Menangani PETI Dalam Bingkai Semangat Sustainability

Sumber Foto JohnGemercik Media 1 1

Oleh: Mujiono

Berdasarkan informasi dari Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), pada tahun 2022 terdapat sekitar 2.700 lokasi pertambangan liar di Indonesia. Dapat dibayangkan sejauh mana dampak lingkungan yang ditimbulkan. Tambang liar, atau yang dalam istilah formal dikenal sebagai pertambangan tanpa izin, merupakan kegiatan produksi mineral atau batu bara yang dilakukan oleh masyarakat atau perusahaan tanpa izin resmi. Kegiatan ini tidak menerapkan prinsip pertambangan yang baik dan benar bahkan dapat menimbulkan dampak negatif bagi lingkungan hidup, ekonomi, dan sosial serta dapat memicu konflik horizontal.

Pada saat yang sama, kesadaran masyarakat global terkait aspek keberlanjutan semakin meningkat. Berbagai upaya didorong untuk memenuhi kebutuhan hari ini tanpa mengorbankan hak generasi mendatang. Kegiatan usaha untuk mencukupi kebutuhan ekonomi harus tetap mempertimbangkan aspek lingkungan maupun sosial. Hal ini juga berlaku bagi sektor pertambangan, yang sering kali dipandang  dari sisi dampak negatifnya.

Sektor pertambangan dikenal sebagai salah satu penyumbang devisa terbesar bagi negara. Melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020, diterapkan kebijakan-kebijakan baru untuk mengoptimalkan pendapatan negara dari sektor ini. Diharapkan, pertambangan mampu menumbuhkan kegiatan ekonomi lokal serta berkontribusi positif terhadap pengembangan daerah. Namun, di sisi lain, aktivitas pertambangan sering dianggap sebagai perusak alam dan membawa dampak negatif lainnya, seperti dua sisi mata uang yang berlawanan, pertambangan dinilai sebagai sumber kemakmuran, sekaligus sebagai sumber malapetaka.

Sejauh ini, belum tampak adanya kebijakan nyata untuk menangani fenomena pertambangan liar, khususnya yang berkaitan dengan mitigasi (tindakan untuk mengurangi dampak negatif dari peristiwa tertentu) kerusakan lingkungan. Berikut adalah sejumlah dampak negatif akibat kegiatan tambang ilegal.

Dampak Jangka Pendek:

  • Pembukaan lahan, berdampak terhadap flora dan fauna yang ada di kawasan hutan tersebut. Tanaman dan hewan akan terganggu karena hutan yang merupakan habitatnya terganggu.
  • Perubahan iklim mikro, yang ditandai dengan suhu udara menjadi lebih panas.
  • Perubahan bentang alam dari hutan rindang menjadi lahan terbuka yang tidak tertata akan terjadi jika tidak dilakukan reklamasi.
  • Terjadi erosi dan longsor yang dapat menurunkan kualitas air sungai, hal ini akan berdampak terhadap ikan dan makhluk hidup yang tergantung pada sungai.
  • Pencemaran lingkungan akibat dari penggunaan bahan kimia seperti sianida, merkuri, dan sebagainya yang tidak dikelola dengan baik dan benar.
  • Dampak sosial di masyarakat, akan terjadi kecemburuan karena adanya ketimpangan ekonomi di masyarakat. Tidak terjadi pemerataan, hanya kelompok tertentu yang mendapatkan keuntungan dan kelompok lainnya menerima dampak negatifnya.
  • Konflik sosial, umumnya para pelaku tambang ilegal datang dari daerah lain untuk melakukan kerja sama dengan tokoh masyarakat setempat yang belum berpengalaman dalam melakukan kegiatan penambangan. Perpindahan penduduk ini berpotensi menimbulkan isu sosial dan konflik.
  • Kerugian negara, berhubung umumnya tambang liar tidak memiliki badan usaha, maka pemerintah tidak bisa memungut pajak penjualan dan royalti dari kegiatan tersebut.

Dampak Jangka Panjang

  • Penurunan level air permukaan, dampak ini terasa beberapa tahun kemudian setelah penebangan hutan semakin luas dan tidak disertai dengan kegiatan reklamasi (tindakan yang diatur oleh hukum untuk mengembalikan lahan yang telah terdegradasi). Kerusakan atau reservoir cekungan yang menampung air tanah dapat menyebabkan level air permukaan akan turun bahkan hilang.
  • Dampak bahan kimia terhadap lingkungan. Sisa merkuri dan sianida yang dibuang sembarangan, akan berdampak terhadap biota perairan, termasuk ikan yang akan dikonsumsi oleh manusia.
  • Dampaknya terhadap kesehatan manusia akan terlihat setelah bertahun-tahun berkumpul di dalam organ tubuh manusia.
  • Para pekerja di tambang ilegal berpotensi terpapar uap dari bahan kimia. Selain itu, juga berisiko mengalami penurunan pendengaran akibat kebisingan yang timbul karena tidak dibekali prosedur yang tepat.
  • Dampak kerugian pada biodiversity karena tidak ada upaya pengelolaan dan pengendalian yang dilakukan. Dampak ini bisa timbul jangka pendek dan jangka panjang tergantung dari progres dan luasnya kerusakan lingkungan.

Siasat Berbenah

Pemerintah telah menyiapkan semua perangkat kaidah teknis pertambangan yang baik, mulai dari proses pengajuan perizinan, kajian, operasional pertambangan, pengelolaan lingkungan, pemasaran, pengembangan masyarakat, hingga kegiatan reklamasi dan pasca tambang.

Selanjutnya, pemerintah perlu mempertimbangkan untuk membuat aturan yang jelas serta memberikan efek jera kepada para pelaku tambang ilegal. Sejauh ini, Kementerian ESDM telah mengatur syarat-syarat dan ketentuan pengajuan perizinan usaha pertambangan. Namun, aturan tersebut tidak sepenuhnya dipatuhi dan dilaksanakan. Oleh karena itu, diperlukan tambahan peraturan untuk mempertegas pelaksanaan aturan tersebut. Pelibatan aparat keamanan, kehutanan, serta dinas-dinas terkait lainnya juga diperlukan, misalnya, sanksi yang tegas harus diberlakukan hingga menyasar aktor utama, bukan hanya pelaku lapangan tambang ilegal.

Selain itu, diperlukan juga peningkatan upaya pengawasan di lapangan. Pola pengawasan dapat dilakukan melalui pengawasan langsung, yaitu melalui program yang melibatkan semua pihak terkait di daerah-daerah yang menjadi wilayah kegiatan penambangan. Pengawasan langsung dapat dilakukan secara terjadwal maupun tidak terjadwal sehingga bisa lebih optimal dalam melihat kondisi di lapangan. Sedangkan, pengawasan tidak langsung bisa dilakukan dengan memanfaatkan teknologi pemantau seperti drone dan CCTV yang tersambung. Pengawasan ini tidak hanya dilakukan oleh pihak berwajib dan pemerintah, tetapi juga melibatkan masyarakat akar rumput, yang nantinya dapat melaporkan apabila ditemukan adanya kelompok tambang ilegal.

Berdasarkan data lapangan, hampir 75 persen izin usaha pertambangan di Indonesia dimiliki oleh pihak swasta, sementara sisanya milik Pelat Merah. Oleh karena itu, keterlibatan pihak swasta dalam menjalankan kegiatan pertambangan yang bertanggung jawab sesuai dengan prinsip-prinsip pertambangan yang baik serta mempertimbangkan keberlanjutan sangat diperlukan untuk mengatasi masalah tambang ilegal yang semakin marak.

Di luar itu, terkadang para pelaku tambang ilegal sebenarnya berkeinginan untuk mengajukan izin usaha pertambangan, tetapi mereka menghadapi kesulitan dalam memenuhi persyaratan yang ada. Oleh karena itu, perlu pertimbangan untuk menyederhanakan sistem birokrasi perizinan sesuai dengan skala dan risiko kegiatan mereka.

Pada akhirnya, tidak boleh terjadi bahwa potensi sumber daya alam yang seharusnya menjadi karunia bagi Indonesia justru menjadi malapetaka akibat kesalahan dan kelalaian dalam pengelolaannya. Pertambangan seharusnya menjadi modal serta mesin pembangunan, tetapi justru dapat membawa bahaya ganda terhadap lingkungan dan masyarakat karena ulah culas dari para penambang ilegal.

Penulis: Mujiono
Penyunting: Fika Fatma Yuslia

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *