Ekonomi akan selalu menjadi topik menarik dalam perbincangan setiap negara di belahan dunia manapun. Seperti melakukan pengukuran kesejahteraan suatu negara dapat diketahui dengan tingkat pertumbuhan ekonomi di negara tersebut. Tidak hanya itu, dengan ekonomi suatu negara dapat mengatur rumah tangganya dalam memproduksi barang yang menjadi unggulan di suatu negara. Walaupun begitu, pada dasarnya setiap negara memiliki keterbatasan-keterbatasan untuk memenuhi kebutuhan dalam negerinya, sehingga setiap negara seharusnya melakukan kegiatan impor barang yang tidak dapat diproduksi oleh negaranya. Sebaliknya, negara tersebut harus melakukan ekspor barang yang telah menjadi barang unggulan di negaranya agar menambah devisa dan menggenjot pertumbuhan perekonomian negara tersebut. Sehingga dapat dikatakan bahwa dalam hal ini negara perlu melakukan perdagangan internasional untuk menutupi kebutuhan dalam negeri, meningkatkan kemakmuran suatu negara hingga membuat hubungan baik antar negara yang berpartisipasi.
Namun, apa jadinya bila negara-negara penguasa ekonomi dunia yakni negara “Adidaya” dan negeri “Tirai Bambu” malah sedang tidak mesra? Mereka saling senggol-menyenggol ketika melakukan perdagangan internasional dengan memainkan tarif bea masuk di negaranya masing-masing. Dampak saling balas tarif ini mengakibatkan pertumbuhan ekonomi di Amerika Serikat dan China yang sedang sama-sama tersakiti ini menurun. Perekonomian Amerika Serikat tumbuh melambat akibat menurunnya ekspor dan investasi non residensial. Pertumbuhan ekonomi Eropa, Jepang, China, dan India juga lebih rendah dipengaruhi penurunan kinerja sektor eksternal serta permintaan domestik. Kondisi ini juga berpengaruh pada ekonomi global yang dapat mengalami kemerosotan sebesar 0,8 persen pada tahun 2020 nanti, jika besaran tarif yang sudah berlaku atau telah sah diumumkan oleh kedua negara tersebut. Lalu bagaimana dengan perekonomian di Indonesia, akankah terkena imbas atas perang dagang ini?
Perang dagang yang terjadi pada dua negara penguasa ekonomi ini bermula pada awal 2018 setelah Amerika memberlakukan tarif pada mesin cuci dan panel surya yang berasal dari China. Pada tanggal 8 Maret 2018 Donald Trump mengumumkan pengenaan tarif 25% pada impor baja dan 10% pada alumunium dari sejumlah negara. Kemudian pada tanggal 22 Maret 2018 Trump menangguhkan tarif untuk beberapa negara, tapi tidak untuk China. Hal ini mengakibatkan mulai terjadi percikan api antara Amerika dan China. China merespon dengan daftar 128 produk milik Amerika Serikat yang akan dikenakan bea masuk ke China sebesar 15-25% jika ternyata negosiasi yang dilakukan kedua negara tersebut gagal.
Bulan berikutnya, tepatnya 19 Mei 2018 kedua negara mengumumkan rancangan kesepakatan, China setuju untuk mengurangi surplus perdagangannya secara signifikan. Berlanjut hingga tanggal 6 Juli dengan mengenakan bea 25% atas impor China senilai US$ 34 miliar dilakukan negeri Paman Sam, termasuk mobil, hard disk, dan suku cadang pesawat. Atas hal tersebut China mengenakan tarif dengan ukuran dan cakupan yang sama, termasuk produk pertanian, mobil, dan produk kelautan. Tidak berhenti di sana, pada tanggal 23 Agustus mengenakan tarif pada barang Cina senilai $16 miliar. Selanjutnya Cina menerapkan tarif 25% untuk barang-barang Amerika senilai US$ 16 miliar, termasuk sepeda motor Harley Davidson, Bourbon, dan jus jeruk. Selanjutnya, pada tanggal 24 September 2018 Amerika memberikan pajak 10% atas impor China senilai US$ 200 miliar. China pun mengenakan bea masuk atas produk-produk Amerika Serikat senilai US$ 60 miliar. Berlanjut pada 1 Desember 2018 menunda selama tiga bulan rencana kenaikan tarif menjadi 25% dari 10% yang dimulai 1 Januari 2019 dengan barang China senilai US$ 200 miliar. Kemudian, China setuju untuk membeli sejumlah produk Amerika yang sangat substansial dan menangguhkan tarif tambahan yang ditambahkan ke mobil dan suku cadang buatan Amerika selama tiga bulan mulai 1 Januari.
Berlanjut di tahun 2019 tepatnya pada 10 Mei, Washington mengakhiri gencatan senjata dengan meningkatkan bea masuk atas impor China senilai US$ 200 miliar. Pada 15 Mei, Trump membuka front baru dalam perang, melarang perusahaan Amerika menggunakan peralatan telekomunikasi asing yang ditujukan pada raksasa Tiongkok yakni Huawei. Kemudian 20 Mei, kementerian perdagangan Amerika mengeluarkan penangguhan hukuman 90 hari atas larangan tersebut. Selanjutnya, di tanggal 1 Agustus, Trump mengumumkan tarif baru 10% untuk barang-barang China senilai US$ 300 miliar mulai 1 September (sekitar setengah dari tarif itu kemudian ditangguhkan hingga 15 Desember). Pada tanggal 5 Agustus China memungkinkan Yuan jatuh di bawah 7,0 poin terhadap dolar Amerika untuk pertama kalinya dalam 11 tahun. Hingga pada 23 Agustus China mengenakan tarif baru pada barang-barang Amerika Serikat sebesar 5-10% yang mulai berlaku pada 1 September dan 15 Desember, bersamaan dengan tarif Amerika Serikat yang baru. Trump mengumumkan tarif yang direncanakan atas barang-barang China senilai US$ 300 miliar dinaikkan menjadi 15% mulai dari 1 September, serta kenaikan tarif yang ada dari 25% menjadi 30% mulai 1 Oktober. Amerika mulai memberlakukan tarif impor 15% untuk barang-barang China seperti alas kaki, jam tangan pintar, hingga televisi layar datar yang berlaku pada 1 september 2019. Atas dasar tersebut China kemudian membalas dengan cara mengenakan tarif baru untuk minyak mentah Amerika, hal ini menjadi kali pertama bahan bakar menjadi target perang dagang antara China dan Amerika.
Untuk mempertahankan hak-hak hukumnya sesuai dengan aturan WTO, dengan tegas China melakukan gugatan terhadap Amerika melalui WTO. Alhasil, gugatan tersebut mendapatkan izin dari organisasi perdagangan dunia, untuk menjatuhkan sanksi sebesar US$ 3,6 miliar terhadap Amerika yang mengawali perang tarif antara kedua negara. Angka tersebut merupakan sekitar setengah dari yang diminta oleh negeri Panda, yang memiliki pendapat bahwa beberapa aturan anti dumping Amerika Serikat adalah ilegal.
Menanggapi hal ini, Amerika berpendapat bahwa mereka tengah menghukum China yang dituduh telah melakukan pencurian kekayaan intelektual. Kemudian, akibat lebarnya defisit perdagangan antara kedua negara. Amerika melakukan pembelaan tertulis yang menyatakan bahwa kedua negara telah sepakat tidak membawa ‘perang dagang’ ke WTO. Menurutnya China telah mengambil keputusan sepihak dan agresif, mencuri atau dengan cara tidak adil memperoleh teknologi dari mitra dagang di negeri Paman Sam tersebut. Tidak hanya itu, Amerika bergeming dengan mengatakan bahwa tindakan pemerintahnya tersebut bertujuan untuk melindungi industri di dalam negeri.
Dampak yang ditimbulkan dari adanya perang dagang duo negara penguasa ekonomi ini sudah cukup terasa di China dan Amerika Serikat. Dampak yang di eluh-eluhkan dari peristiwa ini adalah mengancam pertumbuhan ekonomi dunia, bahkan menjerumuskan ke dalam resesi. Dikutip pada laman CNN Indonesia(8/8) perkiraan peluang terjadinya resesi ekonomi global meningkat sebesar 40% hingga 50% untuk satu tahun hingga 1,5 tahun ke depan, ungkap kepala ekonom Moody’s Analytics untuk Asia Pasifik Steve Cochrane dalam risetnya yang berjudul ‘Living on the Thail Risk’.
Akibat pelemahan ekonomi dunia, Indonesia ikut terkena imbas sepanjang 2019 yang terjadi akibat harga komoditas yang melemah dan volume perdagangan menurun yang dipicu oleh permintaan pasar ekspor yang lesu. Hal tersebut berimbas pada defisit transaksi berjalan yang kian melebar.
Perang dagang dua negara penguasa ekonomi, terbukti dengan saling balas tarif bea masuk antar kedua negara tersebut. Kekhawatiran dunia akan hal ini semakin menjadi-jadi dengan melemahnya perekonomian global hingga tersungkur. Negara-negara besar pun ikut terkena imbas akan hal ini, tak terkecuali Indonesia. Pelemahan ekonomi di negara katulistiwa ini ikut terkena imbas, dengan mendapat dua hantaman sekaligus. Untuk menghadapi ke-galau–an akan hal ini, salah satu strategi yang bisa ditanamkan adalah pemerintah fokus untuk mengelola permintaan dalam negeri, hal ini diyakini dapat meminimalisir dampak dari pengaruh eksternal. Kemudian dengan adanya perang dagang, diharapkan investor akan mencabut investasinya di negara yang sedang berkonflik dan menanamkan sahamnya pada negara dengan kondisi politik dan ekonomi stabil. Atas dasar tersebut, pemerintah Indonesia perlu mempermudah investor yang akan berinvestasi di tanah air guna meningkatkan daya tarik dan daya saing Indonesia di antara negara kawasan. Hal ini dipercaya dapat menjadikan Indonesia sebagai negara tujuan untuk investasi. Selain itu, Bank Indonesia harus tetap mempertahankan kebijakan moneter akomodatif, dengan adanya kebijakan ini diharapkan bank dapat memberikan kredit ke sektor riil supaya pertumbuhan ekonomi Indonesia dapat terus naik.
Kontributor: Anisa tw
Penyunting : Tim Editor