LBH APIK Jakarta Adakan Webinar Perempuan dan Politik

27b65c8f 3b29 4467 B025 2abdceeec81e

Gemercik News-Tasikmalaya (27/11). Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, adakan Webinar ‘Perempuan dan Tantangannya Dalam Pusaran Politik di Indonesia: Melawan Stigma dan Pelecehan Seksual’, pada Jumat (27/11) melalui zoom meeting dan live streaming. Acara ini merupakan rangkaian peringatan 16 HAKTP (Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan). Komnas Perempuan mengadakan kampanye memperingati 16 HAKTP yang dimulai sejak tanggal 25 November hingga 10 Desember 2020.

“Ada 3 tantangan, pertama yaitu sistem dari segi politik itu sendiri. Yang kedua sistem finansial dari segi ekonomi. Yang ketiga budaya perempuan tidak mendukung perempuan,” tutur Kepala Daerah Tanggerang Selatan, Rahayu Saraswati.

Politik perempuan di Indonesia masih mendapat tantangan dan hambatan, baik dari segi regulasi maupun dari segi budaya, di mana hambatan kultural masih dominan membatasi partisipasi perempuan di ranah publik, termasuk dalam proses rekrutmen dan seleksi anggota panitia pelaksanaan pemilu di berbagai tingkatan. Stigma negatif juga cenderung dilekatkan pada perempuan, karena dianggap tidak otonom dalam pengambilan keputusan dan tidak identik dengan fungsi kepemimpinan.

“Tantangan dalam konteks sistem harus diimbangi dengan konteks budaya dan ideologi. Banyak yang menganggap dari segi budaya dan agama, bahwa perempuan belum layak,” tutur Dirga Ardiansa selaku Moderator Webinar.

Beberapa calon pemimpin perempuan yang sedang berkontestasi dalam politik elektoral juga mendapatkan pelecehan, baik secara verbal maupun seksual. Salah satu di antaranya Afifah Alia, selaku calon Wakil Walikota Depok, pada Pilkada Depok 2020 mendatang.

“Saya merasakan hal yang berbeda. Ketika mencalonkan diri menjadi anggota Legislatif, tidak ada penolakan sama sekali. Tapi ketika saya mencalonkan diri sebagai calon Wakil Walikota Depok, saya mendapat banyak cemoohan ‘perempuan cukup di dapur’. Hal ini membuat saya semakin bersemangat untuk memenangkan Pilkada Depok,” tutur Afifah Alia.

Pertengahan Desember pada 2012 lalu, DPR mengesahkan undang-undang partai politik baru sebagai revisi terhadap UU Nomor 2 Tahun 2008 tentang Partai Politik. Secara umum tidak ada perubahan mendasar, kecuali soal syarat pembentukan partai politik dan sumbangan untuk partai politik. UU Nomor 2 Tahun 2008 sebenarnya sudah memulai kebijakan afirmasi di internal partai politik, melalui pasal pembentukan dan kepengurusan partai politik, yang menyertakan paling kurang 30% perempuan.

“Afirmasi ini menurut saya merupakan langkah yang progress. Tapi ujung-ujungnya itu (caleg perempuan) cuma prosedural. Persoalan 30% keterwakilan perempuan merupakan spirit. Afirmasi ini tidak didukung dengan komitmen kaderisasi, bagaimana mereka (perempuan) menguatkan mental,” tutur Koalisi Perempuan Indonesia, Mika Verawati.

“Ketika berbicara politik dan perempuan, kita diselubungi ya sistemnya, ya negeranya, ya warganya,” sambungnya.

“Persoalan yang pertama dari afirmasi, bagaimana cara agar perempuan bisa menang (pemilihan). Karena seringkali perempuan hanya sekedar dicalonkan sebagai calon dalam memenuhi afirmasi saja. Dalam hal ini banyak yang asal-asalan memilih calon perempuan. Pedahal, seharusnya caleg yang dipilih adalah perempuan yang berkompeten, yang dapat berkampanye. Permasalahan yang kedua dari mental, karena penyerangan pada perempuan itu jauh lebih kasar ketimbang pada laki-laki. Biasanya berkaitan dengan kehidupan pribadi,” tutur Politikus Partai Solidaritas Indonesia, Tsamara Amany Alatas.

“Tantangan kita lebih besar karena merubah mindset. Satu hal yang penting, ini adalah waktunya politisi berani mengambil keputusan.” Tutup Tsamara Amany Alatas.

Reporter: Eva

Penulis: Eva

Penyunting: Rini Trisa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *