Oleh: Lita Nuraeni
Indonesia saat ini telah menjadi negara dengan kasus positif dan kematian akibat COVID-19 tertinggi di dunia. Maka, pemeritah Indonesia menerapkan kebijakan baru berupa Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) darurat untuk wilayah Jawa-Bali. PPKM darurat ini mulai diberlakukan tanggal 3-20 Juli. Hal ini bertujuan untuk membatasi mobilitas masyarakat yang kian padat di tengah melonjaknya kasus COVID-19 di Indonesia. Kebijakan tersebut diharapkan dapat menekan angka penyebaran virus COVID-19.
Namun kebijakan yang dilakukan pemerintah ini, nampaknya belum dapat berjalan sesuai dengan apa yang diharapkan. Memang benar, jika kebijakan PPKM ini sangat tepat dilakukan untuk memutus mata rantai penyebaran COVID-19. Namun, di sisi lain juga dapat membawa dampak buruk bagi perekonomian masyarakat. Khusunya, bagi kalangan menengah ke bawah yang notabene merupakan pedagang dan pelaku UMKM (Usaha Mikro Kecil Menengah).
Sejak mulai diberlakukannya kebijakan baru ini, banyak masyarakat yang mengaku terus-menerus mengalami penurunan jumlah penghasilan, bahkan hingga kehilangan mata pencaharian. Karena PPKM darurat ini mengharuskan masyarakat tetap berada di rumah dan untuk sementara tidak diperbolehkan bepergian ke luar kota. Kebijakan PPKM ini, juga mengakibatkan tempat wisata, pasar tradisional, pusat perbelanjaan, rumah makan, dan toko-toko lainnya harus tutup sementara. Dapat dibayangkan, betapa banyak masyarakat yang terdampak dalam segi ekonomi dengan diberlakukannya kebijakan ini.
Penerapan PPKM juga mengharuskan para pelaku usaha, khususnya di bidang kuliner, untuk menerapkan sistem take away (dibawa pulang) dan membatasi jam operasionalnya hingga pukul 20.00 WIB. Jika sampai melanggar, maka harus siap dengan sanksi berupa denda maupun kurungan penjara. Hal ini sempat dialami oleh pedagang bubur ayam asal Tasikmalaya yang terjaring operasi yustisi, karena ketahuan masih mempersilakan pembeli untuk makan di tempat. Akibatnya, dia harus membayar denda sebesar Rp 5 juta. Memang sangat memprihatinkan, mengingat penghasilannya yang terus menurun akibat COVID-19, harus dihadapkan dengan denda yang dapat dikatakan sangat memberatkan ini.
Hal serupa pun harus dialami oleh seorang pemilik kedai kopi asal Tasikmalaya, yang turut terjaring razia PPKM darurat. Hal tersebut terjadi karena pihaknya yang kedapatan masih melayani pembeli, melebihi batas waktu operasional yang telah diterapkan selama PPKM darurat. Dalam kasus ini, pemilik kedai terbukti melanggar Pasal 34 Ayat (1J), Pasal 21i Ayat (2) Huruf f dan g Perda Provinsi Jawa Barat Nomor 13 Tahun 2018 tentang Ketenteraman, Ketertiban Umum, dan Perlindungan Masyarakat. Atas tindakannya tersebut, pemilik kedai ini harus mendekam tiga hari di penjara. Meskipun pada persidangan, pihaknya sempat diberi pilihan untuk membayar denda senilai 5 juta atau kurungan penjara. Memilih kurungan penjara juga dirasa tidak terlalu buruk, mengingat di tengah kondisi seperti sekarang ini, mendapatkan uang tunai sebesar 5 juta itu sangat sulit.
Jika melihat beberapa kasus pedagang yang terjaring razia PPKM darurat, sepertinya alasan mengapa mereka masih nekad berjualan tidak lain adalah untuk mencari nafkah. Karena, bagi mereka yang merupakan pedagang dengan penghasilan menengah ke bawah, melihat keluarganya harus kelaparan lebih menakutkan dibandingkan dengan virus COVID-19 ini. Sehingga, wajar jika penerapan kebijakan PPKM ini disebut sebagai suatu cara untuk mengatasi masalah dengan menambah masalah baru, seperti halnya masalah ekonomi yang semakin hari semakin rumit. Mengingat selama pelaksanaan PPKM darurat ini, pemerintah dirasa belum bisa menjamin rakyatnya agar tidak kelaparan.
Kini, kebijakan Pemberlakuan Pembatasan Kegiatan Masyarakat (PPKM) yang semula dilaksanakan mulai tanggal 3-20 Juli, harus diperpanjang hingga akhir Juli mendatang. Hal ini dilakukan, mengingat angka penularan COVID-19 yang terus memburuk. Namun, apa jadinya jika angka penularan COVID-19 ini akan terus memburuk dalam jangka waktu yang lebih lama lagi? Hal yang paling dikhawatirkan yaitu penurunan pertumbuhan ekonomi nasional.
Masalah penangan COVID-19 saat ini, memang telah menjadi fokus utama pemerintah yang dapat dilihat dengan diberlakukannya berbagai kebijakan. Mulai dari PSBB, Lockdown, hingga PPKM darurat yang diterapkan sekarang ini. Namun alangkah lebih baik lagi, jika penerapan kebijakan tersebut lebih dipersiapkan matang-matang. Sehingga, tidak menimbulkan masalah baru yang justru akan membuat runyam keadaan.
Di tengah kondisi seperti sekarang ini, mencari uang sangat sulit. Peraturan yang dibuat untuk melindungi rakyat dari ganasnya COVID-19 nyatanya tak juga dapat melindungi rakyat dari kemelaratan. Sebenarnya, dilarang berjualan dan pembatasan jam operasional sudah cukup menjadi hukuman bagi para pedagang. Tak sepatutnya dalam kondisi yang serba susah ini, rakyat harus dibuat susah dengan denda dan hukuman. Memang pedagang yang melanggar juga tak dapat dibenarkan. Namun, pastinya mereka memiliki alasan tersendiri, seperti butuh uang untuk makan, membayar kontrakan, dan hal lain yang mungkin pemerintah tak mau ikut campur akan hal itu.
Jika hal ini terus terjadi, maka akan terjadi seperti halnya PPKM diperketat, namun angka penuralan COVID-19 semakin meningkat. Lalu selanjutnya, akan berpengaruh terhadap pedagang yang tak diperbolehkan berjualan. Maka, yang akan terjadi adalah krisis kesehatan yang juga dibarengi krisis ekonomi yang tiada henti. Jika pemerintah terus melakukan kebijakan tanpa memberikan solusi atas akibat yang akan terjadi, maka rakyat akan semakin melarat. Cepat pulih Indonesiaku, semoga semesta senantiasa berpihak kepadamu.
Penyunting: Andini Primadani