CERPEN: “Karena Aku Prosopagnosia”

Karena Aku Prosopagnosia

Karya: Rini Saraswati
 
 
Hari ini aku bisa melihat dan mengenalmu. Bercengkrama bersama, menghadapi kehidupan yang seringkali semakin tak sesuai dengan harapan. Tapi tidak dengan besok, aku lupa siapa kamu. Wujud fisikmu setiap hari kadang berubah. Kadang terlihat remang meski di terangi oleh berbagai cahaya sekalipun. Aku sadari hal itu sebagai kekuranganku. Kalau dibilang menderita, tentu saja aku menderita. Bagaimana tidak? Setiap hari dengan orang yang sama aku harus berkenalan lagi, harus memahami satu sama lain lagi.

Pernah suatu hari. Aku menghilang. Bukan karena aku tak tahu arah jalan pulang. Tentu saja aku tahu. Aku ini pengamen. Dan meski usiaku belum mumpuni untuk dikatakan dewasa, tapi aku bisa katakan, aku adalah musabab anak-anak jalanan di sekitar rel kereta tempatku berada bisa makan. Saat itu, aku berada di sebuah puskesmas. Aku tak tahu bagaimana caranya aku bisa datang kesana.

“Tadi kamu pingsan, seseorang membawamu kesini tapi kemudian dia pergi lagi,” kata dokter yang kalau aku tidak salah ingat namanya fajar.
“Oh iya dok. Saya ingat. Apakah saya boleh pulang sekarang?” Tanyaku.
“Kalau bisa kamu tetap disini. Biar saya mengobatimu sampai kamu sembuh.”
“Saya tidak apa-apa dok. Saya pingsan. Mungkin karena belum sarapan saja”
“Baiklah. Kalau kamu merasa sakit, jangan sungkan datang kesini. Dan ingat, nama saya Fajar,” ucapnya.
“Iya, dok”.

Aku pergi. Setelah itu, aku lanjutkan pekerjaanku. Hari sudah semakin siang dan aku belum mendapatkan uang untuk membeli makanan. Anak-anak pasti menunggu.

Aku biasa mengambil rute Ledeng – Leuwi Panjang. Entah kenapa, supir bus yang selalu aku naiki begitu baik. Mereka selalu menyapaku dan memberhentikan bus tepat di hadapanku. Meski pada waktu itu aku tidak sedang bekerja sekalipun. Kadang aku mengobrol dengan mereka. Bahkan menghabiskan waktu makan siang bersama. Wajah mereka selalu saja memberikan ketenangan dan membuatku nyaman.

“Aku menyukai suaramu, Ris. Untuk itu, aku tidak menerima pengamen lain singgah di busku selain kamu,” ujar supir yang waktu itu mengajakku makan siang bersama.
“Haha. Terimakasih, Bang. Tapi kasihan juga pengamen lain yang mau naik ke bus Abang”
“Tak apalah, Ris. Prinsip Abang, kalau Abang sudah nyaman dengan satu orang, Abang tidak bisa membiarkan kenyamanan-kenyamanan lain datang ke dalam kehidupan Abang.”
“Ya sudah, aku pergi dulu ya, Bang. Anak-anak pasti nunggu aku.”
“Ya sudah, Ris. Abang masih mau istirahat disini.”

Siang itu. Ternyata benar. Anak-anak sudah menunggu lama. Kebiasaan mereka kalau sedang menungguku, mereka pasti belajar bersama. Mereka dibimbing oleh seorang sukarelawan yang katanya sedang melakukan penelitian.

“Hai anak-anak. Ayoo makan dulu,” kataku sembari menyimpan makanan diatas tikar yang digelar disana.

Anak-anak pun langsung memburu makanan itu. Beberapa menit kemudian pastilah makanan itu habis tak bersisa. Sukarelawan itu datang menghampiriku.

“Perkembangan anak-anak sangat pesat de, sekarang mereka sudah pandai membaca dan menulis,” katanya.
“Oh, iya, Kak, syukurlah kalau begitu,” jawabku.
“Tadi pagi kakak lihat kamu dibawa ke puskesmas, Dek. Itu benar kamu?”
“Iya kak. Tadi aku pingsan. Mungkin karena belum sarapan, hehe”
“Sebelum berangkat, kamu sebaiknya makan dulu. Usahain. Kamu harus jaga kesehatan. Kalau kamu sakit, orang-orang yang ada di sekitarmu juga akan merasakannya”
“Iya, Kak, iya”
“Terima kasih buat semuanya, Kak. Selama setahun ini kakak bersedia mengajar anak-anak disini”
“Iya. Itu memang sudah menjadi kewajiban Kakak.”
“Besok Kakak ga bisa datang kesini lagi. Penelitian kakak udah selesai.”
“Oh begitu. Pasti anak-anak bakalan sedih, Kak”
“Iya, Dek. Kakak tahu. Kakak harus kembali ke kota Kakak.”
“Oh, iya, Kak. Tapi kapan-kapan bisa datang kesini kan Kak?”
“Tentu saja, Dek. Setelah Kakak lulus, Kakak akan kembali kesini. Ada seseorang yang ingin Kakak bahagiakan. Ada seseorang yang ingin Kakak ajak untuk berhenti menderita lagi.”
“Wiih, memangnya siapa kak?” Tanyaku penasaran.
“Kamu, Dek,” jawabnya sembari tersenyum.

Waktu itu aku hanya manggut-manggut saja. Bukannya aku tak percaya. Tapi, ada alasan lain. Seperti perkataan yang biasa semua orang lontarkan terhadapku, dan aku tahu itu hanyalah sebuah candaan.  Baiklah, aku rela melepasnya. Anak-anak pun begitu. Hari-hari kami jalani seperti biasanya. Mengamen kemudian belajar bersama. Tapi ada yang berbeda dari kondisi tubuhku. Setiap hari aku pingsan. Entah di jam dan waktu yang mana. Selalu saja aku terbangun di puskesmas. Kembali aku bertemu dengan sosok baru. Beliau bertanya perihal namaku dan aktivitasku. Akupun bisa menjawab.

Selang beberapa menit kemudian, anak-anak yang selalu bersamaku datang menjemput. Tapi permasalahannya bukan itu. Aku tiba-tiba lupa siapa nama mereka. Wajah mereka tidak jelas. Sepertinya aku baru pertama kali bertemu dengan mereka. Aku pun mengaduh.

“Apa yang terjadi?”
 

Semuanya diam terkecuali dokter yang tadi memeriksaku. Panjang lebar dia menjelaskan dan yang aku ingat hanya satu. Yaitu aku adalah seorang penderita prosopagnosia. Seseorang yang tak bisa mengenal wajah orang dengan baik dan hanya bisa mengenali orang lain lewat suaranya. Lantas mengapa aku tak bisa mengingat nama anak-anak dan orang yang baru saja aku temui. Dokter itu menjawab.

“Karena kamu memang tak berusaha untuk mengingat ribuan keping hati yang baru kamu temui,” ucapnya.
“Tapi, mengapa aku selalu mengingat candaan seseorang tentang dia yang ingin mengajakku untuk bahagia. Aku sering sekali mendengar itu. Seolah diulang-ulang padahal aku baru saja bertemu dengannya.” Kataku
“Kamu ingat, namaku Fajar. Apabila kamu sakit, kamu jangan sungkan datang kesini? Kemudian aku menyukai suaramu, Ris. Untuk itu, aku tidak menerima pengamen lain singgah di busku selain kamu. Lalu ada seseorang yang ingin kakak bahagiakan. Ada seseorang yang ingin kakak ajak untuk berhenti menderita lagi. Kamu ingat itu?”
“Ya aku ingat. Tapi siapa mereka yang mengatakan itu? Aku lupa,” jawabku.
“Mereka yang mengatakan itu adalah orang yang sama, Ris. Orang yang ketika kamu pingsan dia mengantarkanmu kesini, orang yang selalu mengajakmu makan siang bersama setelah seharian menemanimu mengamen sebagai supir bus.”
“Aku lupa mereka, Dok. Apakah dokter, nama dokter adalah Dokter Fajar?”
“Bukan, Ris. Dokter Fajar adalah mereka yang tadi mengatakan itu semua kepadamu. Dokter Fajar adalah orang yang melakukan penelitian bersamamu dan anak-anak. Dokter Fajar-lah juga yang ingin mengajakmu untuk berhenti menderita lagi.”
“Tapi, kenapa dia melakukan itu, Dok? Selama ini saya tak mampu membalas kebaikannya dan mungkin saya tak tahu bagaimana caranya. Mengingat wajahnya pun saya tak mampu.” Ucapku seraya menahan tangis.
“Karena dia menyukaimu, Ris. Tak ada alasan lain lagi.”

Aku terdiam. Sejak itu, aku memutuskan untuk menunggunya. Ada satu hal yang aku mengerti yaitu tentang semua yang pasti akan kembali, tentang perjuangan dan perngorbanan yang dia lakukan dan tentang apa yang dia beri. Akan aku kembalikan kepadanya satu per satu. Terima kasih. 

 
Selesai
Biodata Penulis 
 
 
Semua jenis tulisan adalah karya sastra. Karya adalah perwujudan. Dan sastra adalah bagaimana membuat semua orang sedih dan bahagia. Nama saya Rini Saraswati. Alamat saya dari Singaparna. Kata orang saya itu baper. Kata orang saya itu ekspresif. Orang kata saya itu rajin. Orang kata saya harus belajar. Saya mencintai proses.

Facebook : [Rini Saraswati]
e-mail : [rinisaraswati65@gmail.com]

Sumber foto Prosopagnosia: https://www.google.com/url?sa=i&rct=j&q=&esrc=s&source=images&cd=&cad=rja&uact=8&ved=0ahUKEwiohOfbo6HOAhVFQ48KHaA-ArUQjB0IBg&url=http%3A%2F%2Fneurosciencefundamentals.unsw.wikispaces.net%2FProsopagnosia&psig=AFQjCNHMHdL-v97K2LAHRVNUfxWP7WrSVA&ust=1470177270158394 
Kirim tulisanmu ke e-mail redaksi.persmaunsil@gmail.com atau hubungi kami:
Instagram: @persmaunsil
Line: @zvg3544w
Facebook: Persma Universitas Siliwangi

Redaksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *