Di tengah gemerlap lampu panggung pada Jumat, (3/5/2024) lalu, dalam balutan magis Gedung Kesenian Tasikmalaya, sebuah cerita hidup dan bersembunyi di balik layar. Diwarnai dengan kegembiraan dan antusias para penonton, aku melangkah tergesa-gesa menuju petualangan baru dari panggung teater, persembahan Pentas Keliling (Penling) Unit Kegiatan Mahasiswa (UKM) Teater 28 Universitas Siliwangi (Unsil) berjudul La Taghdob.
Saat langkah pertamaku menapaki Gedung Kesenian Tasikmalaya, suasana gelap memeluk dengan lembut, embusan angin dingin menerpa kulit, mengingatkan akan detik-detik permulaan di bioskop. Dalam kesunyian itu, lampu redup memberi ruang pada imaji dua rumah yang saling berdampingan, bersiap menyambut perjalanan jiwa yang akan terpatri di benakku.
Melalui jendela semesta, kisah menari perlahan, mengalun dalam perjuangan warisan antara dua jiwa, Dadang dan Dudung. Dalam panggung kehidupan tersebut, tabiat manusia terbuka, sandiwara melebur menjadi satu, memukau hati yang terpaku dalam gelombang perasaan yang tiada tentu.
Dari balik tirai, terbentanglah kisah asmara yang merangkai jalinan cinta antara Ujang, pembantu di rumah Dadang dan Yanti, pembantu di rumah Dudung. Mereka adalah sepasang kekasih yang terjebak dalam belenggu perang antara kedua majikannya. Meskipun begitu, api cinta yang berkobar di antara mereka tetap menyala, meski harus merelakan kemesraan demi menjaga ketenangan rumah para tuan.
Kilasan adegan berlanjut, tarian perjuangan untuk merebut warisan antara Dadang dan Dudung sebagai tokoh utama terus memuncak. Keduanya saling berperang, sehingga lambat laun orang-orang merindukan kedamaian mereka berdua. Sementara itu, istri-istri mereka dan anak-anak mereka terjebak dalam pusaran kekacauan yang menyelimuti keluarga.
Di tengah pusaran konflik yang memuncak, hadirlah tokoh Pak Rohidin, tangan kanan almarhum ayah Dadang dan Dudung (Haji Barzah), menjadi sosok pionir yang mampu menyatukan mereka. Berkat kerja sama Ujang dan penduduk sekitar, Pak Rohidin merencanakan upaya besar untuk mendamaikan kedua saudara itu. Namun, rencananya tidak berjalan mulus. Aksi Pak Rohidin justru menambah konflik, menciptakan riak-riak baru di dalam lingkaran pertarungan politik keluarga.
Di tengah gemuruh konflik, adegan romantis Ujang dan Yanti mempersembahkan sentuhan kelembutan yang memeluk hati penonton. Lewat rayuan dan akting yang khas, mereka membangun kisah cinta yang menyentuh, menjadi sumber inspirasi bagi penonton untuk tidak menyerah pada cobaan kehidupan.
Dalam gemerlap panggung yang memeluk adegan romantis, aku terhanyut dalam aliran emosi yang mengalir deras, mengiringi perjuangan dua insan dalam menyatukan hati. Dari atas panggung, mereka menari dalam cahaya, tetapi dalam jiwa, mereka menahan badai yang mengancam untuk memutuskan benang cinta yang mengikat. Dalam detik-detik itu, aku merasakan getaran sedih yang merayap dalam hati, sekaligus memancarkan sinar empati yang tulus, berharap mereka mampu bertahan, melangkah bersama, merangkai impian di tengah lautan badai yang mengganas.
Lalu ketika situasi makin memanas dan tuduhan terus mengalir, panggung menjadi medan perang bagi Dadang dan Dudung. Teriakan dan adu mulut menggema di ruang teater, menciptakan gelombang emosi yang melanda penonton. Namun, di antara sorotan dan riuhnya panggung, kilasan jenaka tetap hadir, menggelikan hati, menghasilkan tawa yang meredakan ketegangan.
UKM Teater 28 Unsil sukses membelai gelombang emosi yang menggebu para penonton. Dalam panggungnya yang memikat, kehadiran sang tukang buah dan suara riuh kelompok ibu-ibu mengalun membelai telinga, menari di dalam sunyi hati. Tiap adegan, dijalin dengan cermat, menjadi benang merajut rasa, membiarkan jiwa mengalir dalam aliran cerita yang mengalun damai.
Di bawah remang cahaya panggung, suara tawa memecah kesunyian, merayakan detik-detik kebahagiaan di antara badai konflik. Dengan setiap gelak tawa, hati kita diangkat ke relung keceriaan, tetap dengan sekejap, panggung memutar roda kehidupan, mempersembahkan kembali kegentingan yang menggelayuti para tokoh utama. Sebuah permainan antara senyum dan ketegangan, di mana keindahan tersembunyi di balik bayang-bayang pertarungan.
Menyusuri gelapnya malam yang tercipta dari ketegangan dan konflik, sebuah sinar harapan menembus awan hitam. Pesan yang mengalir dari tangan kanan almarhum ayah, seperti nyala lilin di keheningan, membangkitkan cahaya di dalam kegelapan yang menyelimuti. Pak Rohidin memerintahkan kehadiran persaudaraan yang erat dan keharmonisan yang damai dalam kekeluargaan. Namun, di antara gemuruh kehidupan, Dadang dan Dudung terdampar dalam kepingan penyesalan yang menghantui.
Dalam aliran sungai waktu tersebut, penyesalan mereka mengalir, diukir dalam pilu ketidakacuhan. Kehangatan persaudaraan ditinggalkan demi kilau harta dan cakrawala jabatan. Akan tetapi, mereka telah lupa pada keanggunan ikatan batin yang menguatkan, tiada harta yang mampu mengimbangi harmoni keluarga. Sepi melanda.
Di tengah gemuruh hati, alunan haru memeluk langit, merentangkan luka yang tidak terucap. Dalam pandangan yang mengalir, rindu mengukir bayang-bayang sosok ayah yang telah menjelma asa. Terpahat dengan indahnya perasaan sang protagonis mengalir, menceritakan sebuah perjalanan yang bersemi di antara bara dan pilu, mengguratkan persaudaraan yang menggetarkan jiwa.
Alur cerita sederhana mengalun indah layaknya melodi yang menggugah jiwa, ditemani oleh senyum-senyum jenaka yang melayang lembut di antara adegan. Sebuah pesan bijak dari sutradara, “La Taghdob” yang bermakna “jangan marah-marah”, mengguratkan pelajaran hidup dalam setiap langkah yang kita ambil.
Di panggung pertunjukan, para aktor mengukir karakter dengan jiwa yang mendalam dan mempersembahkan chemistry yang memesona dengan balutan melodi suara yang jelas, serta gerakan kostum yang melambung cepat, menghidupkan sensasi nyata alur kehidupan. Properti yang tercipta dari sentuhan tangan kreatif, melahirkan dunia autentik yang terasa hidup, penunjang cerita berjalan.
Sebagai penonton awam, aku terhanyut dalam lukisan perjalanan jiwa oleh Teater 28 Unsil. Dedikasi para pemain yang tulus dan upaya keras mereka di belakang layar, menjadi lentera inspirasi bagi setiap langkah kita dalam merayakan kehidupan ini. Dengan realita yang menyentuh, La Taghdob tidak hanya sekadar pertunjukan, tetapi juga cerminan dari melodi kehidupan yang menginspirasi.
Dalam persembahan yang menggugah hati, kisah hidup yang sederhana menggelar panggungnya dengan gemilang. Para pemainnya menjelma menjadi pemeran yang memukau, menyuguhkan penampilan yang tidak terlupakan. Tidak hanya sekadar adegan demi adegan, tetapi juga momen-momen mereka menatap dunia dengan penuh keyakinan, menghadapkan diri pada sorotan penonton dengan penuh keberanian.
Di balik pancaran sinar panggung, tersembunyi perjuangan yang membara dari para pemain dan stafnya. Setiap langkah, setiap kata, menjadi bukti kesungguhan dan dedikasi yang mereka tanamkan. Layaknya sebuah mahakarya, kerja keras ini memanggil untuk diapresiasi dengan sepenuh hati.
La Taghdob bukan sekadar teater, melainkan kisah hidup yang terukir dalam melodi kehidupan. Dengan segala konflik dan kekacauan yang dihadirkan, pertunjukan ini mengajarkan bahwa cinta dan persaudaraan tetap menjadi pilar yang kokoh di tengah badai kehidupan. Sebuah persembahan yang menginspirasi dan mengajak penonton untuk merenungi makna sejati dari harmoni hidup.
Dengan izin yang tiada tara, langit terbuka untukku menuju panggung teater yang indah. Layaknya aroma pagi yang merayu, aku akan memeluk kesempatan ini dengan gemetar bahagia. Kenangan pertama menapaki panggung itu menghiasi hatiku dengan pesona abadi, menyirami jiwa dengan hikmah yang mengalir dari benang cerita, dijalin dengan gemulai oleh para penyair seni.
Penulis dan Reporter: Rahma Chairani
Penyunting: Ferani S.N.