Maraknya joki skripsi di kalangan mahasiswa di Indonesia menjadi ancaman serius bagi dunia pendidikan tinggi. Fenomena ini mencerminkan lunturnya nilai-nilai kejujuran akademik serta melemahnya integritas mahasiswa sebagai insan intelektual. Jika dibiarkan, praktik ini tidak hanya merugikan mahasiswa secara individu, tetapi juga menciptakan dampak luas yang dapat menurunkan kualitas lulusan, mencoreng reputasi institusi pendidikan, dan menghambat kemajuan bangsa dalam mengembangkan sumber daya manusia yang unggul dan berdaya saing global.
Dalam beberapa tahun terakhir, praktik-praktik tidak etis dalam dunia akademik semakin sering terjadi, seolah-olah sudah menjadi hal yang lumrah. Hal ini terjadi karena penyedia joki skripsi yang sudah marak, bahkan melibatkan tenaga pendidik yang seharusnya menjadi panutan dalam dunia akademik.
Fenomena ini bukan sekadar bentuk ketidakjujuran, tetapi juga mencerminkan krisis integritas yang kian menggerogoti dunia pendidikan tinggi, termasuk di Universitas Siliwangi (Unsil). Berdasarkan survei yang dilakukan oleh Populix pada tahun 2023, sebanyak 26% mahasiswa di Indonesia mengaku pernah menggunakan jasa joki untuk menyelesaikan skripsinya. Selain itu, 45% responden juga mengakui pernah memanipulasi data, dan 16% lainnya menyalin skripsi milik orang lain. Pengakuan dari Wakil Rektor Bidang Akademik, Prof. Dr. H. Dedi Kusmayadi, S.E., M.Si., Ak., CA., CRBC., ACPA., CPA., CRA., CRP., CSBA., ASEAN-CPA., mengindikasikan bahwa gejala ini nyata dan tak bisa lagi dianggap sepele. Keprihatinan ini juga menunjukkan betapa lemahnya kontrol internal dan lemahnya kesadaran mahasiswa terhadap pentingnya nilai kejujuran akademik.
Dalam pandangan Prof. Dr. H. Dedi, skripsi merupakan karya monumental yang mencerminkan kebanggaan dan pencapaian personal mahasiswa. Namun, pada kenyataannya di zaman sekarang skripsi yang seharusnya menjadi puncak pencapaian intelektual, kini diperdagangkan secara transaksional oleh sebagian pihak dan dipandang sebagai formalitas belaka untuk meraih gelar. Ketika karya tersebut dialihkan kepada pihak lain, mahasiswa tidak hanya kehilangan hak akademik, tetapi juga harga diri sebagai insan intelektual. Sayangnya, realitas hari ini menunjukkan bahwa sebagian mahasiswa memilih “jalan pintas” untuk menyelesaikan tugas akhirnya, demi gelar tanpa proses.
Mahasiswa yang menggunakan jasa joki pada dasarnya telah menyerah sebelum berjuang. Menurut Prof. Dr. H. Dedi, alasan utamanya adalah kemalasan, mereka enggan menjalani proses berpikir yang melelahkan dan lebih memilih jalan instan. Akibatnya, mereka kehilangan kebanggaan atas hasil kerja keras sendiri dan melemahkan potensi intelektual yang seharusnya diasah melalui pengalaman langsung, bukan sekadar hafalan.
Fenomena ini tentu memiliki dampak yang lebih luas dari sekadar nilai akademik. Mahasiswa yang lulus dengan cara instan akan kesulitan menghadapi tantangan dunia kerja. Kemampuan berpikir kritis, analisis data, dan kemampuan komunikasi yang seharusnya terasah melalui proses penyusunan skripsi, menjadi tumpul karena tidak pernah benar-benar dilatih. Hal ini menjadi lebih buruk dengan kenyataan bahwa kampus pun ikut menanggung akibatnya, seperti kualitas lulusan menurun dan reputasi institusi menjadi taruhannya.
Prof. Dr. H. Dedi mengungkapkan bahwa praktik joki bukan hanya merugikan mahasiswa, tetapi juga sangat berbahaya bagi institusi pendidikan secara keseluruhan. Prof. Dr. H. Dedi pernah mengalami situasi ketika menjabat sebagai pimpinan fakultas, di mana seorang mahasiswa diketahui menggunakan jasa joki. Hasilnya, nilai mahasiswa tersebut diganti, sebagai bentuk ketegasan lembaga. Kejadian ini membuktikan bahwa kampus tidak hanya akan diam saja, namun tentu perlu upaya yang lebih sistematis dan menyeluruh untuk benar-benar memberantas praktik ini.
Maka dari itu, pada dasarnya kampus harus tetap memiliki sikap tegas. Setiap temuan harus ditindak, setiap pelaku harus diberi sanksi, dan setiap mahasiswa harus diajak kembali pada prinsip bahwa menulis skripsi bukan sekadar kewajiban, melainkan proses pembentukan karakter dan intelektualitas. Seperti hal nya yang ditekankan oleh Prof. Dedi, menjaga kualitas lulusan adalah tanggung jawab bersama dan melaporkan tindakan joki adalah bagian dari upaya kolektif menjaga marwah akademik.
Permasalahan joki skripsi tidak bisa diselesaikan hanya dengan menekankan ancaman sanksi. Pencegahan harus dibangun dari hulu ke hilir. Kampus perlu memperkuat sistem bimbingan, memperketat pengawasan orisinalitas naskah, dan meningkatkan empati dalam pendampingan mahasiswa.
Dukungan dari pihak internal, seperti dosen dan tenaga kependidikan sangat penting dalam menciptakan lingkungan akademik yang suportif dan terbuka bagi mahasiswa untuk berdiskusi. Sementara itu, dukungan eksternal seperti layanan konseling, pelatihan penulisan ilmiah, dan akses terhadap sumber belajar yang memadai juga berperan besar dalam mencegah mahasiswa mencari jalan pintas melalui praktik joki. Sering kali karena adanya praktik ini, mahasiswa tergoda menggunakan jasa joki karena merasa sendirian dalam menghadapi tekanan akademik dan tidak mendapatkan cukup dukungan dari pembimbing atau lingkungan akademiknya.
Terlebih lagi di masa kini, di tengah tantangan globalisasi dan digitalisasi yang semakin kompleks, dunia pendidikan tinggi tidak boleh kompromi dengan praktik curang seperti joki skripsi. Jika kampus ingin melahirkan lulusan yang kompeten, berintegritas, dan siap bersaing di dunia nyata, maka proses akademik harus dijaga tetap murni dan jujur. Mahasiswa pun perlu disadarkan bahwa jalan pintas tidak akan pernah menggantikan makna dari perjuangan dan proses belajar yang sesungguhnya.
Pada hakikatnya, skripsi bukan sekadar dokumen untuk memenuhi syarat kelulusan. Melainkan simbol dari pencapaian intelektual, bentuk pertanggungjawaban moral, dan warisan akademik yang harus dijaga orisinalitasnya. Menyerahkannya kepada joki sama saja dengan mengkhianati diri sendiri. Maka, mari kita sudahi praktik ini. Ketika gelar akademik dapat diraih tanpa usaha yang jujur, nilai-nilai dasar pendidikan seperti kejujuran, tanggung jawab, dan integritas mulai tergerus. Gelar menjadi tujuan utama, sementara proses belajar kehilangan makna-nya, maka pendidikan telah kehilangan jiwanya. Dalam kondisi ini, dibutuhkan pendekatan yang tidak hanya represif, tetapi juga edukatif agar mahasiswa menyadari betapa pentingnya proses belajar yang jujur dan bertanggung jawab.
Reporter: Pina Padilah dan Muthia Azka
Penulis: Aliya Nurhanifah
Penyunting: Aisyah Fithriyyah N