Gemercik News-Universitas Siliwangi (19/9). Kegiatan PLP (Pengenalan Lapangan Persekolahan) FKIP (Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan) mendapatkan banyak keluhan dari mahasiswa. Pasalnya kebijakan-kebijakan yang telah disampaikan oleh panitia, pada saat di lapangan ‘guru pamong’ menerapkan ketetapan yang berbeda.
Rizki Syamsul Fauzi selaku Mahasiswa Jurusan Pendidikan Geografi menyatakan bahwa di sekolah tempat ia melakukan kegiatan PLP, bahkan ada guru yang masih kurang paham mengenai mekanisme kegiatan PLP ini.
“Jadi, setiap sekolah itu katanya memiliki rumah tangganya masing-masing, jadi punya kebijakannya masing-masing, apakah mahasiswa bisa mengajar secara daring atau pun tidak. Nah, mereka membuat kebijakan begitu. Jadi, jika mahasiswa tidak mau mengikuti kebijakan sekolah, silakan pindah sekolah latihan,” jelas Rizki.
Ia juga menuturkan bahwa kebijakan-kebijakan yang dirancang, komunikasi, dan sosialisasi oleh lembaga, seharusnya dilakukan jauh hari. Sehingga, jika ada kemungkinan buruk yang terjadi akan teratasi.
Senada dengan yang dilontarkan oleh Rizki, Salma Samrotul Wahidah selaku Mahasiswa Jurusan Pendidikan Bahasa Inggris menuturkan bahwa kurangnya persiapan terkait peraturan yang dibuat oleh pihak panitia PLP, sehingga penyampaianya kurang maksimal kepada pihak ‘guru pamong’.
“Ini sebenarnya bikin stres mahasiswa ya. Soalnya mahasiswa yang domisilinya di luar Tasik bener-bener kelimpungan, soalnya banyak juga ‘guru pamong’ yang jadi istilahnya, yaudah silakan jika di luar sekolah ‘guru pamong’, tapi nilai kamu nanti nasibnya gimana? Jadi dampaknya mahasiswa jadi stres, bingung terus jadi takut juga karena masalah nilai PLP ini.” Tutur Salma.
Ia juga menjelaskan, bahwa di lapangan masih ada guru pamong yang tetap ingin mahasiswanya untuk praktik di sekolah mereka. Tetapi, ada juga yang memberikan keleluasaan bagi mahasiswa. Pihak Unsil sudah memberikan kejelasan bahwa guru pamong tidak harus terlibat mengenai di mana mahasiswa memilih tempat praktiknya.
Redi Hermanto, S.Pd., M.Pd. selaku Ketua Pelaksana PLP FKIP tahun 2021 memberikan keterangannya akan hal tersebut.
“Sebenarnya bukan miss communication, ya, tapi lebih ke mispersepsi. Hari Selasa itu komunikasi dengan kepala sekolah dan didapatkan kesepakatan bahwa mahasiswa tetap melakukan kegiatan PLP berdasarkan domisili masing-masing tetapi harus sesuai dengan jenjang sekolah ‘guru pamongnya’,” ungkap Redi.
“Hal tersebut dikarenakan ada beberapa guru tetapi tidak semua, ya, hanya beberapa saja yang merasa keberatan untuk membimbing para mahasiswa yang sekolahnya berbeda jenjang dengan ‘guru pamong’ karena dikhawatirkan tidak akan optimal,” tambah Redi.
Setelah sosialisasi dengan kepala sekolah, pihak panitia pun sudah meluncurkan Surat Keputusan (SK) untuk penyamaan persepsi kepada Dosen Pembimbing Lapangan (DPL) dan juga ‘Guru Pamong’, agar tetap sesuai dengan pedoman yang ada. Hanya saja ada penegasan terkait dengan pemilihan jenjang sekolah yang harus sesuai dengan ‘guru pamongnya’ masing-masing.
Redi mengatakan pihak panitia telah mengupayakan sosialisasi dengan baik, namun tidak semua ‘guru pamong’ dapat hadir dengan alasan kesibukan.
“Tapi alhamdulillah, setelah kami coba mengumpulkan lagi semua kepala sekolah secara virtual, keadaannya pun mulai mereda. Hari Rabu juga kami coba konsolidasi langsung datang ke sekolah-sekolah untuk memastikan tidak ada lagi perbedaan persepsi,” tutur Redi.
Di akhir pemaparannya, Redi mengatakan bahwa kegiatan PLP FKIP tahun 2021 ini tentu akan berjalan lebih baik dengan adanya kerja sama dari semua pihak yang terlibat, baik itu dari panitia maupun sekolah yang bersangkutan.
“Semoga mahasiswa mendapat pengalaman secara langsung melalui pengamatan dan juga observasi yang dilakukan, sehingga dapat lebih mengenal lingkungan sekolah itu seperti apa. Karena sasaran utamanya itu kan jadi guru, tentu harus dibekali dengan hard skills dan juga pengalaman yang sekarang sedang diimplementasikan,” pungkas Redi.
Reporter dan Penulis: Aurel Abigail dan Windi Saputri P
Penyunting: Rini