PT Adaro Energy Indonesia Tbk. merupakan perusahaan yang bergerak di bidang pertambangan batu bara. Pada 11 Mei 2023, PT Adaro menggelar Rapat Umum Pemegang Saham Tahunan (RUPST). RUPST tersebut menjadi sorotan publik lantaran dua orang pemegang saham Adaro menyampaikan kekhawatirannya melalui sebuah banner, terkait dengan rencana pembangunan Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) batu bara baru di Kalimantan Utara. PLTU baru ini dibangun untuk smelter alumunium Adaro sebesar 1,1 Gigawatt (GW). PLTU tersebut merupakan PLTU captive yang digunakan untuk menyuplai kebutuhan listrik fasilitas industri.
Seperti yang ditulis oleh Greenpeace Indonesia, Smelter Adaro ini direncanakan akan memproduksi 500.000 ton aluminium setiap tahun. Dengan asumsi PLTU tersebut menggunakan teknologi terbaik saat ini, yaitu ultra super critical, maka PLTU ini diprediksikan akan menghasilkan emisi 5,2 juta ton CO2 ekuivalen per tahunnya. Mengutip dari CNBC Indonesia, pada 2021 kapasitas PLTU batu bara yang beroperasi di Indonesia meningkat 9% dari 36,6 GW menjadi 40,1 GW dan sudah meningkat 54% dari 26,1 GW pada 2015.
Dalam laporan Intergovernmental Panel on Climate Change (IPCC) disebutkan bahwa dunia sudah tidak memiliki anggaran karbon (carbon budget) untuk pembangunan PLTU batu bara baru sehingga penggunaan batu bara harus turun 75% pada tahun 2030 dari level 2019 agar dapat menahan kenaikan suhu global di bawah 1,5 derajat celsius, sesuai dengan Perjanjian Paris. Pembangunan PLTU batu bara baru yang dilakukan ADRO, justru bertolak belakang dengan apa yang diharapkan IPCC. Data Greenpeace menyebutkan bahwa produksi batu bara Adaro meningkat hampir 20% menjadi 62,8 juta ton dari 52,7 juta ton di tahun 2021 dan Adaro menargetkan kenaikan produksi batu bara di 2023. Terlihat dari niat Adaro, sudah jelas hal ini akan menyumbang jumlah karbon lebih banyak lagi.
Saat ini cuaca sudah terasa semakin panas dan tidak menentu, krisis iklim semakingawat, pembangunan PLTU baru bukanlah solusi serius dalam proses mewujudkan transisi ekonomi hijau. Pembangunan PLTU baru ini adalah bukti ketidakseriusan Adaro untuk berkomitmen mengembangkan usahanya di bidang energi terbarukan. Hal tersebut tidak linier dengan tema yang diangkat dalam laporan keuangan rilisan terbarunya, “Transforming into a Bigger and Greener Adaro”.
Adanya PLTU baru ini justru menambah kekacauan iklim bumi. Alih-alih melakukan proses transisi energi, Adaro justru mencederai komitmen Indonesia dalam proses transisi energi. Seperti yang diketahui, Indonesia ikut menandatangani transisi global batu bara menuju energi bersih (Global Coal to Clean Power Transition) pada pertemuan iklim (Conference of the Party/COP) 26 di Glasgow, Skotlandia. Pertemuan tersebut menyepakati empat poin, di antaranya:
- mempercepat pengembangan energi bersih dan energi efisiensi;
- mempercepat perkembangan teknologi dan kebijakan untuk mencapai transisi lepas dari pembangkit listrik yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon (unabated coal-fires power plan);
- menghentikan penerbitan izin baru dan pembangunan proyek PLTU batubara yang tidak menggunakan teknologi penangkapan dan penyimpanan karbon; dan
- menguatkan upaya domestik dan internasional untuk menyediakan kebijakan finansial, teknis, dan dukungan sosial untuk transisi yang adil dan inklusif.
Meskipun pada dasarnya batu bara merupakan penghasil listrik yang cukup besar, tidak memerlukan biaya yang besar dalam produksinya, dan mendapatkan keuntungan besar dari penghasilannya. Akan tetapi, PLTU batu bara cukup berdampak besar juga terhadap berbagai aspek. Lingkungan akan menjadi aspek yang paling terdampak dari adanya pembangunan PLTU batu bara baru ini. Emisi gas rumah kaca dan partikel berbahaya lainnya yang dihasilkan dari batu bara ternyata memiliki peranan dalam perubahan iklim global. Batu bara sebagai bahan bakar fosil ternyata menghasilkan emisi gas rumah kaca dan partikel berbahaya, seperti sulfur dioksida, nitrogen dioksida, dan debu. Partikel inilah yang membuat udara tercemar dan menghasilkan limbah yang dapat mencemari air dan tanah. Lebih parahnya lagi, apabila konsentrasi partikel ini tinggi, hal tersebut dapat menyebabkan terjadinya fenomena hujan asam.
Oleh karena itu, keberlanjutan sumber daya alam juga terancam. Penambangan batu bara menyebabkan degradasi lingkungan, seperti kemungkinan terjadi deforestasi (kegiataan mengubah area hutan menjadi lahan tidak berhutan untuk aktivitas manusia), kehancuran habitat alami, dan mengganggu populasi satwa liar. Selain itu, polusi udara menjadi salah satu kekhawatiran lain yang berdampak besar terhadap kesehatan dari adanya pembangunan PLTU. Partikel sulfur dioksida dan nitrogen dioksida yang dihasilkan dari pembakaran batu bara dapat menyebabkan asma, bronkitis, dan gangguan pernapasan lainnya.
Pembangunan PLTU batu bara juga mengakibatkan adanya relokasi penduduk dan biasanya membutuhkan lahan yang luas, sehingga mau tidak mau penduduk setempat diharuskan untuk pindah tempat tinggal. Adanya relokasi tersebut akan mengganggu mata pencaharian tradisional masyarakat setempat, sehingga kestabilan ekonomi dan sosial penduduk setempat akan terganggu.
Kalimantan merupakan pulau yang banyak akan budaya dan masyarakatnya masih erat dengan adat tradisional. Terdapat banyak komunitas adat setempat yang masih memiliki ikatan kuat dengan tanah dan lingkungannya. Adanya pembangunan PLTU batu bara pun dapat mengancam keberlanjutan adat, budaya, dan kehidupan tradisional masyarakat setempat.
Bisnis bukan hanya soal untung dan rugi, tetapi soal dampaknya juga. Pembangunan PLTU batu bara baru ini hanyalah menunda transisi. Dengan jumlah kas sebesar US$ 2,7 miliar seperti yang dicantumkan pada laporan keuangan Adaro tahun 2022, sudah saatnya Adaro mengedepankan belanja modal untuk investasi pada energi terbarukan.