Oleh: Moch. Fauzi Ramdani
Pada era pemerintahan Jokowi, Indonesia ingin dijadikan rumah yang semakin ramah bagi para investor. Demi investasi, pemerintah merancang aturan baru bernama omnibus law. Sebagaimana bahasa hukum lainnya, omnibus berasal dari bahasa latin yaitu omnis yang berarti banyak. Dapat disimpulkan bahwa omnibus lawini bersifat lintas sektor atau yang sering ditafsirkan sebagai RUU Sapu Jagat. Isi RUU Sapu Jagat/omnibus law rentan kepentingan para kapitalis, karena dalam perumusannya didominasi oleh pengusaha dan minim pelibatan masyarakat. RUU Sapu Jagat ini bertujuan untuk merapikan UU yang tumpang tindih.
Setidaknya terdapat tiga hal yang disasar dalam aturan baru ini. Ketiganya ialah RUU Perpajakan, Usaha Kecil Mikro dan Menengah (UMKM), dan Cipta Kerja. Di dalam omnibus law, yang paling bermasalah yaitu RUU Cipta Kerja atau saya lebih suka menyebutnya dengan Cipta Lapangan Kerja yang bisa disingkat Cilaka.
Kelahiran RUU Cilaka ini dilatarbelakangi dengan memburuknya ekonomi global yang berdampak pada Indonesia dan bertujuan agar dapat keluar dari jurang resesi ekonomi. Pemerintah seakan ingin menimpakan seluruh beban kepada kelas buruh dan rakyat. Akan tetapi, di lain hal pemerintah memanjakan kelas pemodal dengan menghapus pidana perburuhan dan menggantinya dengan sanksi perdata (denda dan sanksi administrasi).
Seperti namanya, RUU Cilaka ini sudah pasti ngacilakakeun(mencelakakan) nasib dan jaminan kesejahteraan buruh dengan adanya konsep “easy hearing-easy firing” atau “mudah rekrut dan mudah pecat” serta jumlah pesangon yang diturunkan.
Kemudian, dalam draf RUU Cilaka, pemerintah juga menghilangkan ketentuan izin lingkungan dan diganti dengan perizinan berusaha. Perubahan ketentuan ini akan mempersulit upaya melawan perusak-perusak lingkungan sehingga akses masyarakat terhadap penegakan hukum akan kian sempit. Apalagi, Jokowi sempat memberikan pidato yang sangat lantang dan tidak segan “menggigit” siapa saja yang menghalangi program tersebut. Dengan dihapuskan rezim izin ini akan memperparah kerusakan lingkungan di Indonesia.
Kehadiran RUU Cilaka juga dibarengi dengan kebijakan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan mengenai kebijakan Kampus Merdeka. Pendidikan yang seharusnya mencetak generasi ahli nyatanya dalam sistem kapitalis saat ini justru dicetak menjadi budak industri. Dalam Konsep kebijakan ini, kampus bisa bekerja sama dengan bermacam-macam lembaga bahkan perusahaan multinasional dan startupbisa ikut menyusun kurikulum untuk jurusan baru. Adapun realisasi dari kampus merdeka ada empat program yaitu kampus negeri dan swasta bebas membuka jurusan baru, pembaruan sistem akreditasi, mempermudah Perguruan Tinggi Negeri (PTN) mengubah statusnya jadi PTN Badan Hukum, kemudian mahasiswa diberikan hak untuk magang selama 3 semester di instansi pemerintah atau mitra perusahaan yang bekerja sama dengan Perguruan Tinggi.
Dengan ini, secara tidak langsung mahasiswa diajarkan untuk bekerja, bukan untuk fokus belajar di kampus. Dengan dalih membiasakan diri bekerja dan mempraktikan ilmu yang didapat selama di kampus, perusahaan bisa mendapatkan tenaga kerja murah yang tidak lain adalah mahasiswa magang itu sendiri. Kampus sebagai salah satu ranah pendidikan telah secara gamblang mengawinkan dirinya dengan kebutuhan pasar tenaga kerja. Substansinya sudah membusuk di bawah sistem kapitalisme. Kita tidak akan lagi menemukan substansinya sebagaimana yang dijelaskan Ki Hajar Dewantara, “Pendidikan adalah penuntun segala kekuatan kodrat pada anak-anak agar mereka sebagai manusia dan anggota masyarakat dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tinginya”. Juga seperti wejangan dari Prof. Dr. Buya Hamka yang menegaskan, “Kalau hidup hanya sekadar hidup, babi dihutan juga hidup. Kalau kerja hanya sekadar bekerja, kera juga bekerja”.
Jelas kampus merdeka memiliki relasi dengan RUU Cilaka, yang mana kebijakan tersebut dipersiapkan untuk menunjang tujuan besar omnibus law. Yang pada dasarnya kampus sebagai sarana pendidikan untuk mencerdaskan kehidupan bangsa telah dipaksa lari dari substansi yang sebenarnya.
Apakah kita sebagai Cendekiawan Berpribadi (mahasiswa) sekaligus menjadi bagian dari civil society akan menerima kedua kebijakan tersebut atau akan menyusul serikat buruh di garis perlawanan dengan menolak kebijakan yang mengancam kita?
Penyunting: Jihan