Waktu masih terlalu pagi untuk hari libur, anggota-anggota Gemercik dengan Pakaian Dinas Harian (PDH), sibuk mondar-mandir di depan Gedung Rektorat Universitas Siliwangi (Unsil). Hari itu dan dalam seminggu itu, di Unsil sedang diadakan Ujian Tulis Berbasis Komputer (UTBK) sehingga mahasiswa dianjurkan belajar di rumah dan menjadikan hari-hari tersebut sebagai cheat day untuk tidak berkegiatan di kampus. Akibatnya, Kampus Kuning Tasik itu, tampak sepi dari keramaian mahasiswa.
Pada pagi yang dingin itu, rasanya ogah sekali membayangkan mahasiswa lainnya yang tengah tidur pulas atau malas-malasan sambil menonton serial kesukaan mereka yang belum tamat kemarin. Malas sekali, menjejaki kaki ke Kampus Siliwangi di tengah angin yang merayu untuk tidur. Apa yang kurasakan saat itu mungkin juga dirasakan teman-teman sebayaku, yang sudah lebih dulu sampai di pelataran gedung rektorat. Wajah mereka masih tidak begitu bugar, sedikit lecek karena terlalu pagi kemungkinan.
Lima orang anggota berkumpul, menunggu narasumber yang terkenal dengan kesibukannya untuk berbincang ringan dengan kami. Kemudian, pertanyaannya akan jadi bahan dalam tulisan di laman berita Gemercik. Kami berdiri mondar-mandir selama satu setengah jam, menunggu konfirmasi kapan kiranya waktu luang Bapak Wakil Rektor (Warek) siap kami susupi. Namun, hingga menjelang siang, belum ada konfirmasi kembali terkait kapan pastinya Wakil Rektor itu bisa menemui kami, bahkan beberapa dari kami sudah mulai kelelahan.
Dengan nada agak putus asa, kami kembali bertanya kepada satpam yang bertugas tentang kiranya kesibukan apa yang sedang Pak Warek ini jalani. Selang beberapa menit kemudian, satpam tersebut memberitahukan bahwa Bapak Warek sedang sangat sibuk pagi ini sehingga kami harus memutar kembali jadwal pertemuan dengannya. Sudah pagi menjelang siang kala itu, helaan napas gusar kami berubah menjadi letih.
Banyak hal yang tak terduga ketika menekuni peran jurnalis mahasiswa ini. Bukan hanya waktu, kesibukan narasumber juga menjadi tantangan besar bagi kami. Masalah yang paling utama ialah ketidaksanggupan kita menyesuaikan waktu dengan narasumber yang bersangkutan, mengingat kita adalah mahasiswa yang memiliki tanggung jawab yang harus dipenuhi dan nilai yang harus dijaga, sedangkan jadwal kejar tayangnya luar biasa. Ya, berita memang tulisan yang harus disediakan dengan cepat agar tetap hangat dan itu menjadi tantangan yang lebih besar lagi bagi para pers mahasiswa, seperti kalanya saat ini. Sebelum kembali pulang, kami sempatkan berunding sejenak mengenai pergantian jadwal liputan ini. Hampir tidak ada yang bisa menyesuaikan dengan jadwal Wakil Rektor itu karena mereka juga punya kesibukan lain.
Karena tak guna berlarut dalam diskusi yang tidak menemui titik terang, kami pun satu per satu memutuskan untuk pulang. Namun, melihat gurat khawatir mereka karena jadwal tayang yang cepat ini, kembalinya ke pondokanku di Gunung Roay II, sesegera aku mengajukan diri untuk mengambil alih jadwal liputan. Tidak apa, meskipun capek memang. Barangkali keadaan ini akan berbalik, ini akan jadi utang budi mereka padaku nantinya.
Sesuai dengan pesan Bapak Wakil Rektor, aku kembali menemuinya pada pukul 16.00 WIB. Untungnya, aku tidak benar-benar sendiri, ada seorang kawan yang bersedia membersamai. Dengan janji yang telah disepakati pun, Wakil Rektor tidak langsung datang. Kami harus menunggu sekitar satu jam lagi, sebelum benar-benar bisa duduk santai di ruangan sempit nan megah milik Bapak Wakil Rektor tersebut. Isu hangat kala itu yang jadi bahasan kami adalah tentang kenaikan Uang Kuliah Tunggal (UKT) dan Iuran Pengembangan Institusi (IPI). Tugas kami mengulik penyebab dari kenaikan tersebut.
Beberapa temanku berkata, bergabung dengan pers mahasiswa hanya main-main jadi jurnalis semata. Namun, aku tidak setuju. Lihat saja, dengan siapa kami harus berhadapan? Dengan kuasa yang kecil ini, di hadapan Wakil Rektor, kita bukanlah apa-apa. Akan tetapi, pertanyaan-pertanyaan kritis tetap dilontarkan.
Berat sekali menghadap langsung Wakil Rektor dengan empat belas pertanyaan yang sarat akan kritik. Makin berat tatkala Wakil Rektor menunjuk-nunjuk peran mahasiswa atas kontribusinya dalam membangun Kampus Negeri ini. Apa kontribusi kalian? Apa yang telah kalian lakukan, hingga merasa memiliki kuasa untuk menolak keinginan kami? Apa dampaknya bagi kalian, mahasiswa lama yang tidak punya peran apa-apa ini? Dalam wawancara kali itu, aku banyak diam termangu. Berhadapan langsung untuk mendengar pernyataan ini sebagai pihak penentang, tentu membuat telinga sakit, membuat perasaan sangat kecil. Hal itu membuatku menyadari sejauh apa jarak yang sebenarnya, meski pada kenyataannya hanya terpisah meja di hadapan kami. Saat itu, ada perasaan goyah, bukan untuk keluar dari Gemercik, tetapi untuk berpihak pada sisinya saja.
Aku benar-benar berharap saat itu bahwa berita tersebut cepat terbit. Namun, selama dua minggu lebih, siaran tersebut tidak muncul di laman berita Gemercik.
Seketika aku merasa dongkol. Meskipun aku tidak lekas tahu apa yang membuatku merasa demikian. Mungkin karena memang ada bagian rasa untuk berbangga diri jika nama kita tertera dalam laman Instragram Gemercik, menimbang namaku belum begitu banyak memenuhi laman postingan-postingan tersebut. Namun, saat itu, aku rasa benar bahwa aku takut akan tekanan Wakil Rektor pada Gemercik nantinya.
Mengulas kembali hasil wawancaraku dengan beliau, aku tahu bahwa beliau membutuhkan peran media kampus untuk berpihak padanya sehingga ramai-ramai seruan penolakan kenaikan UKT di media sosial bisa redam, lah. Iya, betul, kenaikan UKT berdampak pada mahasiswa baru, tetapi kita tidak sepantasnya berbicara atas nama mereka yang belum ada suarakan protes. Hal itu hanya akan melempar propaganda. Benar bahwa kenaikan ini tidak semata-mata praduga kita untuk mengenyangkan perut rektorat semata dan satu-satunya yang akan diuntungkan adalah pelayanan Universitas Siliwangi yang lebih unggul sehingga tercipta generasi mahasiswa yang harum. Aku dapat mengerti keresahan Wakil Rektor tersebut dan ketegangannya dengan Gemercik Media. Namun, sepertinya jajaran pengurus tidak memikirkan itu.
Aku tak pernah membuka percakapan ini dengan mereka. Akan tetapi suatu waktu, Pemimpin Redaksi Gemercik menyinggung hal itu.
“… Iya, hasil wawancara itu belum bisa terbit karena dalam wawancaranya, Bapak Wakil Rektor ini sangat menekan mahasiswa.”
Sempat terpikir olehku untuk bertanya, jika memang media pers adalah media yang faktual, mengapa tidak kita tulis saja sebenar-benarnya, sejujur-jujurnya? Siapakah yang bisa menilai salah antara pernyataan yang dikemukakan Wakil Rektor itu atau apakah Wakil Rektor sedang menututup-nutupi dosanya? Apakah pers bisa mengetahui jika banyaknya uang tersebut akan masuk ke kantong rektor atau mahasiswa? Saat itu sebenarnya banyak dalam pikiranku, mengenai media dan segala busuknya yang aku tahu ketika aku mempelajari kekuatan politik Indonesia. Namun, aku tak bertanya.
Kembali aku soroti apa yang dilakukan Gemercik sejauh ini. Namun, makin melihat ke belakang, makin aku tahu bahwa pengalamanku menghadap Warek kemarin, bukan milikku seorang. Jika sedang ngaso-ngaso di gedung keseketariatan ini, banyak terjadi pertukaran kisah yang berasal dari pengalaman pribadi, apalagi pengalaman tekanan seperti ini. Begitu juga lelahnya menjadi pers mahasiswa yang harus menduakan pikiran antara akademik dan perannya sebagai jurnalis tanpa kembali dengan tangan berisi, tanpa upah sepeser pun.
Sebelum itu, Gemercik pernah ditawari untuk menulis berita dari lembaga Unsil dan diberi upah. Hal yang menurutku betul-betul diidamkan. Selama ini, Gemercik selalu mengusahakan menjadi garda terdepan berita kampus maupun luar kampus dan menguras tidak saja energi, tetapi uang para anggota. Tidak ada yang membiayai kami perihal makan dan ongkos bensin dan segalanya kami usahakan sendiri, demi mengangkat nama Gemercik. Waktu itu bisa jadi momen haru bagi para anggota untuk menilai bahwa akhirnya ada sesuatu yang mereka dapatkan setelah bersusah payah meluangkan waktu dan usahanya, yang kembali pada mereka setelah usaha yang melelahkan. Aku merasa seolah menjadi jurnalis sungguhan karena merasa bahwa eksistensi kita dihargai dengan benar.
Namun, rupanya tawaran itu tidak diterimanya.
“Kenapa?” Aku bertanya penasaran. “Bukankah orang juga tidak akan tahu? Memang akan terlihat, kalau kita memihak salah satu pihak? Toh, itu, kan, urusan dapur.”
Sambil berduduk sila dengan tenang, mereka menjawab, “Karena kita menjaga independensi kita, sesuai dengan tujuan dan peraturan yang ditetapkan dewan pers mengenai dibentuknya pers mahasiswa.”
Kembali lagi, rasa penasaranku memuncak. Suatu kali, pernah aku wawancara ke tempat yang jauh dalam rasa lapar dan mengantuk luar biasa atau di hari liburku yang senang sekali, kuisi dengan membaca buku, tetapi diusiknya atau terkadang pada terik panas matahari, dibakar kepulan asap kendaraan, berkeringat dan sangat panas. Dengan tanpa kembali, usaha itu diberi demi nama Gemercik. Namun, ada kalanya di keadaan seperti itu, selalu pikiranku bertanya beberapa kali, untuk apa ini semua?
Ketika duduk-duduk di lantai sekretariat yang dingin, kembali aku bertanya pada sore kali itu; Apa yang kalian ingin perjuangkan dengan mempertahankan idealisme kalian sebagai media yang independen?
“Kita ingin jadi lembaga pers yang berpihak kepada mahasiswa kecil,” tambahnya.
Diucapkannya dengan ringan, tetapi berhasil mengahalau semua sesalku kemarin.
Aku teringat Tirto, pendiri media pers pribumi pertama di Indonesia, Medan Prijaji. Apa yang menjadi landasan dibentuknya media pers? Apa pers hanya melulu hanya urusan politis? Apa sebenarnya cita-cita pendahulu kita, Medan Prijaji, ketika pertama kali menerbitkan media pers pribumi di Indonesia? Bukankah kita masih satu tujuan, untuk menghantarkan masyarakat Indonesia pada gemerlang ilmu sehingga kita dapat melawan penindasan dan menciptakan kehidupan yang layak bagi kita semua?
Aku tahu, hingga hari ini, tujuan Gemercik belum selesai dan pundaknya akan makin berat hari demi hari. Namun, meski berat pundaknya, meski terlengah kakinya, aku berharap arah gerak Gemercik tidak berubah, seperti namanya yang mengartikan percikan api, Gemercik bisa menerangi malam yang gelap akan ketidaktahuan, memperjuangkan mereka yang tertindas.
Penulis: Annisa Firsty
Penyunting: Raisa Fadilah Ramadani