Perempuan dan Realitas Wacana Kesetaraan Gender

PicsArt 03 08 06.20.471

Makna demokrasi akan menjadi sempit apabila sebatas pemilu saja. Demokrasi juga berbicara Hak Asasi Manusia (HAM), yaitu adanya kebebasan berpendapat, persamaan dalam berbagai aspek, juga perlindungan yang sama untuk masyarakatnya. Tidak peduli siapa dan datang dari mana dia, minoritas, pun mayoritas. Berbicara mengenai HAM, Wolfgang Benedek menjelaskan bahwa inti dari HAM adalah aspirasi untuk melindungi harkat martabat seluruh manusia, terlepas dari perbedaan gender yang mereka miliki. Salah satu isu yang penting untuk dilindungi adalah mengenai kesetaraan gender. Kesetaraan akan terwujud apabila dalam prosesnya tidak terjadi diskriminasi. Fenomena yang dapat disaksikan sekarang adalah nilai patriarki yang telah mengakar dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Menurut Novarin dan Pattipeilhy (2020), patriarki yang ada dalam tatanan sosial merupakan sebuah penindasan hierarki seksual, di sini laki-laki memegang peran superior dan memiliki kesempatan dalam berbagai sektor.

Pendekatan makna gender selalu berhubungan dengan kodrat, kadang kala dimaknai dengan fungsi dari reproduksi. Pada dasarnya, semua orang sepakat bahwa laki-laki dan perempuan beda. Namun, gender bukanlah jenis kelamin yang merupakan pemberian Tuhan. Gender lebih berbicara mengenai fungsi dan peran seseorang dalam masyarakat. Dalam realitas kehidupan terdapat prasangka masyarakat sosial, di sini laki-laki dianggap lebih superior daripada perempuan, kemudian dilanggengkan dengan mitos-mitos dan interpretasi agama, dan akhirnya melahirkan kesenjangan gender dalam masyarakat Indonesia.

Ketimpangan gender tidak hanya terjadi di Indonesia, di negara maju  seperti Negara-negara Eropa yang dikenal sebagai negara beradab dan terbuka, ketimpangan gender masih sering terjadi dan bisa terjadi pada siapa saja, terlebih perempuan. Juli kemarin, Court of Justice Uni Eropa mengesahkan aturan pelarangan pemakaian atribut keagamaan, apabila atasan ingin memberikan atmosfer netral di lingkungan tempat kerja. Dalam edisi pakaian saja sudah diatur untuk memakai atau tidak memakai sesuatu. Di Indonesia, aturan berpakaian tak hanya untuk umat agama tertentu, misalnya saja aturan semua perempuan diwajibkan berpakaian tertutup.

Kemudian, muncul narasi masyarakat yang selalu mengait-ngaitkan antara cara berpakaian perempuan dan kekerasan seksual. Mereka berpendapat bahwa perempuan dengan pakaian tertentu dapat menimbulkan kejahatan dan selalu menyalahkan korban karena pakaian yang ia kenakan. Selain dalam hal aturan pakaian, aspek industri atau ranah pekerjaan pun memiliki stereotip yang cenderung positif terhadap laki-laki dibanding perempuan. Laki-laki dianggap lebih tegas, lebih rasional, dan bisa mengambil keputusan yang tepat sehingga keberadaannya lebih dominan di tempat kerja. Sementara itu, perempuan selalu dianggap lebih baik bekerja pada profesi yang membutuhkan sifat-sifat yang lebih feminim. Seperti perawat, guru SD, atau pekerjaan di ranah domestik.

Sebagai negara demokrasi, pengakuan atas dasar persamaan derajat menjadi penting di tengah iklim demokrasi patriarki. Peran serta segala aktivitas perempuan juga penting dalam pengambilan keputusan. Dengan segala keterbatasannya, emansipasi wanita yang telah diperjuangkan oleh sosok Kartini harus tetap tumbuh di tengah masyarakat sekarang. Meskipun Pemerintah Republik Indonesia telah menetapkan kedudukan antara laku-laki dan perempuan tanpa terkecuali dalam UU 1945 Pasal 27, tetapi dalam perkembangannya masih terjadi tindakan diskriminatif. Oleh karena itu, mari kita berfokus saja pada bagaimana demokrasi di Indonesia dilihat dari perspektif gender dengan memaparkan dan melihat realitas gender yang terjadi di Indonesia.

Perempuan yang paling rentan mengalami ketimpangan ini, seperti dianggap makhluk lemah yang harus selalu dilindungi dan dijaga, harus selalu senyum, tidak boleh marah, menstruasi yang sering dianggap menjijikan dan memalukan, sampai perempuan acap kali malu menyebut kata ‘pembalut’ di depan umum. Hal lainnya seperti perempuan berkarir yang malah dibilang menelantarkan keluarga, memakai baju kebesaran dianggap tidak modis dan memakai baju ketat dianggap perempuan nakal, harga produk perempuan lebih mahal daripada produk laki-laki, serta selalu ditanya “Kapan punya anak?” karena katanya, perempuan belum 100 persen menjadi perempuan jika belum merasakan melahirkan. Belum lagi perempuan yang selalu disalahkan meskipun menjadi korban pada kasus pelecehan dan kekerasan seksual, sering disalahkan dan dilabeli “pelakor”, sedangkan pihak laki-laki jarang dipermasalahkan, dalam pekerjaan tidak mendapat cuti menstruasi, gaji serta posisi lebih rendah, dan masih banyak lagi.

Dari fenomena di atas, dapat dilihat bahwa kesenjangan implementasi terhadap pemenuhan hak konstitusional warga negara yang meliputi hak asasi manusia dan hak warga negara, masih sering terjadi diskriminasi terhadap kaum perempuan, untuk itu harus dihadapi dengan serius dari berbagai aspek. Nilai patriarki yang masih eksis di tengah-tengah masyarakat harus dikikis dengan implementasi nilai yang lebih menjamin tegaknya keadilan dan kesetaraan, sehingga tidak ada lagi istilah maskulinitas dan feminitas.

Penulis: Milawati

Penyunting: Rismawati

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *