Sistem Proporsional Terbuka Dalang Perilaku Koruptif Para Elitis

Korupsi

Seperti yang kita ketahui, Sandiaga Uno, pernah mendampingi Prabowo sebagai wakil presiden pada pemilu 2019 yang lalu. Persaingan kelit terjadi pada saat itu karena sempitnya pertarungan calon yang menyebabkan polarisasi antar dua kubu. Untuk para pemilih pada 2019 kemarin, kita jelas tahu bagaimana sengitnya kampanye yang dilakukan oleh pasangan bakal calon tersebut dan bagaimana gerahnya situasi politik pada saat itu.

Bersama Kompas TV dalam wawancaranya pada 27 April 2023,  Sandiaga Uno baru saja mengaku mengeluarkan hingga 1 triliun untuk membiayai kampanye pada saat Pemilihan Umum Presiden 2019 yang lalu.

“Mungkin dua tahun setelah Pilgub DKI itu, biaya yang dikeluarkan hampir 1 triliun,” ucap Sandi saat diwawancarai.

Hal tersebut masih menjadi sesuatu yang fantastis, tetapi tidak mengejutkan. Tidak hanya Sandi, Donald Trump pun menghabiskan sebesar $7 juta dolar atau sekitar 736,3 miliar rupiah dalam kampanyenya pada Juli 2020 kemarin melawan Biden, dan terus bertambah dengan nominal tidak pasti berakhir pada angka berapa. Uang sebanyak itu kemudian diungkapkan oleh Detik.com, melalui wawancara dengan peneliti senior Lingkaran Survei Indonesia Toto Izul Fatah yang mengatakan bahwa seorang calon presiden harus menyediakan dana di atas Rp1 triliun untuk bersaing dalam pesta demokrasi lima tahunan itu. Menurut Toto, dalam sebuah program yang terukur, pos-pos pengeluaran seorang calon antara lain sosialisasi media untuk pengenalan calon. Semua itu para calon lakukan untuk membangun citra diri dan kepercayaan masyarakat agar bakal calon tersebut dapat memenangkan kontestasi pemilu tersebut.

Tak ayal, tingginya biaya kampanye ini memiliki dampak signifikan terhadap kinerja pemerintah ke depannya. Dengan minimal angka yang dikeluarkan dalam pemilu di tingkat daerah berada di kisaran 30 miliar, membuat para calon berusaha untuk menutupi kekurangan tersebut.  Kekurangan cost ini yang mendorong calon kepala daerah mencari sponsor pada entrepreneur atau bidang swasta. Akan tetapi, setelah menjadi kepala daerah, upah pokok yang didapat rata-rata sekitaran Rp10 juta. Untuk mengembalikan modal cost kampanye yang didapat dari sponsor, beberapa kepala daerah ambil jalan pintas dengan lakukan korupsi.

Tentu untuk tingkatan yang lebih tinggi dari kepala daerah, harga yang harus dibayarkan tidak ada apa-apanya. Sekilas, pernyataan Sandi pun tidak lagi begitu mengejutkan. Namun, menilai dari dampak itu sendiri terhadap pelaksanaan demokrasi, tentunya hal tersebut tidak bisa dibiarkan. Sekarang kita mulai bertanya, sebenarnya dari mana akar tingginya biaya politik ini?

Kembali pada pernyataan Toto Izul Fatah tentang kampanye, saya menyimpulkan bahwa tingginya biaya politik merupakan dampak yang tidak dapat terelakkan dari sistem proporsional terbuka yang digunakan. Sistem proporsional terbuka adalah sistem pemilihan umum bakal calon, baik legislatif maupun eksekutif, yang mengusung konsep kedekatan antara para calon dengan pemilihnya karena pemilih memilih langsung pasangan calon yang dirasa sesuai dengan gambaran tentang pemimpin dalam pikirannya. Konsep kedekatan tersebut  yang menyebabkan banyaknya biaya yang dikeluarkan, sehingga bakal calon akan fokus untuk membangun citra diri (image) untuk memengaruhi pilihan masyarakat dengan banyak cara, salah satunya politik uang yang disamarkan dengan berbagai objek, seperti sembako, sumbangan kitab suci, sumbangan pembangunan, dan lainnya.

Tentunya untuk membangun citra yang baik di masyarakat bukan hanya menggaungkan visi misi. Di tengah masyarakat yang menagih aksi dan tidak sekadar janji, bakal calon pun terburu-buru menggarap realisasi sehingga perilaku bakal calon yang terpilih dalam pemilu tidak berfokus pada kesejahteraan rakyat, tetapi untuk mengembalikan modal yang telah dikeluarkannya selama promosi membangun citra dirinya di masyarakat. Selain itu, dengan banyaknya bakal calon yang diusung juga berpengaruh pada keadaan ekonomi, yaitu kenaikan inflasi karena jumlah uang yang beredar di masyarakat menjadi semakin banyak.

Namun, apakah penerapan sistem proporsional terbuka merupakan sebuah kesalahan? Apakah ini merupakan panggilan untuk kembali pada sistem proporsional tertutup? Apakah ada jalan keluar dari permasalahan ini sehingga pemerintah dapat memiliki independensi dalam menentukan keputusan politiknya?

Sistem proporsional tertutup adalah sistem pemilihan umum ketika pemilih memilih partainya sehingga pemerintah yang dijalankan akan selaras dengan ideologi partai yang memenangkan kontestasi dalam pemilu. Dalam pemilihan umum sistem proporsional tertutup, tidak ada persaingan antar bakal calon sehingga tidak perlu adanya biaya untuk menjaga citra diri bakal calon. Sistem ini secara signifikan akan mengurangi biaya politik. Selain itu, sistem proporsional tertutup dapat menguatkan tanggung jawab partai dan mengacu partai untuk dapat mengoptimalkan fungsinya. Meskipun dinilai kurang demokratis dan memiliki banyak celah untuk dicampur tangan oleh oligarki, sistem proporsional tertutup terbukti dapat menjadi jawaban dari permasalahan tingginya biaya politik dan perilaku koruptif pada pejabat negara.

Penulis: Annisa Firsty

Penyunting: Nazira Mawla

Sumber:

  1. Tatang Guritno (Kompas.com: 2023). Sandiaga Uno Mengaku Keluarkan Hampir Rp 1 Triliun untuk Biaya Kampanye Pilpres 2019 (https://nasional.kompas.com/read/2023/04/28/19031331/sandiaga-uno-mengaku-keluarkan-hampir-rp-1-triliun-untuk-biaya-kampanye). Diakses pada 20 November 2023
  2. Widhia Arum (Detik.com: 2023) Mengenal Perbedaan Sistem Pemilu Proporsional Terbuka dan Tertutup (https://news.detik.com/pemilu/d-6505530/mengenal-perbedaan-sistem-pemilu-proporsional-terbuka-dan-tertutup.) Diakses pada 20 November 2023
  3. Halim, Abd. (2016). Dampak Sistem Proporsional Terbuka Terhadap Perilaku Politik (Studi Kasus Masyarakat Sumenep Madura Dalam Pemilihan Legislatif 2014). Jurnal Humanity Vol 9 (2): 1-11

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *