Menilik 5 Tokoh Pers Yang Berpengaruh Di Indonesia

Tokoh Pers

Oleh: Anisa TW, Redaktur Pelaksana LPM Gemercik 2021

Tanggal 9 Februari, menjadi momentum perayaan bagi insan yang mengabdikan diri sebagai seorang jurnalis. Bagaimana tidak, 9 Februari merupakan perayaan Hari Pers Nasional, sekaligus bertepatan dengan hari ulang tahun Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).

Berdasarkan Keputusan Presiden Nomor 5 Tahun 1985, bahwa penduduk Indonesia mempunyai sejarah perjuangan dan peran penting dalam melaksanakan sebagian pengamalan pancasila. Kemudian, dewan pers menetapkan hari pers nasional dilaksanakan setiap tahunnya secara bergantian di ibu kota provinsi se-Indonesia.

Bila ditilik kembali, tentunya banyak tokoh yang berpengaruh memberikan informasi yang mendidik demi membangun bangsa. Berikut Gemercik telah merangkum 5 Tokoh Pers Nasional yang berpengaruh di Indonesia versi Gemercik. Di antaranya:

1. Tirto Adhi Soerjo 

Tirto Adhi Soerjo atau yang sering disingkat T.A., dikenal sebagai perintis per-surat kabaran dan kewartawanan nasional Indonesia. Ia merupakan orang pertama yang menggunakan surat kabar sebagai alat propaganda dan pembentuk pendapat umum. Selain itu, ia juga berani menulis yang berisikan kecaman-kecaman pedas terhadap pemerintah kolonial Belanda, yang akhirnya beliau ditangkap dan diasingkan ke Pulau Bacan, dekat Halmahera,  Provinsi Maluku Utara.

Pada tahun 1973, pemerintah mengukuhkannya sebagai Bapak Pers Nasional. Pada tanggal 3 November 2006, Tirto mendapat gelar sebagai Pahlawan Nasional melalui Keppres RI No. 85/TK/2006.

2. H. Rosihan Anwar

H. Rosihan Anwar adalah salah seorang yang produktif menulis. Ia merupakan tokoh pers, sejarawan, sastrawan, dan budayawan Indonesia.

Mulanya, Rosihan berkecimpung di reporter Asia Raya pada zaman penjajahan Jepang, yakni tahun 1943 hingga menjadi Pemimpin Redaksi Siasat (1947-1957) dan Pedoman (1948-1961). Di masa perjuangan, Rosihan pernah disekap oleh penjajah Belanda di Bukit Duri, Batavia (kini Jakarta).

Selain itu,  pada tahun 1961 koran Pedoman miliknya dibredel penguasa. Rosihan juga pernah menjabat Ketua Umum Persatuan Wartawan Indonesia pada masa orde baru (1968-1974).

Pada tahun 1973, Rosihan mendapat anugerah Bintang Mahaputra III, bersama tokoh pers Jakob Oetama. Sayangnya, kurang dari setahun Presiden Soeharto menutup koran Pedoman miliknya.

3. Mochtar Lubis

Mochtar Lubis merupakan seorang jurnalis dan pengarang ternama asal Indonesia. Ia turut mendirikan Kantor Berita ANTARA. Kemudian, Mochtar Lubis juga pernah menjadi pemimpin umum dan pemimpin redaksi surat kabar Indonesia Raya yang pernah mengalami dua kali masa terbit, yaitu pada zaman Orde Lama (1949-1958) dan Orde Baru (1968-1974). Ia mendirikan majalah sastra Horizon bersama kawan-kawannya. Mochtar Lubis terkenal akan keberaniannya dalam melawan pada waktu pemerintahan rezim Soekarno, ia dijebloskan ke dalam penjara hampir sembilan tahun lamanya dan baru dibebaskan pada tahun 1966. Pemikirannya selama di penjara, ia tuangkan dalam buku Catatan Subversif (1980).

4. Goenawan Muhammad

Goenawan Soesatyo Mohamad adalah salah seorang pendiri Majalah Tempo, sekaligus sastrawan terkemuka di Indonesia. Goenawan mulai meniti karir dimulai dari redaktur Harian KAMI (1969-1970), redaktur Majalah Horison (1969-1974), pemimpin redaksi Majalah Ekspres (1970-1971), pemimpin redaksi Majalah Swasembada (1985).

Pada tahun 1971, Goenawan dan rekan-rekannya mulai mendirikan majalah Mingguan Tempo, majalah yang mengangkat karakter jurnalisme majalah time. Di sana, ia banyak menulis kolom tentang agenda-agenda politik di Indonesia.

Goenawan memiliki jiwa kritisnya, ia berani mengkritik rezim Soeharto. Sehingga, Tempo dianggap sebagai oposisi yang merugikan kepentingan pemerintah dan menyebabkan penghentian atas penerbitannya pada tahun 1994.

5. SK Trimurti

Surastri Karma Trimurti seorang tokoh perempuan yang memiliki peran sangat besar dalam perjuangan Indonesia. Ia dikenal sebagai wartawan, penulis, dan guru Indonesia.

Sejak tahun 1935, ia bersama teman-temannya di Solo mendirikan Majalah Bedug, yang bertujuan untuk komunikasi mengenai perjuangan rakyat dan untuk menggugah hati rakyat supaya sadar dengan nasibnya sebagai bangsa terjajah. Tidak lama, majalah bedug berganti menjadi majalah terompet. Namun, majalah terompet juga tidak bertahan lama, hingga Srimurti mendirikan majalah sendiri yang bernama Pesat. Sayangnya, majalah pesat juga tidak bertahan lama karena terpaksa ditutup ketika zaman penjajahan  Jepang, yang melarang semua surat kabar kecuali yang dikelola oleh Jepang sendiri.

Hingga pada saat setelah merdeka, S.K Trimurti tidak berhenti untuk terus menulis dan berkarya.

Penyunting: Rini Trisa

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *