Kisah Pandemi di Kampung Naga

IMG 20210221 WA0102

Oleh, M. Yusya Rahmansyah

Ilmu Politik 2017

Pagi ini mendung menghiasi Tasikmalaya, rencana untuk menghampiri salah satu kampung adat di Tasikmalaya tidak boleh gagal kali ini. Perjalanan selama hampir dua jam dan dikejutkan dengan turunnya hujan menemani perjalanan dari Kota Tasikmalaya menuju Kampung Naga, yang terletak di Kabupaten Tasikmalaya. Tepatnya, di wilayah Desa Neglasari di Kecamatan Salawu.

Tepat pukul satu siang, sampai di Desa Neglasari. Jalan Raya Salawu yang dilewati masih basah karena gerimis masih menemani sampai masuk ke gapura besar yang menandakan bahwa sudah sampai di Kampung Naga. Sejenak berpikir apakah masih bisa masuk ke Kampung Naga?  Karena tempat bersejarah ini terlihat sepi dan sunyi tidak seperti biasanya yang ramai pengunjung dan turis mancanegara. Sebelum menaiki anak tangga menuju wilayah yang disebut Sanaga, protokol kesehatan perlu dipatuhi, terdapat dua tempat cuci tangan dan himbauan mematuhi protokol kesehatan.

Berjalan melewati ratusan anak tangga menuju Kampung Naga, rasa lelah menghampiri. Sesekali berhenti sejenak menghirup segarnya udara di sana. Setelah melewati banyak anak tangga, mulai terdengar sayup-sayup suara derasnya air mengalir. Kali kedua ke Kampung Naga, seakan mengenali kampung ini, jika terdengar suara derasnya air mengalir tandanya sudah semakin dekat dengan Kampung Naga. Ditikungan sebelum turun ke barisan anak tangga terakhir, pemandangan Kampung Naga terlihat dengan jelas.

Kampung Naga
Sumber Foto: M. Yusya Rahmansyah

Pemandangan rumah-rumah beratapkan ijuk, aliran deras sungai, hijaunya sawah  dan rintik hujan yang turun menambah kesan asri di Kampung Naga. Perlahan menuruni anak tangga, satu persatu anak tangga dilalui dengan seksama. Batu yang licin dan tanah yang basah mengharuskan berjalan dengan hati-hati, sesekali perlu menghindar dari genangan air. Anak tangga sudah dilewati, perlahan mulai terlihat jelas rumah-rumah yang tadi hanya bisa dipandang dari kejauhan.  Sesekali berpapasan dengan warga Kampung Naga. Senyum hangat yang diberikan memberikan kehangatan dan rasa senang ditengah cuaca yang kurang bersahabat.

Memasuki lapangan wilayah Kampung Naga, ada perbedaan dengan tahun lalu ketika datang ke sini. Kampung Naga terlihat sepi, sunyi dan tidak ramai seperti biasanya. Bangunan yang biasanya diisi oleh ibu-ibu yang sedang melakukan kerajinan tangan tidak terlihat. Aktivitas kali ini di Kampung Naga sangat minim. Apakah ini efek pandemi? Sesaat pikiran itu langsung membawa langkah kaki menuju Punduh Adat Kampung Naga.

Pak Ma’un, lelaki yang berusia genap 86 tahun ini masih setia dan siaga menjaga Kampung Naga. Ini kali kedua pak Ma’un bersua dengan Gemercik. Dengan senyum hangatnya yang khas itu, Pak Ma’un menyapa. Setelahnya mulai bercerita keadaan pandemi di Kampung Naga. Diselingi gelak tawa dan candaan ringan, diskusi dengan Pak Ma’un semakin menarik dan rintik hujan masih menemani diskusi kita di Kampung Naga.

Pertanyaan yang diajukan singkat, padat, jelas. Bagaimana kehidupan Masyarakat Kampung Naga? Pak Ma’un menjawab ada perubahan dalam kehidupan masyarakat Kampung Naga saat ini. “Yang biasanya ada pengunjung untuk beli ini (kerajinan tangan) perabotan, sekarang jadi sepi, Maka saya telat punya uangnya…. Ha…Ha…Ha.” Baru satu kalimat dikeluarkan gelak tawa sudah kembali terdengar. Kemudian, diberikan penjelasan bahwa Pak Ma’un sebagai kepala adat atau punduh adat hanya menuruti kata pemerintah terkait pandemi. Untuk masyarakat di Kampung Naga tidak ada perubahan aktivitas, tetap sama, ke sawah, bertani, paling hanya yang merantau yang berjualan keluar. Jelas Pak Ma’un.

Terkait masalah ekonomi, Pak Ma’un meyakini bahwa rezeki sudah ada yang mengatur tidak perlu bingung. Bahkan protokol kesehatan tetap dilaksanakan. Masyarakat adat tidak ada yang mengeluh karena keadaan pandemi ini semua terkena. Pak Ma’un kembali meyakini bahwa kehidupan masyarakat adat Kampung Naga tetap aman, tentram.

Diskusi singkat dengan Pak Ma’un sudah sedikit menggambarkan keadaan masyarakat Kampung Naga, yang saat ini terkena dampak pandemi. Tapi, perlu ada masyarakat yang diajak diskusi terkait ini. Mengelilingi setiap sudut Kampung Naga, nampak terlihat sepi tidak ada aktivitas warga di luar walaupun sesekali terlihat ibu-ibu yang berjalan tapi tidak ada aktivitas berarti. Sampai akhirnya lelah menghampiri. Sambil beristirahat di depan masjid yang mengarah langsung ke lapangan luas saat masuk tadi, terlihat sekelompok pemuda yang sedang mengerjakan sesuatu. Rasa ingin tahu meluap dan bertemu dengan Kang Habib, warga asli Kampung Naga.

Pertanyaan yang sama terlontar, jawaban pertama Kang Habib, “Kalau di sini kita tidak ada pengaruh sedikit pun ya, khusus pada warga dari pandemi ini aktivitas masih jalan biasa ke kebun dan ke sawah.” Selanjutnya, Kang Habib menjelaskan bahwa perbedaannya hanya biasanya ada wisatawan tapi sekarang tidak. Mungkin karena lebih baik juga di rumah daripada harus keluar. Untuk masalah ekonomi, Kang Habib memberikan pernyataan semoga masalah dunia ini segera selesai, perbanyak istigfar saja. Harapan Kang Habib juga semoga tidak ada infeksi COVID-19 di sini, dan pengawasan tetap ada dari pemerintah daerah.

Lima menit bersama Kang Habib, memberikan penjelasan yang semakin jelas. Keadaan pandemi saat ini sangat mempengaruhi perekonomian. Kehidupan masyarakat Kampung Naga memang tidak terganggu, berjalan seperti biasa. Tapi, permasalahan ekonomi yang menghampiri saat pandemi tidak dapat dihindari. Seperti kata Kang Habib, kita perlu perbanyak istigfar dan semoga masalah dunia ini segera selesai.

Sudah satu jam mengelilingi Kampung Naga dan menikmati suasana asrinya. Terdengar suara ayam dan derasnya aliran sungai Ciwulan yang membawa aliran air dari Gunung Cikuray di Garut. Puas rasanya datang ke Kampung Naga dan mengetahui kehidupan masyarakat dikala pandemi. Rintik hujan masih turun, sepertinya cuaca hari ini terus seperti ini. Sebelum pergi kembali ke Kota Tasikmalaya, pamit sejenak ke Pak Ma’un, lalu melanjutkan langkah kembali kearah anak tangga. Sambil berjalan melalui jalan setapak, terlihat dua wisatawan datang dan berhenti memberi makan ikan-ikan di kolam.

Tak terasa waktu sudah menunjukkan pukul tiga sore, perlahan Kampung Naga mulai tidak terlihat. Bersamaan dengan itu kelompok ibu-ibu ikut menaiki anak tangga untuk naik ke atas. Anak-anak turun ke bawah, pulang ke Kampung Naga. Kehidupan masih aman dan tentram di Kampung Naga, tanpa listrik dan teknologi yang sama dengan kehidupan masyarakat biasa. Masyarakat Kampung Naga paham dan mengerti bagaimana hubungan antara alam dan manusia dapat menghasilkan sebuah harmoni yang indah. Bulan Oktober sawah mereka panen, hubungan inilah yang ada antara manusia dan alam di Kampung Naga.

Sudah waktunya kembali ke Kota Tasikmalaya, hasil perjalanan ke Kampung Naga membuahkan hasil. Tulisan ini nanti akan berjudul Kisah Pandemi di Kampung Naga. Kampung Naga tetap terkena dampak pandemi, tapi masyarakat Kampung Naga tetap optimis dan mematuhi segala upaya untuk melawan pandemi. Perlu kita pahami dan resapi kisah pandemi di Kampung Naga, tentang harmoni antara manusia dan alam.

Penyunting: Rini Trisa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *