Sering kali, konsep “generasi sandwich” merujuk pada generasi anak-anak yang merasa tertekan antara tanggung jawab merawat orang tua yang menua dan membutuhkan perhatian serta tanggung jawab mereka terhadap anak-anak mereka sendiri. Namun, ketika kita melihat konsep ini dari sudut pandang orang tua yang melihat anak sebagai tempat investasi, itu membawa dimensi baru dalam dinamika keluarga modern. Tekanan yang dimaksud dapat berupa tekanan mental karena dihadapkan pada kondisi keuangan yang tidak stabil. Ketidakstabilan keuangan ini dipengaruhi oleh beberapa hal seperti kegagalan orang tua dalam menyiapkan dana hari tua, kurangnya edukasi dan literasi keuangan, perilaku konsumtif, kegagalan mempersiapkan dana darurat, dan masih banyak lagi.
Hal ini akan menimbulkan perasaan cemas serta tidak berdaya secara finansial terutama jika ketergantungan yang dirasakan sangat besar. Untuk menciptakan kesejahteraan finansial, melindungi posisi keuangan sambil merawat orang tersayang harus tetap menjadi perhatian utama. Menemukan keseimbangan di antara kedua hal tersebut memang terkesan mudah diucapkan, tetapi sulit dilakukan.
Nah, penting juga untuk memahami motivasi di balik pendekatan ini. Banyak orang tua berasumsi bahwa dengan memberikan sumber daya finansial yang baik kepada anak-anak mereka, artinya mereka sedang membantu anak-anaknya untuk meraih kesuksesan di masa depan. Namun, ada risiko bahwa pendekatan ini bisa membuat anak menjadi terlalu fokus pada pencapaian materi atau prestise sosial, dan mengabaikan aspek-aspek penting lainnya dari perkembangan anak.
Bagi sebagian besar ibu, memiliki anak bukan hanya tentang kasih sayang dan tanggung jawab, tetapi juga tentang investasi masa depan. Mengapa begitu banyak ibu memandang anak-anak mereka sebagai investasi? Para ibu menganggap pendidikan anak merupakan investasi di masa depan, karena itulah mereka memberikan pendidikan yang terbaik, baik dalam hal formal maupun informal karena percaya bahwa dengan hal ini dapat membantu anak – anak mereka sukses di masa depan, sehingga bisa memenuhi segala kebutuhan mereka di hari tua.
Namun, mereka tidak tahu bahwa hal tersebut dapat membuat sang anak stres dan tertekan dengan pencapaian yang orang tua harapkan. Anak-anak bisa mengikuti keinginan orang tua mereka, tetapi seorang anak akan melakukannya dengan terpaksa dan segala sesuatu yang dipaksakan itu tidak baik. Akibatnya, sang anak akan mengorbankan harapan dan cita-citanya sendiri demi memenuhi keinginan orang tua.
Bahaya lain dari melihat anak sebagai “investasi” adalah dapat mengaburkan hubungan antara orang tua dan anak. Sebuah hubungan yang sehat antara orang tua dan anak seharusnya didasarkan pada kasih sayang, kepercayaan, dan saling pengertian. Ketika anak-anak merasa diperlakukan seperti “proyek” atau “investasi”, hubungan ini dapat terganggu. Anak-anak mungkin bisa saja menentang apa yang menjadi keinginan orang tuanya, tetapi hal ini bisa menghasilkan ketegangan dan kerenggangan dalam hubungan keluarga yang dapat berdampak negatif pada kesejahteraan mental dan emosional anak. Walaupun tidak semua orang tua menjadikan anak sebagai investasi, beberapa menginginkan anak mereka sukses secara materi agar dapat membantu menghidupi mereka di masa tua.
Selain itu, fokus yang terlalu kuat pada investasi material atau prestise sosial juga dapat menyebabkan ketidakseimbangan dalam nilai-nilai yang diajarkan kepada anak-anak. Mereka mungkin akan belajar bahwa keberhasilan diukur berdasarkan pencapaian materi atau status sosial, bukan berdasarkan nilai-nilai moral atau kebahagiaan pribadi. Hal ini dapat menghasilkan generasi yang terlalu terfokus pada pencapaian pribadi dan materialisme. Mereka tidak peduli dengan nilai-nilai moral, seperti kejujuran, kerendahan hati, atau rasa empati terhadap orang lain.
Tentu saja, tidak semua orang tua yang melihat anak sebagai “investasi” melakukannya dengan niat yang buruk. Banyak orang tua yang mencoba memberikan yang terbaik bagi anak-anak mereka dengan cara yang mereka yakini benar. Namun, penting bagi orang tua mengambil langkah-langkah untuk memastikan bahwa pendekatan mereka seimbang dan sehat. Hal ini mungkin melibatkan refleksi tentang nilai-nilai yang ingin mereka tanamkan pada anak-anak mereka, serta komunikasi terbuka dan jujur tentang harapan dan ekspektasi mereka.
Sebagai gantinya, orang tua dapat mencoba untuk fokus pada pembangunan hubungan yang kuat dan mendukung dengan anak-anak mereka. Hubungan ini harus berlandaskan rasa saling pengertian, dukungan, dan kasih sayang. Hal ini berarti orang tua harus mendengarkan kebutuhan dan keinginan anak-anak mereka, memberikan mereka ruang untuk berekspresi dan mengejar minat mereka sendiri serta memberikan dukungan emosional dan praktis yang mereka butuhkan untuk tumbuh dan berkembang. Membangun hubungan yang kuat dan mendukung dengan anak juga berarti menanamkan nilai-nilai yang penting seperti kerja keras, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap orang lain, tanpa menekankan pencapaian materi atau prestise sosial sebagai ukuran utama keberhasilan.
Dengan pendekatan ini, anak-anak akan merasa diperhatikan dan didukung untuk mencapai keinginan mereka sendiri di masa depan. Mereka pun tidak akan memandang orang tua dengan buruk atas perlakuan atau tekanan yang pernah diberikan. Namun, ketika orang tua mendukung apapun keinginan sang anak hanya karena ingin kelak bisa diurus oleh anak-anaknya, hal ini tidak selalu sesuai dengan realita kehidupan, karena tidak semua anak memiliki kemauan dan kemampuan untuk mengurus orang tua mereka, terutama bagi mereka yang telah berumah tangga dan harus mementingkan kesejahteraan rumah tangganya.
Maka dari itu, penting untuk merencanakan keuangan untuk masa pensiun dalam memastikan kesejahteraan di hari tua yang tidak hanya berfokus pada diri sendiri, tetapi juga harus mempertimbangkan dampaknya pada generasi mendatang, terutama anak-anak.
Sayangnya, kebanyakan dari kita tidak cukup memperhatikan kebutuhan keuangan jangka panjang, terutama untuk mempersiapkan diri dari menjadi beban pada anak-anak di masa depan. Generasi sandwich cenderung lebih memprioritaskan kesejahteraan orang tua mereka daripada diri mereka sendiri, bahkan rela mengorbankan kebutuhan dan impian pribadi mereka untuk memastikan bahwa orang tua mereka memiliki kenyamanan di masa tua.
Melalui perencanaan keuangan yang matang, kita dapat menciptakan lingkungan yang lebih stabil bagi generasi berikutnya. Hal ini memungkinkan mereka untuk fokus pada perkembangan diri mereka sendiri tanpa harus terbebani oleh tanggung jawab finansial yang berlebihan. Dengan mengambil langkah-langkah perencanaan yang matang, kita dapat melindungi masa depan kita dan juga masa depan anak-anak kita dari menjadi bagian dari lingkaran setan generasi sandwich.
Kesimpulannya, melihat anak sebagai “tempat investasi” dapat membawa risiko tersendiri dalam dinamika keluarga modern. Fokus terlalu kuat pada pencapaian materi atau prestise sosial dapat mengaburkan hubungan antara orang tua dan anak, serta mengabaikan nilai-nilai penting lainnya dalam perkembangan anak. Sebaliknya, orang tua perlu berusaha untuk membangun hubungan yang sehat dan mendukung anak-anak mereka yang didasarkan pada kasih sayang, pengertian, dan dukungan yang saling menguntungkan. Hal ini membutuhkan kesadaran akan nilai-nilai yang ingin mereka tanamkan pada anak-anak mereka, serta komunikasi terbuka dan jujur tentang harapan dan ekspektasi mereka. Dengan pendekatan ini, kita dapat membantu menciptakan lingkungan keluarga yang mempromosikan pertumbuhan dan perkembangan yang sehat bagi semua anggotanya.
Penulis: Dhanti Trioktaviani
Penyunting: Raisa Fadilah Ramadani