Gemercik News-Universitas Siliwangi (9/3). Mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (Fisip) Universitas Siliwangi (Unsil) mengadakan diskusi terbuka terkait penerapan VIS (Victim Impact Statement) di Indonesia sebagai suatu cara baru bagi korban pelecehan seksual, agar mendapatkan keadilan dan imbalan yang seharusnya. Diskusi ini dilangsungkan di Ruang Enam Fisip Unsil pada Rabu (8/3).
Maulida, Ketua Angkatan Fisip 2020 sekaligus pemantik pada acara diskusi publik, memaparkan bahwa VIS adalah pernyataan dari orang-orang terdekat korban yang ikut merasakan dampak dari korban (orang terdampak), misalnya keluarga. Ketika korban mengalami suatu kejahatan, korban akan terdampak secara finansial, sosial, psikologis dan sebagainya. VIS ini dapat memenuhi nilai-nilai personal space yang memang harus dipenuhi pengadilan agar keresahan korban dapat diakui secara hukum.
Maulida menambahkan bahwa penerapan VIS ini akan memberikan keuntungan psikologis bagi korban dan menginspirasi masyarakat untuk tidak mendiamkan segala bentuk kejahatan.
“Kalau kita berpikir seperti korban, ketika korban tidak bisa mengutarakan apa yang mereka rasakan pada dirinya, itu akan muncul penyakit-penyakit psikologis. Ketika mereka mulai bersuara, apalagi ketika pengadilan sendiri menyuruh dan melakukan VIS ini, itu akan memberikan mereka sense of relief. Jadi, orang-orang akan merasa aman dan mengetahui bahwa ‘saya pernah mengalami ini (pelecehan seksual) dan tidak akan ada lagi orang yang seperti saya’. Korban juga dapat menjadi inspirasi bagi masyarakat lainnya untuk menindaklanjuti suatu kejahatan dan memberi akuntabilitas terhadap persidangan,” terang Maulida.
Namun, Latif Mukhtar sebagai pengamat hukum, mengatakan bahwa penggunaan VIS di Indonesia belum dapat diterapkan karena belum memasuki sistem hukum Indonesia. Ia menyarankan mahasiswa untuk mengadakan kajian mendalam dan mengajukan VIS ini untuk dijadikan undang-undang.
“Untuk masuk dalam sistem hukum maka tempuh prosedur sistemnya, masuk dulu ke dalam teks undang-undangnya. Tidak hanya mahasiswa, kalau memang ini dibutuhkan masyarakat, maka bisa disampaikan ke perwakilan rakyat. Namun, yang paling mungkin melakukan, kalau pedagang di pasar, kan, tidak mungkin, yang paling bisa mengkaji secara akademik adalah mahasiswa. Semua undang-undang harus digodog dulu di kampus-kampus supaya kajian akademiknya bisa dipertanggungjawabkan,” ucap Latif.
Menyangkut kasus pelecehan seksual yang terjadi di Unsil, Asti Widia Astuti, selaku Ketua Pelaksana Diskusi sekaligus Kepala Bidang Kajian Aksi dan Strategi Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM) Fisip, mengatakan bahwa keadilan bagi korban pelecehan sendiri belum ada transparansi karena Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual (Satgas PPKS) sangat mengedepankan kenyamanan dan prespektif korban, sedangkan mahasiswa hanya bisa mengawal kasus ini.
“Kalau terkait hal itu, kita juga masih meraba-raba. Setiap orang masih meraba-raba karena dari Satgas pun belum ada transparansi karena mengedepankan perspektif korban dan kenyamanan korban. Korban mengerahkan semuanya ke Satgas dan kita pun masih belum bisa memastikan apakah tindakan yang kita ambil sebagai lembaga sudah adil atau belum terhadap korban,” terang Asti.
Menurut Latif, korban pelecehan seksual yang belum mendapatkan keadilan disebabkan oleh kasusnya tidak sampai ke pengadilan.
“Sebenarnya itu sebelum masuk ke pengadilan mungkin, ya. Kalau sudah masuk ke pengadilan itu berarti sudah melalui dua proses sebelumnya, penyidikan dan penuntutan. Pengadilan nanti akan memeriksa dan memutus supaya kesetaraan dalam hukum bisa diciptakan. Satu-satunya tempat yang bisa melakukan itu memang hanya di pengadilan,” jelas Latif Mukhtar.
Reporter: Annisa Firsty, Diana Puspitasari, dan Rima Ainul Nisya
Penulis: Annisa Firsty
Penyunting: Sahla Sania Hasanatunnisa