Gemercik News-Jakarta (11/10). Setelah diamankan dengan dalih pendataan, seiring penyitaan penggeledahan barang bawaan serta penyitaan kartu tanda penduduk, G digiring menuju pos polisi. G merupakan mahasiswa jurusan Teknik Sipil Universitas Siliwangi. Berangkat bersama 2 orang temannya, kemudian berpisah dengan satu kawannya di stasiun Juanda. Memutuskan untuk melanjutkan perjalanan hingga stasiun Gambir, G melihat banyak aparat berjaga di ujung jalan.
Berangkat pukul 11.00 menuju titik kumpul di kawasan istana, G bersama kawannya dicegat aparat di persimpangan dekat halte stasiun gambir. Mengira hal tersebut hanya pemeriksaan biasa, ternyata berlanjut hingga penahanan. Penyitaan kartu tanda penduduk yang disusul dengan pengambilan gambar, spontan membuat G dan kawannya bertanya-tanya,
“Pak buat apa, kan katanya buat didata, tapi udah difoto, berarti bisa dibalikin KTPnya karena kan udah difoto,” ujar G kepada aparat.
“Kita gak tau, komandan yang tau, Tanya aja langsung,” jawab sang aparat berdasarkan kesaksian G.
G dan kawan-kawannya diminta menuruti perintah aparat dan dilarang untuk banyak bertanya. Banyaknya pertanyaan yang dilayangkan G dan kawannya membuat orang yang disebut sebagai komandan geram.
“Ya kalian ini buat didata, gak usah banyak nanya lagi!” ujarnya dengan nada tinggi.
Tak lama kemudian, mereka diperintahkan untuk membawa G dan kawan-kawannya ke dalam mobil yang entah akan menggiring mereka ke mana. Sempat terus bertanya-tanya ke mana mereka akan dibawa, hingga terjadi miskomunikasi antar aparat. Sampai akhirnya mobil membawa mereka menuju Monas, ada posko di Monas, kata aparat.
Tiba di pintu Monas, mendapati banyak wartawan yang merekam kejadian itu, salah satu dari kawan-kawan G kemudian berteriak ke arah wartawan,
“Bang, bang, kalau kita hilang tolong cariin, ya,” katanya ke kamera.
Tepat pada tengah hari, sekitar pukul 12.00, G dan kawan-kawannya dikumpulkan di Monas. Ternyata mereka bukan orang pertama, banyak yang sudah terduduk dengan keadaan hanya mengenakan celana. G dan kawan-kawannya diperintahkan untuk bergabung, membuka baju, lebih lanjut penggeledahan seluruh badan. Penggeledahan ini berujung pada penyitaan telepon genggam dan pengembalian kartu tanda penduduk.
Tak lama berselang, salah satu kawan G yang tersadar kemudian bertanya mengapa mereka ditahan. Namun aparat lagi-lagi menjawab bahwa mereka hanya didata, bukan ditahan. Menjelang pukul 14.00, mereka berniat untuk melaksanakan shalat dzuhur, karena sudah hampir tiba waktu ashar. Namun dilarang dengan dalih sang aparat juga seorang muslim dan belum shalat. G dan kawannya semakin bertanya-tanya mengapa untuk sekadar ibadah pun dilarang, bahkan terkesan menggiring untuk tidak melaksanakannya.
Salah satu kawan G berkali-kali menginterupsi agar diizinkan untuk bertanya, namun tidak digubris. Sampai saat salah satu dari aparat justru menjawab dengan nada tinggi,
“kamu udah diem aja jangan banyak nanya!” ujarnya.
G dan kawan lainnya yang tidak setuju turut protes yang berujung pada pemisahan mereka berempat. Tersulut emosi, salah satu kawan G kemudian berteriak,
“Woy mahasiswa mana mahasiswa, diem-diem aja diperlakuin kaya gitu,” tuturnya
“Lu kaga usah provokasi,” timpah salah satu aparat yang geram dengan nada membentak.
Dikarenakan hanya G dan 3 kawannya yang berani membuka suara, mereka dipisahkan dari rombongan menuju mobil. Sempat akan dibawa langsung ke polda metro jaya, namun kondisi jalan tidak memungkinkan. Akhirnya G dan kawan-kawannya ditahan di dalam mobil. Sampai sekitar pukul 16.00, G dan kawan-kawannya dikembalikan ke rombongan dan mendapatkan jatah makan. Namun, G dan kawan-kawannya ditempatkan terpisah tanpa alasan.
“Sekitar waktu ini mulai banyak tambahan orang-orang yang ditangkep langsung dari aksi demonya. Posisinya mereka ga sedikit yang babak belur, bahkan ada yang sampe kepalanya udah bocor juga,” ujar G.
Pukul 18.00, mereka dipindahkan tepat di jalan aspal depan Monas. Di mana sebelumnya ditempatkan di rerumputan dalam keadaan tidak mengenakan baju. Semua tahanan tampak mulai lemas dan menahan kantuk, tidak sedikit pula yang memilih memejamkan matanya dan tergeletak di atas aspal. Terdapat seorang bocah yang diperkirakan siswa sekolah menengah pertama tengah sakit, namun diacuhkan, setelah sebagian dari mereka berteriak, barulah bocah tersebut ditangani.
Sekitar pukul 19.00, G dan seluruh tahanan kembali mendapatkan jatah makan, namun kali ini satu porsi untuk berdua. Jumlah keseluruhan dari mereka adalah 225 orang, di mana 4 di antaranya adalah perempuan. Satu orang perempuan tampak sakit hingga hampir pingsan namun tetap diacuhkan. Sesaat ketika aparat TNI datang, aparat kepolisian baru turut serta membantu. G bersaksi bahwa dalam keadaan ini, mereka tidak diizinkan untuk sekadar buang air. Mereka tetap diacuhkan dalam keadaan hujan gerimis.
“Di sini kita gak diizinin buat sekedar ke WC, disuruh di balik pohon aja kalau mau buang air kecil. Padahal posisinya kan ini di Monas ya, di tamannya, tapi ya disuruhnya kaya gitu,” tutur G.
Sampai sekitar pukul 23.00, mulai berdatangan polisi yang baru saja kembali dari lokasi aksi dan menurut G mereka masih tersulut emosi. Sebab, sebagian dari tahanan yang berada di barisan belakang menjadi sasaran emosi sang polisi tanpa alasan yang jelas.
“Oh tadi lu ya yang ngelempar batu?” Tanya sang polisi sembari memberikan sebuah pukulan sebelum pertanyaan tersebut terjawab.
“Padahal ya dari siang rombongan yang kita di sini mah ya diem di sini ga ke mana-mana,” tambah G.
Sekitar pukul 00.00, G memperkirakan mereka akan segera diberangkatkan, tampak kendaraan berlalu-lalang. Pukul 01.00 tahanan di Monas diangkut menggunakan bus aparat. G dan kawan-kawannya mendapat bagian bus bersama tahanan yang diciduk ketika aksi ricuh.
“Mereka kena siksa kaya gitu lah semacamnya, punggungnya banyak yang luka-luka semua, sama mukanya ga sedikit yang berdarah,” ucap G bercerita.
G turut menyaksikan pula halte-halte yang hancur diobrak-abrik amukan massa, serta coretan-coretan di dinding. Sampai sekitar pukul 02.00 mereka tiba di polda metro jaya dan secara terang-terangan menganggap mereka sebagai tahanan, bukan lagi sebagai pendataan semata. Mereka diperintahkan berjalan jongkok dari bus menuju ke ruangan mirip aula dengan pagar besi di sekelilingnya. Tiba di sana, mereka dipisahkan sesuai waktu penangkapan, pagi, siang, sore, atau malam. G menyebutkan mereka yang ditangkap pada malam hari, kondisi fisiknya semakin parah, entah diperlakukan seperti apa.
Pendataan baru dilakukan, seperti pengisian formulir, termasuk pengambilan gambar dan pengembalian telepon genggam. Telepon genggam dikembalikan dengan syarat tidak digunakan untuk tujuan apa pun. G mengatakan bahwa ketika itu turun hujan deras, dengan kondisi ruangan yang hanya tertutup jeruji besi menyebabkan cipratan air tetap masuk menyentuh kulit. Hingga sekitar pukul 05.00, mereka baru diizinkan mengenakan baju.
Sekitar pukul 09.00, mereka diizinkan untuk menggunakan telepon genggamnya untuk menghubungi orang terdekat dalam rangka penjemputan.
“Di situ pas saya nyalain HP udah rame di grup dan pc, pada nyariin. Teman saya yang per situ bikin pengumuman kalau gua hilang kontak dari jam sebelas kemarin. Ya karena emang HP udah disita jam segitu jadi lost contact,” tutur G.
Pukul 10.00, Polda Metro Jaya dipenuhi pihak penjemput tanpa diberitahukan bagaimana proses dan tata cara penjemputan. Lewat perantara teman wartawannya, G dibantu oleh senior dari jurusannya untuk menjadi wali dalam proses penjemputan. Pukul 13.00, persiapan administrasi penjemputan dimulai, mencakup segala yang harus disiapkan.
Setelah 31 jam 40 menit ditahan di Polda Metro Jaya, G dibebaskan tepat pada Jumat (9/10) pukul 18.40 WIB. Dibantu seorang senior bernama Ridha, rekannya Jura, junior di jurusan, serta satu orang rekan senior dari kampus lain. G mengatakan bahwa dirinya tidak mengalami kekerasan, namun tidak memungkiri adanya perlakuan tidak menyenangkan dari aparat kepolisian. G merasa lega karena dapat kembali menghirup udara segar, karena ruangan mirip aula itu terasa pengap, sumpek, berkerumun, hingga tak ada protokol kesehatan.
“Mau pakai masker atau enggak juga gak terlalu diperhatikan, kecuali pas mau ada orang-orang yang berkunjung pagi-pagi yang pada mau ngejemput, baru disiapin masker, entah untuk pencitraan atau sebagainya ya saya gak tau. Cuma ya emang kaya gitu realitanya,” tambah G.
Terakhir G berpesan kepada aparat untuk menerapkan apa yang menjadi slogan mereka dan bukan hanya ada pada banner, yakni pengayom dan pendengar masyarakat. G juga mengucapkan terima kasih yang sebanyak-banyaknya kepada seluruh pihak yang sudah membantu proses pelepasan hingga keluar tanpa kekurangan suatu apa pun.
“Pesan buat kawan-kawan aksi, polisi itu bukan lawan kita, tapi mereka hanya menjalankan perannya, begitu pun kita menjalankan peran kita sebagai mahasiswa yang dipandang sebagai kaum yang berintelektual. Mereka yang di atas yang mengatasnamakan rakyat demi kepentingan pribadi yang mengadu peran-peran kita agar saling bentrok dan baku hantam. Merekalah yang perlu kita garisbawahi.” Tutup G.
Reporter: Erika Nofia
Penulis: Erika Nofia
Penyunting: Jihan F