Pertaruhan Media dan Fungsi Pers di Indonesia: “Kugadaikan Independenku”

F51b92d6 3676 4422 Bde1 B612479f25b9

Oleh: M. Yusya Rahmansyah

Apakah Anda mengetahui peran Pers? Jika menyelisik peran Pers yang terdapat pada Pasal 3 Ayat (1) UU No. 40 Tahun 1999 tentang Pers yang berbunyi “Pers nasional mempunyai fungsi sebagai media informasi, pendidikan, hiburan, dan kontrol sosial”, peran Pers yang seperti itu pasti sudah diterapkan oleh setiap media nasional maupun lokal. Namun, beberapa media nasional tidak menyelisik lebih dalam dan tidak memiliki latar belakang yang seharusnya yaitu independen dan bebas dari tekanan pihak luar. Hal tersebut bertujuan agar Pers dapat lebih lantang menyuarakan hal-hal yang timpang.

Beberapa media nasional seolah santai menanggapi posisinya sebagai Pers yang merupakan bagian dari empat pilar demokrasi. Media nasional maupun lokal memang menjalankan fungsinya sebagaimana pasal tadi, tetapi apakah media nasional dan lokal masih dapat dikatakan sebagai Pers yang independen, menjadi kontrol sosial, sekaligus bebas dari tekanan pihak luar?

Bagi orang awam, media di Indonesia memang terlihat independen dan seolah di dalamnya tidak ada sangkut paut dengan pihak lain. Namun, tahukah Anda bahwa saat ini konglomerat media di Indonesia sudah menggerogoti media nasional? Konglomerasi media di Indonesia memang sudah bukan menjadi rahasia lagi. Kita semua mengetahui bahwa di balik media-media besar terdapat orang-orang besar yang turut menjalankan media tersebut. Apa yang dipertaruhkan ketika hal tersebut terjadi? Jurnalistik dan peran Perslah yang dipertaruhkan ketika keadaan konglomerasi media ini menjangkit media-media nasional Indonesia. Yang mana, siaran televisi dan beritanya dikonsumsi oleh puluhan ribu bahkan jutaan pasang mata di Indonesia. Sungguh ironi ketika melihat keadaan Pers di Indonesia sebab kerja dan media jurnalistik terbatas oleh  penguasa konglomerat media.

Menurut Ross Tapsell dalam https://www.google.com/amp/s/amp.tirto.id/8-konglomerat-media-di-indonesia-via-jalur-media-tv-cetak-cEv7, “Perusahaan-perusahaan media global belum mendominasi pasar Indonesia dan bukan pendorong utama industri di Indonesia. Sebaliknya, konglomerat media nasional yang punya kuasa dan pengaruh.”

Kutipan kalimat Ross Tapsell tersebut terdapat pada kesimpulan Bab II dalam Media Power in Indonesia: Oligarchs, Citizens, and the Digital Revolution. Buku Tapsell merupakan riset doktoralnya sekaligus menjadi penelitan yang mengulas tentang media terbaru di Indonesia. Kalimat Tapsell menunjukkan bahwa konglomerat media nasional memiliki kuasa dan pengaruh. Kuasa dan pengaruh tersebut merujuk pada keadaan media nasional saat ini yang dikelilingi dan dikuasai oleh konglomerat media. Masihkah kita perlu percaya terhadap media apabila keadaannya seperti ini?

Media memang memerlukan dana yang besar untuk operasionalnya seperti untuk menggaji wartawan,  mencetak majalah atau koran, mendanai perawatan situs beritanya, membeli alat-alat untuk melakukan liputan, dan lain-lain sebagainya. Pendanaanlah yang menjadi penghambat dalam menjalankan kerja seorang jurnalis di media nasional yang ternyata masuk dalam kategori konglomerasi media. Sebut saja ER-CE-TE-I, milik Mas Hary Tanoe, TV-WANmilik Bang Aburizal, dan CNN versi Indonesia yang masuk dalam konglomerasi CT Corp milik si Anak Singkong mantan menteri lima bulan pada periode Pak SBY.

Pendanaan yang besar dalam menjalankan media menjadi halangan utama dalam menjalankan media agar 100% independen dan sesuai dengan fungsi Pers. Inilah yang menjadi tantangan pegiat media di Indonesia yaitu tantangan pendanaan dalam menjalankan operasional sebuah media. Tawaran menggiurkan pemilik modal (pengusaha) memang berat untuk ditolak. Tapi, independensinya, hakikat Pers juga jangan turut digadai. Kasihan, masyarakat selalu menerima berita formal yang sudah wajar diberitakan.

Efek dari pemilik modal atau konglomerat yang masuk ke dalam media memang tidak terlihat secara signifikan. Namun, hal tersebut memiliki potensi untuk sebuah media dikontrol oleh satu tangan yaitu dikontrol oleh konglomerat-konglomerat penguasa media. Misalnya, kasus partai kuning tentu tidak akan disiarkan dan diberitakan di TV-WAN. Begitu juga apabila ada kasus partai burung biru, pasti tidak akan ada di saluran televisi yang memiliki slogan oke…tersebut. Selain itu, bisnis-bisnis konglomerat tersebut juga tidak akan tersentuh oleh media-media yang masih satu induk dengan pemilik konglomerasi media. Contohnya apabila ada kasus yang menimpa salah satu bisnis konglomerat, media yang satu induk ini tentu tidak akan memberikan informasi terkait hal tersebut. Apakah ini yang disebut menjalankan kontrol sosial sesuai fungsi Pers, kerja jurnalistik, dan independensi? Aturan tersebut berarti hanya slogan saja seperti slogan oke… milik ER-CE-TE-I.

Masyarakat bisa apa untuk menyikapinya? Masyarakat saat ini hanya bisa diam, tetap menonton televisi, membaca berita, dan  menikmati “kebohongan” jurnalistik yang ada saat ini. Tidak semudah itu! Masyarakat perlu sadar akan keadaan ini. Peran media alternatif dapat dibangun secara swadaya oleh masyarakat. Dalam hal ini, pegiat jurnalistiklah yang mampu melawan arus besar media-media nasional yang ternodai tersebut, khususnya untuk media lokal.

Lebih dari itu, peran Pers kampus atau Pers mahasiswa yang merupakan organisasi Pers, seharusnya masih suci. Hal tersebut karena Pers mahasiswa masih memegang idealisme mahasiswa yang dapat dimaksimalkan. Setidaknya, Pers mahasiswa mampu memberitakan dan menginformasikan hingga mencapai wilayah kota tempat kampusnya berdiri dan bukan hanya berita formal seperti yang dicekoki media-media ternodai tadi kepada masyarakat. Namun, informasi yang jarang dimunculkan di masyarakat, informasi yang baru, dan menyadarkan masyarakat inilah yang jika diangkat dapat menjadi kontrol sosial yang terdapat dalam fungsi Pers.

Pers dapat dikatakan sebagai hal ghaib di Indonesia sebab  keberadaannya antara ada dan tiada. Selain itu juga karena media nasionalnya sudah tidak memegang prinsip jurnalisme lagi dan kerja jurnalisnya dibatasi oleh kucuran dana segar dari hasil konglomerasi media. Hal ini bertujuan demi menghidupi media agar tetap eksis di kalangan masyarakat yang sudah tersihir oleh frekuensi milik negara yang ternoda. Jadi, ada tetapi tiada.

 Masyarakat perlu sadar akan keadaan ini, Pers mahasiswa perlu menunjukkan idealismenya kembali, jangan hanya diam dan menikmati keadaan yang semestinya diubah oleh masyarakat dan juga Pers mahasiswa sebagai media alternatif. Perusahaan media juga perlu sadar bahwa kucuran dana segar tidak dapat menyegarkan ketimpangan yang terjadi di masyarakat. Hal ini lantaran dana segar justru menutup kerja jurnalis, sebab konglomerat tidak ingin diganggu gugat. Jangan gadaikan independensi dan fungsi pers hanya demi modal! Sekian.

Penyunting: Ana

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *