Memahami Generasi Z si Paling Peduli Mental Health

PicsArt 09 05 03.14.23

Generasi Z adalah generasi paling peduli dengan mental health atau kesehatan mental. Dibandingkan dengan generasi para orang tuanya, orang-orang yang lahir sebagai generasi Z lebih peduli dengan kesehatan mental mereka. Seperti artinya dalam bahasa Indonesia, mental health selalu menitikberatkan bahwa setiap manusia harus peduli dengan kesehatan mental mereka. Pastinya kita sudah tidak asing lagi dengan kegiatan healing, sebuah kegiatan agar kesehatan mental kita kembali pulih. Anak muda zaman sekarang lebih memilih menganggur daripada mendapatkan pekerjaan yang membuat kesehatan mental mereka terganggu.

Mereka sering menggembor-gemborkan kesehatan mental di media sosial. Seringkali kita dapati cuitan di Twitter, Instagram Story, hingga konten di YouTube mengenai kesehatan mental. Namun, jika saya perhatikan banyak dari mereka yang salah dalam memahami mengenai kesehatan mental ini. Saya sendiri bukan ahli psikologi dan hanya belajar psikologi tipis-tipis. Jadi, di sini saya mau mengutarakan opini saya tentang kesalahpahaman anak muda zaman sekarang mengenai kesehatan mental dan apresiasi terhadap generasi Z yang peduli dengan kesehatan mental tersebut.

Terpengaruh Informasi Mengenai Psikologi

Saya sangat setuju bahwa kita harus peduli terhadap kesehatan mental. Namun, saya sering melihat orang-orang yang melakukan self diagnose bahwa mereka memiliki gangguan kesehatan mental seperti anxiety, bipolar, dan lain sebagainya. Pengaruh informasi mengenai psikologi yang berseliweran di internet membuat mereka melakukan self diagnose. Padahal untuk mengetahui apakah kita memiliki gangguan kesehatan mental perlu dibantu oleh tenaga profesional khusus seperti psikolog dan psikiater.

Curhatan-curhatan para penganut paham kesehatan mental biasanya muncul di Twitter. Memang beberapa di antaranya seakan memiliki permasalahan yang sangat berat, entah itu karena faktor broken home, kesalahan dalam memilih pasangan, hingga kondisi perekonomian. Tetapi, sebenarnya juga ada yang sedikit lucu dan akhirnya membuat banyak orang mengkritik dia, contohnya si pejuang healing yang mumet dengan kuliahnya. Cuitan Twitter tersebut mengeluhkan bahwa kuliah berdampak buruk untuk mental health,  karena materi dan tugas yang sangat banyak padahal baru di semester satu, yang berakibat pada kegiatan healing dan self reward penulis cuitan tersebut berkurang. Curhatan-curhatan yang seperti inilah yang membuat pembahasan kesehatan mental semakin marak di media sosial, terutama untuk generasi Z dan Milenial.

Kesehatan Mental menjadi Alasan untuk Kabur dari Tanggung Jawab

Sayangnya, meskipun punya makna yang baik, tidak jarang kesehatan mental justru hanya menjadi alasan dan akal-akalan untuk menghindari tanggung jawab. Tanggung jawab apakah itu? Yap, terhadap kehidupan sendiri.

Banyak dari mereka yang menggunakan kesehatan mental untuk menghindari tanggung jawab mereka sendiri. Menurut saya, mentalitas yang dibangun oleh generasi Z tergolong lemah. Saya tahu bahwa siapa pun tidak mau mendapatkan tekanan dalam hidupnya. Banyak yang menghindari tekanan meskipun tekanan itu dapat membantu mereka menjadi lebih dewasa. Tidak jarang mereka kerap kali melakukan self reward, mereka bahkan rela merogoh kocek lebih besar untuk melakukan hal tersebut. Sebenarnya tidak ada yang salah dengan itu, tetapi, menurut saya self reward yang dilakukan dengan frekuensi cukup sering itu hanya menguras tabungan saja.

Generasi Z dan Milenial Terlalu Fokus pada Emosi Semata

Kesalahan generasi si paling mental health ini adalah sering terpaku pada emosi semata. Ketika sedang mengalami masalah yang menekan, tidak jarang langsung buru-buru lari menghindari masalah tersebut, seperti tidak kuat sama sekali hidup di bawah tekanan.

Melansir dari beberapa artikel yang saya baca, terdapat 2 jenis cara mengatasi permasalahan mental yang diakibatkan oleh masalah hidup. Pertama, penyelesaian emosi yang sudah sering dilakukan. Kedua adalah penyelesaian masalah. Dua istilah ini bisa kita sebut dengan emotional focus coping dan problem focus coping. Para psikolog mengatakan jika masalah tidak selesai dan hanya melakukan emotional focus coping, maka sebenarnya usaha tersebut hanya menunda seseorang untuk merasa stres. Karena masalahnya belum dihadapi dan belum selesai, tidak menutup kemungkinan stres tersebut bisa muncul kembali.

Menurut saya, seharusnya kita sebagai generasi muda mau belajar menghadapi masalah. Karena ketika kita bisa menyelesaikan masalah yang kita hadapi, maka dapat memupuk mentalmu menjadi kuat dan lebih percaya diri. Akan tetapi, saya sangat mengapresiasi generasi Z atas kepedulian mereka terhadap kesehatan mental. Jika melihat generasi orang tua kita, mungkin kesehatan mental masih tabu untuk dibahas apalagi generasi Z sering kali mendapatkan kritikan bahwa generasi ini adalah generasi yang lemah mentalnya.

Penulis: Alya Ardelia Apsari

Penyunting: Mita Maulida Farha

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *