Merasakan Eksistensi Diri dengan Mindfulness

Mindfullness

Kecemasan, ketakutan, stres, gelisah dan perasaan negatif lainnya merupakan perasaan yang manusiawi. Sejatinya, semua orang pasti merasakan hal itu entah karena masa depan yang tidak jelas, masa lalu yang pahit, keluarga, pekerjaan, ataupun lainnya. Apalagi di tengah pola hidup yang serba cepat seperti sekarang ini, mengharuskan kita untuk beradaptasi dengan cepat juga. Namun, kadangkala tiap-tiap pribadi merasa kesulitan menyeimbangi gerakannya dengan alur pola hidup tersebut. Akibatnya, muncullah permasalahan baru. Permasalahan yang bisa saja jadi bumerang bagi diri mereka sendiri.

Pada dasarnya, kita memang tidak bisa menghindar dari segala perasaan negatif. Bisa dikatakan perasaan negatif juga bagian dari pertumbuhan jiwa. Tetapi, kita bisa mengelolanya agar tetap memiliki hati yang damai dan tenang. Salah satu caranya adalah dengan mindfulness. Mindfulness ini mengajarkan kita untuk bersikap legowo terhadap apa-apa yang terjadi dalam kehidupan kita.

Dikutip dari laman mindful.org, mindfulness adalah kemampuan dasar manusia untuk merasakan hadir sepenuhnya, sadar  kita sedang berada dan sadar terhadap apa yang sedang kita lakukan, serta tidak terlalu bersikap reaktif atau merasa kewalahan oleh apa yang terjadi di sekitar kita. Intinya, mindfulness adalah konsep merasakan hadir atau fokus untuk hidup di saat itu. Keadaan ini membantu untuk menerima, mengatasi pikiran, perasaan, atau sesuatu yang mengganggu.

Menurut ahli di SANE Australia, mindfulness sudah ada sejak lebih dari 2.500 tahun yang lalu. Mindfulness berakar dari praktik meditasi Buddha yang kemudian dikembangkan sebagai metode terapi dalam praktik psikiatri dan psikologi. Penggunaan mindfulness sebagai sebuah pendekatan intervensi psikologi mulai pertama kali dikenalkan pada tahun 1980. Dipelopori oleh John Kabat – Zinn, seorang dokter dan akademisi dari Universitas Massachusetts melalui program bernama Mindfulness-Based Stress Reduction (MBSR). Kemudian, John Teasdale, Zindel Segal, dan Mark Williams mengembangkan Mindfulness-Based Cognitive Therapy (MBCT) dengan memadukan mindfulness dengan terapi kognitif.

Keuntungan bagi seseorang yang menerapkan sikap mindfulness, yaitu mampu meminimalisasi stres sehingga dapat mengurangi keresahan dan kecemasan berlebihan,  hal ini dapat memperburuk kondisi fisik seseorang. Orang yang selalu menjalankan mindfulness dapat membangun ingatan jangka pendek dan panjang jauh lebih baik, meningkatkan fokus, membantu berpikir lebih baik dan menekan berbagai emosi buruk yang muncul dalam otak.

Setiap orang pasti ingin memiliki rasa kedamaian dan kebahagiaan dalam hidupnya. Kedamaian dan kebahagiaan dapat tercapai apabila kita bisa mengendalikan pikiran dan emosi dalam diri kita. Kemudian, memicu rasa tulus serta ikhlas yang akan diikuti oleh rasa syukur terhadap apa yang dimiliki. Itulah salah satu alasan mengapa kita harus bersikap mindfulness. Hal ini dikarenakan mindfulness mengajarkan bagaimana cara melatih pikiran agar terkonsentrasi dan menjadi termunikan.

Menurut Dr. dr. Rusdi Maslim, SpKJ(K), M.Kes, mindfulness dapat dilakukan dengan langkah-langkah “STOP” yang artinya:

  • “S” adalah stop and take stock, yaitu berhenti dan merasakan yang dialami saat ini.
  • “T” adalah take a breath, yaitu mengarahkan kesadaran melalui latihan pernafasan.
  • “O” adalah open and observe, yaitu memperluas kesadaran ke lingkungan sekitar.
  • “P” adalah proceed, yaitu melanjutkan dengan tanpa harapan.

Selain itu, terdapat tujuh pilar utama dalam melakukan mindfulness, yaitu non-judging, patience, beginner’s mind, trust, non-striving, acceptance, letting go. Ketujuh hal ini merupakan dasar yang harus ada dalam praktik melakukan mindfulness.

Perlu diingat, mindfulness harus dilakukan dengan kesadaran pribadi bukan melainkan atas dasar kompulsivitas atau paksaan bahkan keharusan. Hal ini dikarenakan seseorang harus dalam keadaan merasakan dan menerima tanpa penghakiman serta penuh kerelaan. Dengan demikian, seseorang dapat merasakan dampak dari menjalankan mindfulness itu sendiri dan memiliki tingkat kesadaran yang jauh lebih baik pada diri sendiri maupun sekitarnya.

Penulis: Wanda Agriani
Penyunting : Tanti Amalia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *