Bulan Mei selalui identik dengan buruh, karena di bulan ini tepatnya di 1 Mei dikenang sebagai Hari Buruh Internasional atau dikenal juga dengan sebutan May Day. Berbicara soal buruh, tentunya nama Marsinah sudah tidak asing lagi bagi indra pendengaran kita, bukan? Seorang wanita yang juga disebut-sebut sebagai pahlawan buruh yang memiliki peran begitu penting dalam perjuangan buruh di Indonesia. Sayangnya, perjuangannya berakhir begitu tragis hingga membuatnya kehilangan nyawa. Sebelum membahas kronologi kasus pembunuhan Marsinah, alangkah lebih baiknya kita mengenal siapa itu sosok Marsinah terlebih dahulu.
Melansir dari Kompas.com, Marsinah merupakan seorang buruh perempuan yang bekerja di PT. Catur Putra Surya (CPS), yakni sebuah pabrik pembuat jam yang terletak di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur. Marsinah memiliki kepribadian yang energik dan menjadikannya seorang buruh yang memiliki progres. Ia tidak mau mengalah begitu saja atas penindasan terhadap buruh yang terjadi kala itu. Disebutkan juga bahwa Marsinah memiliki hobi membaca dan selalu mendapat juara di sekolahnya. Sayangnya, keterbatasan ekonomi membuatnya mengubur impiannya untuk menempuh pendidikan di jurusan hukum. Meski hanya lulusan SLTA, Marsinah mempunyai semangat belajar yang tinggi. Hal itu ditunjukkan dengan keikutsertaannya dalam menempuh pendidikan nonformal dengan mengikuti kursus Bahasa Inggris dan Komputer.
Kepribadian Marsinah yang kuat menjadikannya seorang buruh perempuan yang pemberani. Ia ikut bergerak melawan kekerasan aparat negara yang terjadi di mana-mana. Kala itu, Indonesia berada pada masa pemerintahan Orde Baru yang dipimpin oleh Presiden Soeharto. Bukan rahasia umum jika di masa itu banyak terjadi pemberontakan termasuk dari kalangan buruh. Dilansir dari laman tirto.id, saat itu (1993) gaji yang diberikan kepada buruh tidak sesuai dengan peraturan yang berlaku. Buruh di PT. CPS hanya diberi gaji sebesar Rp. 1.700 per bulan, sedangkan sesuai dengan KepMen 50/1992 UMR Jawa Timur ialah Rp. 2.250. Namun banyak pengusaha yang menolak aturan tersebut. Menyikapi ketidakadilan tersebut, sebanyak 150 dari 200 buruh melakukan mogok kerja pada 3 Mei 1993. Para buruh yang meminta haknya itu datang sebagai demonstran dengan membawa 12 tuntutan.
Peristiwa tersebut membuat beberapa buruh dari PT. CPS dipaksa untuk mengundurkan diri dengan alasan tenaga mereka sudah tidak lagi diperlukan pabrik. Hal itu tentu saja membuat emosi Marsinah memuncak. Ia mengatakan akan meminta bantuan saudaranya yang berada di Surabaya untuk menuntut Komando Distrik Militer (Kodim). Dua hari setelah kejadian pengunduran paksa tiga belas buruh, para buruh yang lain bekerja seperti biasa tapi tak ada satu pun yang melihat Marsinah. Mereka awalnya mengira bahwa Marsinah pulang ke kampung halamannya yang berada di Nganjuk. Namun, sebuah kabar mengejutkan mereka. Pada 8 Mei 1993 Marsinah ditemukan tewas dengan kondisi yang mengenaskan. Mayatnya ditemukan di sebuah gubuk pematang sawah di Desa Jagong, Nganjuk. Hasil visum yang dilakukan di RSUD Nganjuk menunjukkan adanya luka robek tak teratur sepanjang tiga cm yang menjalar dari dinding kiri lubang kemaluan (labium minora) sampai ke dalam rongga perut. Di dalam tubuhnya juga ditemukan serpihan tulang, selaput dara robek, kandung kencing dan usus bagian bawah memar serta tulang panggul bagian depan hancur.
Seorang ahli forensik, Dr. Abdul Mun’im Idries dalam wawancaranya bersama Najwa Shihab di acara Mata Najwa: X-File edisi 18 September 2013 mengungkapkan bahwa ada kejanggalan dalam kasus ini. Dia mengungkapkan kematian Marsinah disebabkan karena tembakan senjata api, bukan karena pendarahan. Luka yang ada di tubuhnya pun bukan dilakukan menggunakan balok.
“Melihat lubang kecil dengan kerusakan yang masif, apa kalau bukan luka tembak?” ungkapnya kepada sang jurnalis.
Selain itu, Dr. Idries juga menduga bahwa pelakunya tak sesuai dengan jumlah terduga pelaku. Pada saat itu, tepatnya 21 Oktober 1993, aparat Komando Daerah Militer (Kodam) V Brawijaya menyerahkan sebelas orang yang merupakan pimpinan dari PT. CPS kepada Polda Jatim dengan tuduhan sebagai terduga.
“Pelakunya siapa yang punya akses senjata? Kita kan enggak bebas memiliki senjata,” lanjut Dr. Idries.
Dari situlah diduga bahwa adanya sebuah skenario palsu yang dilakukan oleh Kodam. Mereka bahkan tak hanya melakukan tuduhan, akan tetapi juga menyiksa sebelas orang tadi agar mau mengaku sebagai pembunuh Marsinah. Hal ini tentu saja menjadi sebuah sejarah kelam bagi Indonesia. Hak Asasi Manusia seolah tak dipedulikan saat itu. Pada masa Orde Baru memang campur tangan militer dalam setiap perkara perselisihan perburuhan menjadi hal yang wajar. Aparat militer mempunyai kewenagan yang besar untuk mengatur hajat hidup masyarakat Indonesia. Kekejian aparat militer terhadap kasus Marsinah tersebut tertulis dalam laporan yang diterbitkan oleh Lembaga Studi dan Advokasi Masyarakat (LSAM) dengan tajuk Ke Arah Ratifikasi Konvensi Anti Penyiksaan: Kajian Kasus-Kasus Penyiksaan Belum Terselesaikan (1995).
Marsinah, kini ia abadi dikenang sebagai seorang legenda dalam perburuhan. Seorang buruh perempuan yang lantang meminta keadilan harus rela kehilangan nyawanya di usia 24 tahun. Menyelinap sebagai payung hukum bagi hak buruh Indonesia. Ia diperkosa, disiksa, dan dibunuh dengan keji saat berjuang melawan ketidakadilan. Kini Marsinah menjelma sebagai pembuka jalan kesejahteraan bagi seluruh buruh yang ada di Indonesia. Hingga detik ini belum ada titik terang atas kasus pembunuhan yang merenggut nyawanya. Bahkan setelah 29 tahun berlalu, belum ada tanda-tanda pengungkapan tentang pembunuhan ini. Mirisnya, kasus Marsinah kini redup seolah tak berarti apa-apa. Menjadi sebuah tanda tanya besar bagi kita semua, siapakah pelaku pembunuhan Marsinah yang sebenarnya? Lalu akankah ketidakadilan terus berkuasa di negeri ini? Membiarkan si pelaku terbebas dari perbuatan kejinya. Bukankah tak adil rasanya jika perjuangan sang legenda berakhir semenyedihkan itu?
Lalu bagaimana dengan kondisi para buruh di Indonesia sekarang? Sabtu lalu, 14 Mei 2022 menjadi tanggal pelaksanaan aksi oleh puluhan ribu buruh yang terrgabung dalam Partai Buruh. Dikutip dari repbulika.co.id, presiden Partai Buruh, Said Iqbal, mengatakan aksi ini dilakukan secara serempak di berbagai daerah. Aksi ini disebut juga dengan May Day Fiesta yaitu serangkaian peringatan May Day. Mereka juga melayangkan 18 tuntutan, yaitu: 1. Menolak Omnibus Law UU Cipta Kerja; 2. Turunkan harga bahan pokok, BBM, dan gas; 3. Sahkan RUU PPRT; 4. Tolak upah murah; 5. Hapus outsourcing; 6. Tolak kenaikan pajak PPn; 7. Sahkan RPP Perlindungan ABK dan Buruh Migran; 8. Tolak pengurangan peserta PBI Jaminan Kesehatan; 9. Wujudkan kedaulatan pangan dan reforma agraria; 10. Stop kriminalisasi petani; 11. Biaya pendidikan murah dan wajib belajar 15 tahun gratis; 12. Angkatan guru dan tenaga honorer menjadi PNS; 13. Pemberdayaan sektor informal; 14. Ratifikasi Konversi ILO No 190 tentang Penghapusan Kekerasa dan Pelecehan di Dunia Kerja; 15. Driver Ojol adalah pekerja, bukan mitra kerja yang tidak jelas hubungan kerjanya; 16. Laksanakan Pemilu tepat waktu 14 Februari 2024 secara jurdil dan tanpa politik uang; 17. Retribusi kekayaan yang adil dengan menambah program jaminan sosial; dan 18. Tidak boleh ada orang kelaparan di negeri yang kaya.
Melihat jumlah tuntutan yang disuarakan mereka, berarti hingga saat ini buruh masih menjadi sosok yang banyak mengalami ketidakadilan di negeri ini. Terkadang keberadaan mereka dipandang dengan sebelah mata. Padahal peran mereka terbilang penting dalam keberlangsungan hidup kita, terutama di bidang perekonomian. Bahkan melansir dari web detikfinance, pertumbuhan ekonomi Indonesia berada di atas 5%. Angka ini lebih baik jika dibandingkan dengan negara-negara maju lain yang masih terpuruk di masa pandemi. Itu artinya kinerja buruh sudah bisa dikategorikan cukup baik. Jika kita kaitkan dengan kasus Marsinah, ini bisa menjadi hal yang perlu kita perhatikan. Ini bukan hanya tentang meminta hak. Tapi juga tentang bagaimana kita menghargai proses kerja seseorang. Ketidakadilan di negeri ini sudah seharusnya dihilangkan. Masa sekarang seharusnya sudah bukan lagi masa saat otoriter pemerintah berada di atas segalanya.
Penulis: Khumairoh
Penyunting: Helmina Pebriyanti