Saat Jatuh Cinta, Dopamin di Otak Meningkat

1d4da022 328d 4849 963c 0265aa8c7329

Oleh: Rafi Setyadi

Setiap orang pasti pernah mendengar atau bahkan mengalami yang namanya jatuh cinta. Ketika jatuh cinta, tubuh kita terasa seperti sedang melayang-layang. Jantung kita berdebar-debar saat berada di dekat orang yang kita cintai. Terlebih apabila kita bisa mendapatkan orang yang kita cinta, dunia ini serasa milik berdua. Namun, pernahkah kamu berpikir kenapa manusia jatuh cinta?

Pada zaman dahulu kala, ketika bumi masih terlampau kejam, manusia membutuhkan komponen untuk bertahan hidup. Salah satu komponen penting untuk bertahan hidup tersebut adalah rasa keterikatan emosional antara ibu dengan anak-anaknya. Anak-anak yang terlahir dari ibu yang tidak memiliki keterikatan emosional akan habis diseleksi oleh alam, menyisakan manusia yang memiliki rasa sayang kepada anaknya.

Seiring berjalannya waktu, selain untuk mengikat ibu dan anak, rasa sayang juga berguna untuk mengikat ibu dan ayah. Bayangkan di zaman dulu, ketika dunia masih terlampau ganas dan banyak hewan buas, jika ada seorang ibu yang sedang hamil atau sedang memiliki anak kecil, siapa yang akan menjaga atau mencarikan makan untuknya? Jika sang anak ditinggal, kemungkinan besar ia akan diterkam oleh binatang buas. Oleh sebab itu, maka peran ayah sangat diperlukan untuk menjaga anak dan ibu tersebut.

Di sinilah proses seleksi alam kembali bekerja. Otak manusia berkembang dari yang awalnya bertujuan untuk mengikat ibu dan anak, juga agar bisa terikat dengan ayahnya untuk waktu yang relatif lama (pair bonding). Dengan itu masa depan anak lebih terjamin. Jadi, manusia jatuh cinta agar bisa bertahan hidup dan memelihara spesiesnya. Hal ini sesuai dengan motif utama makhluk hidup yaitu bertahan hidup: berkembang biak untuk mempertahankan spesiesnya.

Sebagian orang merasa bahwa cinta terletak di dalam dada atau di hati. Memang benar, tetapi hati yang dimaksud bukanlah hati yang terletak di bawah tulang rusuk. Namun, hati di sini adalah manifestasi mental yang muncul akibat kombinasi impuls listrik dan gejolak kimiawi di dalam tempurung kepala.

Cinta dan berbagai macam perasaan lainnya sebenarnya terletak di dalam kepala kita, tepatnya di otak. Namun, proses biologis yang terjadi di otak kita itu dapat memengaruhi ritme jantung. Itulah sebabnya kita bisa merasakan debaran jantung ketika berada di dekat orang yang kita cinta hingga merasakan sesaknya dada ketika tahu bahwa dia sudah ada yang memiliki.

Lantas, apa yang sebenarnya terjadi pada tubuh kita ketika jatuh cinta? Ketika jatuh cinta, otak kita dibanjiri dengan berbagai macam senyawa, seperti oxytocin, dopamine, vasopresin, serotonin, dan sebagainya. Itulah yang membuat kita merasakan cinta. Hal itu dibuktikan dari penelitian Helen Fisher yang meneliti 37 orang yang sedang jatuh cinta. Hasilnya menunjukkan bahwa perasaan yang sedang dialami membuat aktivitas otak yang kaya dopamin meningkat.

Dilansir dari gaya.tempo.co, Dopamin adalah hormon dan neurotransmitter (senyawa otak) yang berkaitan dengan penghargaan diri, seperti motivasi. Hormon ini juga memainkan peran terhadap suasana hati sehingga termasuk sebagai hormon kebahagiaan. Dopamin juga disebut sebagai hormon “perasaan baik”. Selain memengaruhi kesenangan diri, dopamin juga berkontribusi dalam penalaran, daya ingat, serta fungsi sistem motorik.

Selama senyawa-senyawa tersebut ada pada otak kita, maka kita akan merasakan cinta. Dengan kata lain, kita bukan mencintai orangnya, tetapi mencintai senyawa-senyawa tersebut. Ketika tujuan dari cinta sudah tercapai, maka reaksi kimia tersebut bisa saja hilang. Jadi, cinta memang dapat datang dan pergi begitu saja. Kita cukup menikmatinya.

Penyunting: Rini

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *