Hiruk pikuk kehidupan perkuliahan sudah menjadi santapanku setiap hari. Lalu lalang mahasiswa terekam jelas dari tangkapan bola mataku, memang hal yang biasa terjadi. Namun, saat ini aku merasa makin gaduh saja karena informasi yang mengejutkan para mahasiswa Universitas Siliwangi (Unsil) mengenai Warung Hejo atau yang biasa dikenal dengan Warjo oleh mahasiswa sini, mendadak dibongkar oleh pihak Komando Distrik Militer (Kodim) Brigif. Letak Warjo yang dekat sekali dengan Unsil dan harganya yang terbilang murah, membuat banyak sekali mahasiswa menjadi pelanggan setia di sana. Aku memang bukan pelanggan setia Warjo karena sering belok ke warung makan lain, tetapi aku beberapa kali pernah makan di sana. Benar-benar murah dan enak! Makanya, mendengar dibongkar, hatiku pun merasa seperti dicubit.
Sore itu, sekitar pukul 15.10 WIB tidak turun hujan. Maka dari itu, langkah kakiku menuju Warjo, sebelum pindah pun terasa nyaman. Tujuanku pergi ke sana, selain ingin menikmati makan di Warjo, aku ingin mendengar langsung dari sang pemilik, alasan tiba-tiba warung makannya dibongkar karena saking penasarannya begitu mendengar kabar ditutupnya warung makan kesayangan para mahasiswa tersebut.
Masuk ke warung makan yang sebentar lagi akan menjadi kenangan karena pindah, netra gelapku langsung melihat seorang wanita paruh baya yang sepertinya sedang mengecek makanan di dalam etalase. Namanya Entin Sukartini, sang pemilik Warjo. Ketika masuk tadi, pandangan Bu Entin langsung beralih kepadaku.
Dia tersenyum, lalu menyapa, “Baru pulang kuliah, ya, Neng?”
Aku balas tersenyum. “Iya, Bu. Laper, mau nasi sama ayam gepreknya, ya, Bu. Pake sambel,” jawabku sekaligus memesan.
“Tunggu sebentar, ya.”
Bu Entin bergegas mengambil piring dan menuju ricecooker berukuran besar. Aku bisa melihat uap mengepul dari dalamnya ketika tutup ricecooker-nya dibuka. Niat ingin bertanya alasan ditutupnya Warjo, untuk sebentar teralih karena perut yang tiba-tiba keroncongan. Apalagi, aroma ayam geprek yang tercium saat pesananku sudah berada di hadapan. Pikiran langsung bersorak, lebih baik mengenyangkan perut terlebih dahulu sebelum menuntaskan rasa penasaran yang terus menyerang.
Aku pun asyik dengan makanan yang tersaji. Nasi panas, ayam geprek, ditambah sambal, paduan yang sempurna dan mengenyangkan.
Setelah melahap habis makanan yang ada di piring dan meneguk air mineral kemasan, aku mengutarakan niat awalku datang kepada Bu Entin. Dengan senyum ramah, beliau setuju.
“Saya punya anak yang sekarang kuliah, makanya saya ngerasain apa yang mahasiswa sini rasain. Apalagi buat mahasiswa rantau yang ngekos, pasti biaya hidupnya sudah keluar banyak buat sekedar kehidupan sehari-hari,” ujar Bu Entin ketika aku bertanya mengapa rela menjual makanannya dengan harga yang sangat murah.
Beliau pun berkisah, salah satu anaknya yang kini mengenyam pendidikan di salah satu perguruan tinggi adalah alasan terbesar ia menjual makanan olahan daging dengan harga yang murah. Sebagai seorang ibu, Bu Entin pasti merasakan bagaimana sulitnya mencari uang untuk sang anak yang merantau, untuk mengenyam pendidikan. Selain harus keluar uang banyak untuk tempat tinggal, uang untuk makan sehari-hari pun pasti tak kalah banyak karena anak rantau kebanyakan tidak memasak, melainkan membeli makanan dari luar. Hal tersebut yang membuat beliau tidak ragu untuk menjual makanannya dengan harga murah.
“Hitung-hitung sedekah,” katanya. Jujur saja, hatiku menghangat mendengar alasan beliau.
Meskipun sang suami juga bekerja di Kodim Brigif, hal tersebut tidak membuat warung makan milik Bu Entin terbebas dari penertiban rumah dinas dan bangunan liar yang sedang dilaksanakan oleh Kodim.
Bu Entin sempat membantah jika bangunan warung makan miliknya bukanlah bangunan liar, sebab ia dan pihak Kodim sudah melakukan kesepakatan atau MoU (Memorandum of Understanding).
“Kalau dibilang bangunan liar, sebetulnya ini bukan bangunan liar, ya, karena resmi ada MoU ke Kodim,” ungkap wanita berusia sekitar 50-an tersebut.
Meskipun sempat membantah, tetapi Bu Entin tidak bisa berbuat banyak. “Sebenarnya bisa aja kami saling ngotot, tapi takut nanti malah jadi contoh yang gak baik,” ungkap Bu Entin disertai kekehan kecil, aku pun ikut terkekeh dibuatnya.
Kemudian, Bu Entin mengaku, Kodim tidak pernah menertibkan Warjo sebelumnya, meskipun bangunan lain harus terpaksa ditertibkan lalu dibongkar. “Mungkin karena tidak ingin menjadi sorotan, Warjo jadinya harus ditertibkan sebagaimana mestinya,” ungkapnya.
Setelah berusaha mencari jalan keluar dari permasalahan ini, Bu Entin akhirnya memutuskan untuk pindah sementara ke sebuah bangunan yang dikontrakkan di Jalan Cilolohan, depan sebuah yayasan sekolah bernama SMA Al-Muttaqin.
Beliau bercerita, meskipun banyak yang menyayangkan atas tutupnya warung makan miliknya dan para mahasiswa jadi beralih membeli makan di tempat lain atau membawa bekal dari rumah, beliau tidak bisa berbuat banyak dan hanya berharap bahwa usahanya tetap berjalan lancar.
Sehabis mencatat semua penjelasan yang diberikan Bu Entin dan sedikit berbincang, aku akhirnya berpamitan untuk pulang sebelum hari makin malam. Hari ini lumayan padat dan sangat melelahkan karena selain harus mengikuti pembelajaran di kampus dan bertanya mengenai ditutupnya Warjo milik Bu Entin, siang tadi aku juga sempat bertanya dan berbincang dengan beberapa pelanggan setia Warung Hejo. Warjo sudah berdiri sejak enam tahun silam, tentu saja Warjo memiliki banyak sekali pelanggan setia.
Menurut Kinanti Anisa Fitri, mahasiswa semester dua Teknik Informatika, yang merupakan salah satu pengunjung Warjo itu menyayangkan penutupan Warjo tersebut. “Sangat disayangkan, padahal saya sering makan di sana,” ujar Kinanti.
Selain respons dari Kinanti, mahasiswa lain seperti Septiya Putri Utami, mahasiswa tingkat dua Pendidikan Bahasa Indonesia, mengaku bingung dengan kabar penutupan Warjo. “Awalnya sempat bingung karena tempatnya itu rame, kan, tapi, ya,” ucap Septiya dengan senyum.
Penulis :Shafira Zalwa dan Verra Neisya Septiani
Penyunting: Putri Nurhasna Irani