Benarkah Keluarga Penyebab Terbesar Anak Depresi?

WhatsApp Image 2021 03 25 At 9.03.20 PM 1 1 E1616721344216

Oleh: Haifa Lutfia

Gangguan mental atau mental illness sudah bukan topik yang asing untuk dibahas. Mental illness, salah satunya depresi, tidak hanya dialami oleh orang dewasa saja. Namun, juga dapat dialami oleh anak-anak. Depresi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah keadaan tertekan dan perasaan semangat menurun dengan ditandai muram, sedih, loyo  karena tekanan jiwa, keadaan merosotnya hal-hal yang berkenaan dengan semangat hidup. Depresi pada anak dapat menggangu perkembangan anak dalam hal kepribadian maupun dalam hal berpikir. Oleh karena itu, depresi tidak bisa dianggap sepele.

Depresi pada anak dapat disebabkan oleh berbagai hal, seperti masalah medis, masalah neuropsikiatri, faktor lingkungan, bahkan faktor keluarga. Seperti yang dikemukakan oleh dr. Reza Fahlevi dalam artikelnya,  fakta menunjukkan bahwa rata-rata penyebab anak depresi adalah hubungan yang tidak sehat dalam keluarga, yang menyebabkan anak stres sejak kecil. Padahal setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah, lalu kedua orangtuanya yang menentukan masa depan anak tersebut. Pembentukan kepribadian anak salah satunya dipengaruhi oleh pola asuh dan pendidikan orangtuanya. Sebagai pendidikan yang pertama dan utama bagi anak, tentunya orang tua harus memperhatikan tanggungjawab tersebut dan bisa menjadi teladan yang baik bagi anak.

Oleh karena itu, hubungan kedua orangtua pun harus dijaga agar tercipta keharmonisan dalam keluarga. Keadaan keluarga yang tenang, menyenangkan, dan harmonis akan membantu proses pembentukan kepribadian, perkembangan, dan pendidikan anak dengan baik. Begitupun sebaliknya, keadaan keluarga yang tidak harmonis akan berdampak pada kepribadian dan perkembangan anak. Dalam kehidupan berkeluarga, selaku orangtua, baik suami atau istri diharuskan melakukan kewajiban-kewajiban sesuai dengan peranan masing-masing. Karena, apabila selaku orangtua yang dijadikan sebagai pola panutan tidak dapat menjalankan fungsi serta perannya, maka segala sesuatu yang menjadi rencana dan tujuan sebuah keluarga sesuai target yang dikehendaki tidak akan terwujud.

Mayoritas anak yang cenderung mengalami depresi disebabkan ada pengaruh negatif dari permasalahan keluarga, contohnya adalah tidak adanya dukungan dari keluarga khususnya orangtua selaku motivator pertama dalam keluarga. Minimnya dukungan dan apresiasi dari keluarga justru membuat anak mudah merasa insecure. Hasil penelitian dari JAMA Network Open membuktikan bahwa anak yang tidak mendapat dukungan dan motivasi yang tulus dari keluarganya, cenderung akan mudah mengalami stres dan tidak percaya diri. Hal tersebut juga dapat membuat anak mudah depresi saat mengalami masa-masa yang sulit.

Selanjutnya, keluarga khususnya orangtua seringkali menuntut banyak hal pada anak. Anak biasanya dipaksa untuk memenuhi keinginan orangtua atau keluarganya. Memiliki anak yang sempurna secara akademik atau non akademik memang membanggakan. Namun sayangnya, banyak anak yang sering dituntut banyak hal oleh keluarga. Mereka seringkali dituntut menjadi pribadi yang sempurna dalam berbagai bidang. Beberapa anak juga mungkin harus mengalami hal-hal yang ia tidak sukai hanya untuk memenuhi keinginan keluarganya. Hal ini justru dapat membuat anak tertekan saat ia gagal memenuhi ekspetasi dan keinginan keluarganya, sehingga dapat memendam stres dalam dirinya.

Depression Warriors Indonesia menjelaskan bahwa memendam stres yang terlalu lama akan menimbulkan masalah kesehatan mental, salah satunya adalah depresi. Perlakuan kasar keluarga pada anak juga dapat menjadi salah satu faktor anak mengalami depresi. Perlakuan kasar yang diterima anak dalam keluarga seperti halnya dipukul, ditendang, dibentak, ditertawakan, dan mengeluarkan kata-kata kasar pada anak. Kementrian PPPA mencatat ada sekitar 4.116 kasus kekerasan anak di Indonesia yang terjadi pada tahun 2020 lalu. Di antaranya, ada sekitar 1.111 kasus kekerasan fisik pada anak. Sebagian besar kasus kekerasan tersebut dilakukan oleh keluarganya sendiri. Perlakuan kasar tersebut dapat menyebabkan hilangnya kepercayaan diri dan akan membuat anak merasa ia tidak diinginkan dalam keluarga. Selain itu, membanding-bandingkan anak di dalam keluarga juga dapat membuat mereka merasa stres dan tertekan yang berujung pada depresi.

Seringkali keluarga atau orangtua menganggap bahwa hal tersebut adalah hal yang biasa, padahal kebiasaan membanding-bandingkan anak di dalam keluarga dapat menyebabkan anak merasa tidak ada ruang bagi dirinya untuk menjadi diri sendiri dan diakui dalam keluarga. Namun, mereka akan selalu beranggapan seperti berkompetisi dengan saudara atau orang lain karena perbandingan itu. Bukankah akan sangat stres jika hidup selalu dibanding-bandingkan seperti itu?

Tidak hanya itu, body shaming yang dilakukan oleh keluarga juga merupakan salah satu penyebab anak mengalami depresi. Dalam artikelnya Erin Sadler, Psy.D. mengatakan bahwa sebagian body shaming yang diterima oleh anak berasal dari keluarganya. Keluarga menganggap bahwa body shaming adalah hal yang normal dan bahkan seringkali disepelekan. Entah itu menjelek-jelekan fisik atau membandingkan fisik dengan hinaan yang dianggap sebagai bahan candaan. Bagi anak yang tidak bisa menerima candaan seperti itu, mereka justru akan merasa direndahkan dan lagi-lagi akan kehilangan rasa percaya diri yang berujung stres dan depresi. Selain itu, hal ini juga justru mengajarkan anak bahwa menjelek-jelekan fisik adalah hal yang wajar.

Sangat disayangkan memang keluarga yang seharusnya memberikan pujian, dukungan, dan kasih sayang pada anak malah melakukan hal sebaliknya yang bahkan dianggap sebagai hal normal. Seperti yang diketahui, bahwa tidak semua anak beruntung dapat dilahirkan dalam keluarga yang tenang, menyenangkan, dan harmonis. Serta tidak semua anak beruntung dapat memiliki orangtua yang memahami bagaimana cara mengatur emosi dan mendidik anak dengan baik. Maka dari itu, sebagai orangtua, penting untuk memberikan kenyamanan bagi anak supaya ia tidak stres dan depresi. Didik anak sesuai usia dan perilaku yang positif agar ia juga tumbuh menjadi anak yang positif.

Penyunting: Andini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *