Oleh: Tawati (Muslimah Revowriter Majalengka dan Member WCWH)
Polres Tasikmalaya menangkap empat tersangka perdagangan manusia di Tasikmalaya. Para tersangka merupakan sindikat perdagangan manusia untuk dijadikan Pekerja Seks Komersial (PSK). Kasus ini terbongkar, setelah ibu salah satu korban melaporkan kasus anak hilang. Ibu korban itu mendapat bantuan dari Komisi Perlindungan Anak Indonesia Daerah (KPAID) Kabupaten Tasikmalaya, Jawa Barat. (medcom.id, 13/8/2021)
Prostitusi anak memang terus menjamur di tanah air. Pada tahun 2000, ditaksir ada 1,8 juta anak mengalami eksploitasi seksual di jaringan prostitusi dan pornografi. Sekitar 1 juta anak terjerumus ke dalam dunia prostitusi setiap tahunnya.
Di Jawa Barat, human trafficking menjadi sebuah industri. Korban dari kasus perdagangan manusia selalu melibatkan kaum perempuan dan anak di bawah umur, dengan rentang usia 13-17 tahun. Berulang kali polisi menangkap muncikari kelas receh, yang menjajakan PSK di bawah umur atau mengamankan anak-anak usia SMP, yang didapati menjajakan diri sebagai pelacur.
Jaringan prostitusi, khususnya yang melibatkan anak-anak yang sejatinya lahir dari rahim kotor kapitalisme, yang dalam sistem ini disebut teori economic good dan supply-demand. Bagi pelaku bisnis di alam kapitalisme, barang ekonomi (economic good) adalah apa saja yang ada peminatnya dan harganya cocok. Sehingga bisa ditransaksikan, termasuk prostitusi.
Teori supply creates its own demand juga membuat para muncikari ini tak pernah kehilangan pelanggan. Dengan media sosial, sindikat prostitusi anak itu kian meluaskan jaringannya ke seluruh pelosok tanah air, bahkan dunia.
Prostitusi anak adalah komoditas ekonomi bagi sebagian orang. Mereka melihat peluang bahwa ada lelaki-lelaki bejat yang siap membayar berapa saja untuk itu. Kerusakan sistem kapitalisme bukan saja membuat orang jadi rakus, tapi juga jadi liar dan hilang sifat kemanusiaan. Sampai menjadikan anak-anak sebagai objek pelacuran dan pornografi.
Tidak sedikit orang tua yang menjual anak gadisnya ke lelaki hidung belang, baik untuk diambil uangnya atau sebagai jalan popularitas menjadi selebritas. Selain kerakusan dan selera bejat sejumlah orang, faktor kemiskinan juga berkontribusi pada maraknya prostitusi anak. Ratusan, mungkin ribuan anak melacurkan diri atau dijebak dalam jaringan prostitusi, karena impitan kemiskinan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat jumlah penduduk miskin di Indonesia mencapai 27,55 juta orang pada September 2020, atau setara dengan 10,19% dari total penduduk di Indonesia. Pandemi selama setahun lebih menambah jumlah warga miskin.
Anak-anak yang datang dari keluarga miskin ini rawan menjadi korban human trafficking. Iming-iming diberi pekerjaan, kemudian masuk perangkap prostitusi. Kejamnya lagi, para pelaku penculikan ini masih mengutip uang dari para korban, setiap kali terjadi transaksi. Anak-anak ini pun dijaga ketat dan diancam keselamatan hidupnya.
Tidak diduga, ada juga sebagian anak yang secara sadar melacurkan diri karena kemiskinan. Mereka menjajakan diri secara individual atau berkelompok, dan dikelola seorang muncikari. Beberapa kasus yang diungkap kepolisian menemukan fakta sejumlah muncikari sama-sama masih di bawah umur, usia SMP, yang merupakan teman mereka juga.
Di tanah air, ada beberapa daerah yang orang tua justru terlibat dalam prostitusi anak. Mereka melacurkan anak-anak mereka. Selain karena tekanan ekonomi, juga karena perbuatan tersebut sudah jadi budaya di kampung mereka. Praktik pelacuran anak itu juga dilakukan di rumah-rumah mereka.
Meningkatnya pelacuran anak di tanah air adalah gambaran betapa negara saat ini, telah gagal melindungi warganya sendiri. Gagal memberikan jaminan kebutuhan hidup dan gagal menjamin keamanan sosial, sampai mereka menjadi korban human trafficking.
Padahal, dalam syariat islam, sistem kehidupan yang paripurna bagi kaum muslimin, yaitu keluarga, apalagi pemerintah diberikan tanggung jawab untuk melindungi setiap anggota keluarga atau rakyatnya.
Di level keluarga, ayah bertanggung jawab memberikan nafkah pada istri, dan anak-anaknya, juga menjaga keamanan mereka dari berbagai gangguan.
Di level masyarakat, setiap anggota memiliki kewajiban untuk saling ta’awun bil birri wa taqwa (tolong menolong dalam kebaikan dan ketakwaan) pada siapa saja, termasuk memberikan bantuan sosial dan juga menjamin rasa aman lingkungan.
Tentu saja pihak yang paling bertanggung jawab dalam persoalan masyarakat adalah negara. Pemimpin harus bisa menjadi junnah/perisai yang melindungi rakyat.
Pemimpin dan aparatnya harus melayani kebutuhan masyarakat sesuai syariat islam, seperti jaminan kebutuhan pokok, dengan bekerja keras mengentaskan kemiskinan, dan kelaparan, juga menjamin pendidikan dan layanan kesehatan warga.
Syariat islam tidak menoleransi prinsip bisnis ala kapitalisme. Setiap bisnis mesti berdasarkan ketentuan syariat. Prositusi, klub malam yang sajikan tarian mesum atau aktivitas bisnis, seperti toko-toko dan pameran yang mengeksploitasi penampilan kaum perempuan dan lelaki, akan dilarang. Karena dapat mengantarkan pada perkara yang haram.
Negara akan mengaplikasikan kaidah syariat, “Sarana yang dapat mengantarkan pada yang haram adalah haram.”
Negara juga akan menjatuhkan sanksi keras pada sindikat atau pihak-pihak yang terlibat dalam jaringan prostitusi. Sanksi yang diberikan akan dijatuhkan sesuai keterlibatan mereka.
Adapun korban, mereka tidak akan dijatuhkan sanksi, karena status mereka adalah korban dan dipaksa melakukan tindakan kriminal. Mereka terbebas dari segala sanksi.
Ini hanya bisa terwujud dalam masyarakat dan negara yang berlandaskan akidah islam, yaitu para pemimpin dan rakyatnya berpijak pada keimanan, dan muncul ketaatan pada Allah swt.
Dalam sistem seperti itu, jangankan nyawa dan kehormatan manusia, nasib seekor keledai pun amat diperhatikan para pemimpin. Sebagaimana perkataan Khalifah Umar bin Khaththab ra. yang masyhur, ‘Jika ada anak domba mati sia-sia di tepi sungai Eufrat (di Irak), sungguh aku takut Allah akan menanyaiku tentang hal itu.’ (HR Adz-Dzahabi).
Nasib anak domba saja begitu dicemaskan oleh para khalifah, apalagi nasib anak-anak manusia? Demikianlah keunggulan sistem kehidupan islam.
Penyunting: Andini Primadani