Resensi Buku Album Prosa, Perempuan yang Memesan Takdir

IMG 20190828 WA0008

Identitas Buku :
Judul Buku : Perempuan yang Memesan Takdir
Penulis Buku: W Sanavero
Penerbit Buku: Mojok
Cetakan: 1, 2018
Tebal Buku : 104 halaman

Sinopsis Buku:
Album prosa ini menyingkap sisi lain perempuan yang tengah menjalani takdirnya masing-masing. Para tokoh di dalamnya mempunyai sudut pandang dalam memaknai cinta, kenangan, keluarga, budaya, pernikahan, bahkan hubungan manusia dengan Tuhan. Keenam belas kisah dalam album prosa ini tercipta dari perenungan yang sunyi –liris, liar, dan acak– sebagai monolog sekaligus dialog untuk menyelami hakikat kehidupan.

Pada halaman pertama buku ini memberi judul kata-kata dan cermin, salah satu prosa pembuka yang membuat siapa pun yang membacanya merasa menjadi perempuan di dalam ceritanya. Meski, menjadi pembuka prosa yang disediakan memang memberi makna yang mendalam kepada pembaca. Pada awalnya, ini menceritakan seorang perempuan yang begitu tertekan dengan keadaannya saat ini dan memutuskan untuk mengakhiri segalanya untuk melanjutkan kehidupan. Tokoh perempuan dalam awal cerita ini tertekan karena kesalahan yang pernah dia lakukan di masa lalu dengan lelaki yang dicintainya. Terkurung dalam kesalahan di kamar kecil dengan tumpukan kertas usang yang selalu menemani hari-harinya. Perempuan ini akhirnya memutuskan untuk tetap melanjutkan kehidupan dengan meneruskan menulisnya.

Halaman-halaman berikutnya menceritakan sisi lain perempuan yang menjalani takdirnya dengan kehilangan keistimewaan yang dia miliki. Dan terjerembap dalam takdir yang begitu rumit yang dilaluinya. Diceritakan pula mengenai perempuan yang mengadu kepada Tuhan dengan berdialog untuk meminta menghilangkan kenangan masa silam yang terus mengikutinya selalu. Selain itu, buku ini menceritakan pula bagaimana stereotipe kepada perempuan mengenai perempuan yang tidak boleh keluar rumah pada malam hari dan merokok seperti lelaki biasa. Bagaimana perempuan yang kerap diberi label perempuan tidak baik ketika merokok, padahal tidak semua perempuan merokok memiliki kepribadian buruk.

“Aku tidak membicarakan perempuan di luar sana. Tapi, aku adalah perempuan dan aku merokok. Selama ini memang, rokok selalu disimbolkan dengan hal-hal yang bertendensi negatif bagi perempuan. Aku tidak tahu cobalah kita sebut, pelacur, perempuan bar, atau yang lebih sedehana malam.” (Dalam Cerpen Kopi Perempuan, Hal 56).

Ada bagian prosa yang menceritakan mengenai perempuan yang berdarah biru. Yang selalu diperlakukan bak putri istana oleh pelayan perempuan lainnya. Pelayan yang tidak pernah duduk sejajar karena tidak sederajat dengan putri itu. Ketika membaca ini, akan tersadar bahwa emansipasi perempuan ini masih belum merata haknya untuk semua perempuan.

Pada buku ini pembaca akan diajak melihat sudut pandang perempuan-perempuan yang memang begitu terinvensi ruang-ruang kebebasan yang dimilikinya hanya karena seorang perempuan. Dan seorang perempuan yang harus tetap memberi abdi sebaik mungkin kepada suami. Dan ironi yang kerap berada di masyarakat ketika perempuan (istri) selalu menjadi disamakan dengan ibu mertuanya. Bagaimana pun, mereka adalah dua perempuan yang berbeda antara punggung yang dimilikinya satu sama lain. Penulis memberikan tamparan keras melalui kata yang ditulis pada prosa berjudul tanpa ruang.

“Kau melewatkan satu hal, Suamiku. Kau lupa aku sudah melakukan itu semua. Jika kau ingin hasil yang aku lakukan persis seperti yang dilakukan ibumu. Bahkan ketika kau menginginkan janin baru, tukarlah lubangku dengan lubang ibumu.” (Halaman 77).

“Ketika ruang-ruang perempuan diintervensi, lalu terus dimaki aku ingin tahu hormat semacam apa yang dilakukan seorang istri untuk suami.” (Halaman 77).

Penulis menciptakan sudut pandang berbeda dari segala perspektif mengenai perempuan yang lain. Bagaimana perempuan itu yang masih terkungkung dalam kebiasaan turun temurun dari lahir hingga dewasa. Perempuan yang tumbuh dengan segala kepercayaan yang diturunkannya. Bagaimana setiap cerita tokoh perempuan mempunyai sudut pandang dalam memaknai cinta, kenangan, keluarga, budaya, pernikahan, dan hubungan antara manusia dan penciptanya.

Dalam buku ini menuliskan sebuah prosa bagaimana perempuan memesan takdir kepada Tuhan. “Jika kau percaya saja, bahwa tangan-tangan Tuhan ada dimana-mana, maka semuanya akan baik-baik saja.” (Halaman 61).

Buku ini ditutup dengan satu prosa yang ditujukan untuk pembaca yang akan menjadi orang tua, bagaimana mendidik anak dengan sesuai masanya. Dengan membiarkan mereka membuka pintu cakrawalanya sendiri, tanpa terkekang dengan paksaan dari orang tua yang kerap membuat mereka tertekan dan takut. Mengawal dengan kasih sayang dan doa tanpa campur tangan lebih terhadap pilihan mereka.

“Kita kawal mereka dengan kasih sayang dan doa. Kita lepas dan memerdekakan mereka dari pendapat dan kemauan kita, kecuali sesekali mereka meminta pertimbangan dan diskusi agar waspada.” ( Hal 99).

Kelebihan buku ini adalah penulis dapat memberikan sudut pandang baru terhadap takdir-takdir yang kerap dialami seluruh perempuan. Membungkus dengan sangat apik, menyiratkan makna yang begitu dalam dan penulisan prosa yang sangat bagus dan baik sekali. Membongkar nilai-nilai yang terlalu kolot untuk perempuan saat ini dengan sudut pandang yang baru. Sarat makna dan amanat yang diberikan penulis kepada pembaca.

Dengan begitu banyaknya kelebihan yang dimiliki buku ini, ada kekurangan yang tentu dimilikinya. Penulisan kalimat yang berbeda dan menggunakan banyak majas membuat pembaca sulit memahami dengan baik ketika hanya membaca sekilas. Sehingga memerlukan waktu yang panjang untuk mencerna kalimat-kalimat yang tertulis. Selain itu, buku ini pun ditujukan untuk umur 18+ karena penulis begitu liar dalam memberikan pandangan baru kepada pembaca. Untuk perempuan dewasa pun, kerap sulit mencerna tulisannya karena begitu terlalu liar.

Peresensi: Nurul H
Penyunting: Yanifa RS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *