1970 berubah menjadi PT Delta Djakarta Tbk. dan pada 1984 akhirnya perusahaan yang memproduksi miras ini telah terdaftar di Bursa Efek Indonesia (BEI), yang membuatnya menyebarkan saham kepada para investor dan menguatkannya sebagai perusahaan bir dalam negeri.

Menurut pendapat penulis, mengapa pemerintah tidak berpikir bahwa ada negara asing bermayoritas muslim yang berpotensi untuk berinvestasi di Indonesia dalam jangka panjang. Karena dengan diizinkannya tentang minuman beralkohol ini, dikhawatirkan mereka tidak lagi melirik Indonesia sebagai sektor yang halal dan aman untuk penanaman modal. Untuk saat ini, keuntungan yang dihasilkan oleh alkohol untuk negara tidaklah baik. Bahkan cenderung turun, yang pada mulanya mendapatkan 7,34 triliun pada tahun 2019 menjadi 5,75 triliun pada tahun 2020. Pemerintah seharusnya tidak bisa banyak berharap untuk mendapatkan pemasukan dari investasi miras, yang saat ini tidak lagi dalam kondisi baik. Investasi masih bisa dilakukan di banyak sektor halal seperti perbankan, industri, properti, agribisnis dan lainnya.

Kepala BKPM Bahlil menilai, bahwa dengan adanya investasi seperti yang telah ada di Perpres No. 10 Tahun 2021 dapat mendorong investasi yang lebih berdaya saing. Menurutnya, pemerintah harus lebih mengutamakan kepentingan negara ini. Sayangnya, Bahlil tidak melihat potensi pasar dan hanya membuat spekulasi bahwa ini dapat mendorong persaingan pasar yang positif. Jika dilihat secara saksama, apakah dengan adanya penolakan dari warga ini dapat membuat investasi miras berkembang ke depannya. Warga yang tidak ingin investasi miras ini dilegalkan, kemungkinan besar tidak akan membeli produk minuman beralkohol.

Sepertinya, Presiden Joko Widodo terlalu terburu-buru dalam membuat keputusan untuk melegalkan investasi miras. Seharusnya, negara harus bisa lebih bijak dalam membuat sebuah rencana di negara Indonesia yang demokratis. Sebelum lampiran itu disahkan, alangkah baiknya untuk memberi kabar terlebih dahulu kepada masyarakat luas untuk mendengar aspirasi atau suara-suara mereka tentang hal minuman beralkohol. Tetapi, pemerintah tidak melakukan itu. Mereka langsung mengesahkan lampiran tersebut, yang justru menimbulkan kericuhan pada sebagian masyarakat Indonesia terutama yang bermayoritas muslim.

Ada hal lain yang terjadi di lingkungan sekitar kita. Memproduksi minuman keras seperti ini memiliki risiko yang tinggi. Karena, kemungkinan tidak sesuai dengan target pasar. Miras yang seharusnya dikonsumsi oleh orang-orang dewasa, justru membuat para remaja bahkan tak terkecuali oleh anak-anak sekalipun mencobanya. Distribusi penyebaran miras di Indonesia sepertinya tidaklah terlihat baik. Karena banyak sekali berita dan berbagai foto maupun video yang tersebar di media sosial, bahwa para remaja tersebut sedang mengonsumsi miras atau bahkan terlibat dalam pesta miras.

Sebagian dari kita juga khawatir, karena minuman beralkohol ini dikemudian hari akan membuat kesehatan terganggu. Minuman alkohol merusak dan menyebabkan penyakit-penyakit baru yang akan bermunculan. Apalagi jika dikonsumsi terlalu sering seperti penyakit hati, kanker, gangguan otak, dan saraf bahkan kematian. Mengonsumsi miras juga bisa membuat keadaan sosial menjadi lebih buruk. Dampak negatif dari minuman beralkohol akan mengganggu kenyamanan masyarakat. Seseorang yang sedang mabuk karena miras ini akan membuat resah, karena tidak bisa mengontrol dirinya sendiri yang disebabkan oleh kadar alkohol, sehingga emosinya tidak stabil dan sulit dikendalikan. Mereka terkadang melakukan aksi yang cenderung bersifat merusak lingkungan. Lebih parahnya lagi, jika mereka mengendarai kendaraan bermotor dalam keadaan mabuk karena miras yang membuat angka kecelakaan akan menjadi lebih besar.

Untuk itu, bukankah dengan adanya pencabutan terhadap beberapa poin yang berada dalam lampiran adalah keputusan yang paling baik untuk saat ini. Dikarenakan banyak sekali dampak negatif dan risiko-risiko lainnya yang akan merugikan diri sendiri, sosial, bahkan negara. Masih banyak sektor lain yang masih membutuhkan suntikan dana dari pemerintah ataupun investor lain baik dalam negeri maupun luar negeri.

Penyunting: Rini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *