Mahasiswa pada dasarnya menjadi pelaku gerakan perubahan bagi bangsa. Dipandang sebagai kaum intelektual yang diharapkan publik mengontrol dan dapat menjadi tulang punggung bangsa. Namun berbagai aspek di jaman yang canggih ini merubah citra mahasiswa. Bobroknya perilaku dan etika mahasiswa yang menurunkan kualitas pemimpin di masa depan. Hal ini menjadi salah satu PR penting bagi kita selaku mahasiswa.
Sudah tak aneh lagi dengan berbagai kabar bahwa mahasiswa kehilangan perilaku sopan santunnya terhadap dosen ataupun masyarakat. Mahasiswa cenderung bersikap angkuh dan mengangkat kepalanya tanpa pernah mau menunduk. Ini salah satu bukti nyata yang selalu terlihat di lingkungan kampus. Budaya keangkuhan mahasiswa semakin merajalela bahkan sudah dianggap wajar.
Kita semestinya merasa malu dan prihatin melihat etika mahasiswa tak mencerminkan seorang kaum intelektual. Etika bagi mahasiswa dapat menjati alat pengontrol dalam melakukan suatu tindakan. Etika juga menjadi gambaran dalam mengambil suatu keputusan. Oleh karena itu, makna etika haruslah dipahami kembali dan diaplikasikan dalam kehidupan sehari-hari. Realitanya banyak mahasiswa yang tidak sadar akan peran dan fungsi etika. Mereka acuh dan berbuat sesuka hatinya tanpa pernah mempergunakan etika yang baik dan benar. Merasa bebas melakukan hal apapun, bersikap apatis bahkan melakukan pemberontakan. Tidak menerapkan etika saat berkomunikasi bersama teman, dosen, bahkan masyarakat. Dengan bangganya banyak mahasiswa yang mengikuti budaya seperti ini.
Apabila mahasiswa masih belum menyadari betapa pentingnnya etika dalam pembentukan karakter pemimpin bangsa, lalu bagaimana nasib bangsa ini? Haruskah bangsa ini dipimpin oleh generasi yang tidak memiliki etika? Haruskah bangsa ini dipimpin oleh keangkuhan? Tak heran jika benih-benih koruptor sudah tercium saat ini. Karena etika pada mahasiswa sudah dianggap sepele dan tak penting. Mau dibawa kemana negeri ini jika kita selaku mahasiswa masih saja berikap angkuh dan tak peduli dengan etika? Dimana wajah Indonesia jika nanti bangsa ini dipimpin oleh jiwa-jiwa yang penuh dengan keangkuhan dan memiliki akhlak tercela?
Hal sederhana yang dapat kita lakukan saat ini untuk menghapuskan budaya keangkuhan dikalangan mahasiswa adalah menerapkan 3S. Kita sudah tak asing lagi dengan penerapan 3S. 3S dianggap mudah namun sangat sulit diterapkan dalam kehidupan sehari-hari. Lalu apa itu 3S? Senyum, Sapa Salam. Tiga hal yang terlihat mudah dilakukan, namun nyatanya banyak mahasiswa yang menganggap remeh sehingga cenderung mengabaikannya. Mulailah dari tersenyum. Hanya dengan sebuah senyuman, semua beban yang ada akan terasa ringan. Hadapi keadaan apapun dengan senyum. Salah satunya berilah senyuman kepada lingkungan sekitar. Banyak sekali manfaat yang dapat kita petik hanya karena senyuman.
Yang kedua adalah Sapa. Menyapa hal yang tidak sulit dilakukan. Tidak perlu mengeluarkan energi banyak. Namun kini mahasiswa terlihat tak ingin menyapa sesama manusia. Jika diingat bahwa manusia adalah makhluk sosial, manusia tidak bisa hidup sendiri. Lalu mengapa manusia masih tetap egois dan enggan untuk berinteraksi terhadap manusa lainnya?
Salam dianjurkan dan menjadi kewajiban bagi umat muslim. Hal yang sangat sederhana dan menjadi permulaan dalam berinteraksi dengan sesama manusia. Namun banyak mahasiswa yang enggan mengucapkan salam. Tanpa etika dan basa-basi, banyak mahasiswa yang to the point jika berbicara dengan seseorang. Mereka merasa tidak perlu mengucapkan salam sehingga langsun mengfokuskan pembicaraan pada intinya saja. Seperti inikah etika mahasiswa? Tak ada salahnya jika kita mengucapkan salam sebagai awalan memulai pembicaraan.
Maka dari itu sudah seharusnya kita membenahi dan merubah budaya mahasiswa yang berlaku saat ini. Mulailah dari sekarang juga untuk menerapkan 3S dalam kehidupan sehari-hari. Jika sudah terbiasa mengaplikasian 3S maka tanpa kita sadari penerapan 3S sangat mudah dan akan menjadi budaya di kalangan mahasiswa. Mulailah dari diri sendiri dengan penuh tanggung jawab. Terkadang etika dipandang dan menjadi penentu penilaian baik atau buruknya seseorang. Negeri ini tidak membutuhkan generasi yang angkuh dan penuh kecurangan dalam kehidupannya. Negeri ini membutuhkan pemimpin yang beretika dengan akhlak yang terpuji. Mengutip salah satu kalimat novelis yaitu Tere Liye bahwa “Jika kita memilih tidak peduli. Lebih sibuk dengan urusan masing-masing. Nasib negeri ini persis seperti sekeranjang telur di ujung tanduk. Hanya soal waktu akan pecah berantakan.” Itulah dampak jika kita terus menerus melestarikan budaya mahasiswa yang tidak memiliki etika. (Siska Fajar Kusuma/Gemercik)