May Day atau Hari Buruh jatuh tepat pada tanggal 1 Mei. Hari Buruh tak pernah terlepas dari sejarah perjuangan para buruh yang dipaksa bekerja hingga 16 jam per hari, tepatnya pada zaman revolusi industri. Pada tanggal 1 Mei 1886 di Amerika Serikat, terjadi demonstrasi yang dipicu oleh hak para buruh dalam perihal penaikan upah dan juga pemberlakuan jam kerja selama 8 jam sehari. Demonstrasi ini dilakukan oleh para buruh yang melakukan mogok kerja secara massal dan jumlahnya diperkirakan mencapai 100.000 orang.
Aksi demonstrasi ini berlangsung hingga tanggal 4 Mei, dilakukan oleh aktivis-aktivis dari para demonstran dengan melakukan orasi di Chichago. Dalam aksi inipun, timbul kericuhan yang didasari oleh ratusan demonstran yang tetap tinggal melanjutkan aksi, namun petugas keamanan meminta para demonstran untuk bubar. Para demonstran bersikukuh bahwa mereka ingin menyampaikan aspirasi mereka, namun tak lama setelah itu terdengar letusan bom yang membuat 67 petugas keamanan terluka, 7 polisi tewas, 200 orang terluka, dan juga beberapa orang demonstran tewas.
Dalam insiden ini, tidak diketahui secara jelas siapa pelakunya namun insiden tersebut membuat 100 orang buruh ditahan. Peristiwa ini kemudian dikenal publik dengan nama Insiden Haymarket. Sejak saat itu, Konferensi International Sosialis tahun 1889 menetapkan Insiden Haymarket sebagai sebuah momentum tentang perjuangan para buruh. Hal inilah yang mendasari mengapa 1 Mei ditetapkan sebagai Hari Buruh Internasional.
Lalu bagaimana dengan di Indonesia?
Hari Buruh di Indonesia, sering kali dikaitkan dengan ideologi komunisme pada pemerintahan Presiden Soeharto. Pada masa ini, yang jatuh tepat pada tanggal 1 Mei ditiadakan. Langkah yang Presiden Soeharto ambil pada saat itu adalah menghilangkan nama Kementerian Perburuhan, tepatnya dari Kabinet Dwikora menjadi Departemen Tenaga Kerja untuk menghilangankan peringatan Hari Buruh.
Awaloedin Djamin, ditetapkan oleh Soeharto sebagai menteri tenaga kerja pertama pada orde baru, lantaran latar belakang Awaloedin adalah perwira polisi. Soeharto berpendapat bahwa Awaloedin adalah orang yang tepat untuk menduduki posisi ini karena, beliau dinilai sebagai orang yang mampu menghadapi kaum buruh.
Namun, nyatanya serikat buruh pada waktu itu masih kuat, sehingga peringatan Hari Buruh pada tanggal 1 Mei 1966 tetap dilakukan atas pertimbangan dari Soeharto dengan dimeriahkan oleh acara pawai kendaraan melewati istana. Seusai peringatan itu, Awaloedin lalu beranggapan bahwa tanggal 1 Mei tidak cocok sebagai tanggal peringatan Hari Buruh, sehingga tanggal 1 Mei 1967, peringatan ditiadakan.
Setelah peristiwa ini serikat buruh kemudian disatukan ke dalam Federasi Buruh Seluruh Indonesia (FBSI) dan berubah menjadi menjadi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI). Pada tanggal 1 Mei 2000, tuntutan mulai hadir kembali dengan adanya demonstrasi ribuan buruh dan para mahasiswa yang menuntut agar I Mei kembali dijadikan Hari Buruh dan Hari Libur Nasional.
Namun, hingga masa pemerintahan Gus Dur dan Megawati tidak ada progres apapun perihal tuntutan tanggal 1 Mei dijadikan Hari Buruh dan Hari Libur Nasional.
Memasuki masa pemerintahan Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) tepatnya pada tahun 2013, SBY akhirnya resmi menetapkan tanggal 1 Mei sebagai Hari Buruh dan Hari Libur Nasional, dengan menandatangani Peraturan Presiden (Perpres). Rencana inipun sebelumnya pernah disampaikan, ketika menerima pimpinan konfederasi dan serikat pekerja di Istana Negara, dan disambut dengan baik oleh Ketua Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia (KSPI). Selain itu, menurut Julian Aldrin Pasha, yang saat itu merupakan Juru Bicara (Jubir) presiden, penetapan 1 Mei juga adalah sebuah kado dari presiden untuk semua buruh di Indonesia.
Penulis: Tia Elvia
Penyunting: Ghina