Refleksi Peringatan Hardiknas, Pentingnya Pendidikan dalam Membangun Karakter dan Peradaban Bangsa

HARDIKNAS

Oleh Farhan Mujahidin

Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas) yang dirayakan setiap 2 Mei di Indonesia merupakan momen penting bagi bangsa Indonesia untuk merefleksikan kembali pentingnya pendidikan dalam membangun karakter dan peradaban bangsa. Peringatan ini tidak hanya sekedar seremonial belaka, melainkan sebagai sarana introspeksi dan evaluasi terhadap sistem pendidikan yang ada, guna meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia.

Sebelum saya memberikan analisa terkait refleksi Hari Pendidikan Nasional (Hardiknas), saya ingin memaparkan terkait dengan hakikat Hardiknas tersendiri. Secara ideal, Hari Pendidikan Nasional merupakan anugerah dari Presiden Ir. Soekarno kepada Ki Hajar Dewantara,  tokoh terkemuka dalam dunia pendidikan, sehingga  menetapkan hari kelahiran Ki Hajar Dewantra (2/5/1889) sebagai Hari Pendidikan Nasional. Selain itu, sosok Ki Hajar Dewantra juga terkenal dengan semboyan ing ngarsa sung tuladha, ing madya mangun karsa, tut wuri handayani. Semboyan tersebut mengandung arti bahwa “di depan memberi contoh, di tengah memberi semangat, di belakang memberi dorongan.”

Dalam peringatan Hardiknas, bangsa Indonesia perlu untuk melakukan refleksi terhadap makna dari pendidikan. Melalui hal tersebut, diharapkan kita mampu untuk memaksimalkan perkembangan iklim pendidikan di Indonesia. Dalam satu prinsip pendidikan yang saya kaji, yaitu menurut Paulo Freire, mengartikan bahwa pendidikan haruslah membebaskan. Artinya, pendidikan menjadi jalur pembebasan yang terbagi menjadi dua tahap.

Pertama, pendidikan dapat menjadikan orang sadar akan penindasan dan melalui gerakan praktis, dapat mengubah keadaan tersebut. Kedua, pendidikan juga merupakan proses permanen, yaitu aksi dari budaya pembebasan. Akan tetapi, peran pengajar dalam membentuk individu yang independen, berdaya, dan merdeka membutuhkan proses pendidikan yang sangat sentral. Namun, pada kenyataannya, apakah kebebasan dalam pendidikan di Indonesia sudah terlaksana dengan baik?

Salah satu realita yang terjadi di dunia pendidikan Indonesia saat ini, yaitu tidak semua anak dapat terpenuhi hak  pendidikannya, seperti anak-anak jalanan yang dituntut untuk memenuhi hak hidupnya daripada memperoleh pendidikan yang mestinya mereka dapatkan.  Lalu, apakah makna kebebasan dalam pendidikan yang sudah diagung-agungkan itu?

Hemat penulis, kontribusi pemerintah dan lembaga pendidikan dalam menghadapi dan menyelesaikan persoalan pendidikan dapat dijalankan  dengan mengupayakan serta meningkatkan iklim pendidikan yang merata dan merdeka. Akan tetapi, akankah pemerataan pendidikan dapat dilakukan hanya dengan meningkatkan literasi digital saja?

Dalam implementasi pemerataan pendidikan, diperlukan peranan sentral dari lembaga pendidikan untuk membentuk siswa menjadi pribadi yang kritis. Selain itu, untuk menghadapi era digital yang memengaruhi dunia pendidikan saat ini, diperlukan juga sebuah keterampilan khusus, seperti kemampuan berpikir kritis yang berguna dalam memfilter  praktik kejahatan di dunia digital, seperti berita bohong atau hoaks yang menandakan rendahnya keterampilan berpikir kritis di Indonesia.

Maraknya penyiaran berita hoaks di Indonesia, menandakan penilaian masyarakat kita menjadi kabur. Hal tersebut bermakna bahwa kemampuan analisis masyarakat kita berada dalam taraf menyedihkan. Kondisi ini tentunya sangat miris, mengingat bahwa kurikulum pendidikan saat ini lebih mengarah pada konsentrasi enam literasi dengan salah satunya tertuju pada literasi digital.

Pendidikan terkait literasi digital saat ini merupakan salah satu bentuk revolusi dari pengajaran di masa lalu. Di Indonesia, dahulu kita menemukan kenyataan bahwa siswa terbiasa menghafal sejak jenjang sekolah dasar tanpa berfokus pada keterampilan berpikir kritis. Siswa terbiasa untuk menerima informasi  dan menghafalnya, bukan untuk mempertanyakan integritas dari informasi yang mereka terima benar atau tidak. Kemudian hal tersebut berlanjut ke domain publik, ketika seseorang makin banyak berhadapan dengan lalu lintas informasi. Masyarakat kita pada akhirnya terbiasa menerima informasi yang begitu-begitu saja, alih-alih mempertanyakannya (Dwifatma, 2019).

Dalam suasana seputar peringatan Hardiknas, sambil menegaskan kembali ihwal pendidikan sebagai sumber utama kemajuan peradaban manusia, bangsa Indonesia juga mesti secara sungguh memastikan dan menjadikan pendidikan sebagai kompas yang adaptif dan relevan dalam menuntun kehidupan bangsa di jalur yang tepat dan merdeka secara merata, termasuk dalam berhadapan dengan era digital yang makin global.

Penyunting: Ferani S.N.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *