Oleh: Ayu Sabrina B.
Ku menangis membayangkan betapa kejamnya dirimu atas diriku, kau duakan cinta ini kau pergi bersamanya uououo… Inilah penggalan soundtrack dari sinetron bertemakan keluarga di salah satu stasiun televisi swasta berlogo ikan pelangi. Tentu, sinetron ini mengisahkan kehidupan seorang istri dalam menjalani bahtera rumah tangga yang semuanya tidak bahagia. Kadang diselingkuhi, dimadu, bahkan sampai diceraikan gara-gara hadirnya orang ketiga. “Suara Hati Istri” memang cocok untuk dijadikan judul sinema keluarga kenamaan ini.
Hampir dari setiap scene, memperlihatkan betapa menderitanya seorang perempuan sebagai pemeran utama, dari kisah tersebut diperlakukan tidak adil oleh sang suami. Hal yang tidak luput dari kisah tersebut adalah dominasi kekuasaan laki-laki atas perempuan. Apakah betul demikian? Bagaimana tidak, beberapa judul dari sinetron ini selalu memperlihatkan betapa laki-laki beperilaku kejam, seperti menjalani hubungan gelap dengan perempuan lain kemudian menikah diam-diam. Setelah itu tinggal serumah bersama madu suaminya dan saling bersaing baku mesra dengan sang suami, yang pada akhirnya istri pertama, diceraikan. Hmm apakah itu tidak kejam girls?
Namun, dibalik itu pembaca sadar tidak? Mungkin sebenarnya media sedang mengajarkan kepada kita bahwa yang patut dan sering mendapat ketidakbahagiaan dalam rumah tangga, bahkan kehidupan adalah perempuan. Seolah mengontraksikan, bahwa perempuan memang tidak boleh lebih pintar dari laki-laki, pantas dimadu bahkan pantas dibuang ketika sudah tidak dibutuhkan, miris. Jika pembaca sempat menonton sinetron ini, ada kisah yang menceritakan ketika sang istri tidak dapat hamil, sang suami berhak mencari istri baru. Hingga dua kali pernikahan tidak jua memberikan anak, akhirnya sang suami menikah untuk yang ketiga kalinya.
Mungkin, ada beberapa yang berpendapat bahwa menikah bertujuan untuk memperpanjang keturunan. Tapi, itu bukan berarti perempuan adalah mesin pencetak anak. Emosi, ya hanya emosi dan greget yang bakalan hadir ketika menontonnya. Apalagi ditambah soundtrack yang menyayat hati seperti penggalan lirik di atas, kadang ceritanya juga plot twist dengan sang istri yang dilukai hatinya menerima kembali suami yang sudah kejam kepadanya. Lalu nasib sang pelakor bagaimana? Jangan ditanya, stasiun televisi ini jagonya membuat skenario azab jadi pasti pembaca bisa menerka jawabannya sendiri.
Selain itu, pemeran perempuan protagonis rata-rata adalah perempuan yang baik, sabar dan tidak barbar. Awalnya, mereka hidup bahagia menjalani kehidupan sebagai pasangan, hingga akhirnya konflik datang menghadirkan orang ketiga yang biasa kita sebut sebagai, pelakor. Oiya biasanya keluarga ini berasal dari golongan orang kaya, jadi tidak aneh terdapat scene berebut harta gana-gini. Pemeran protagonis kerap kali pasrah menerima keadaan yang ada, tanpa perlawan dan sering kali menangis berlebihan. Kemudian membuat penonton bertanya sambil kesal “Kenapa ga cerai ajasi, masih aja mau ama laki kayak dia. Lakinya lagi, ga sadar cewe barunya tuh jahat.” Huh, membuat kepikiran memang.
Ini sedikit menggambarkan bahwa, tidak ada yang bisa istri lakukan untuk menunjukkan dirinya mempunyai hak atas rumah tangga, atau bahkan dirinya. Memang seorang istri harus patuh dan taat pada suami. Tapi, dalam hal ini jelas mengontruksikan tersubordinasinya perempuan atas laki-laki. Belum lagi, tentang si pelakor. Datang sebagai wanita tidak sopan, karena kehadirannya yang tidak diingkan tetapi ngotot masuk dan merebut kebahagiaan si protagonis. Ini jelas menggambarkan, betapa rendahnya menjadi seorang perempuan yang hadir dalam kehidupan seorang lelaki yang sudah beristri. Padahal untuk membangun cinta, tidak bisa sepihak. Harus keduanya saling memiliki rasa yang sama. Artinya, laki-laki punya peran dalam terbentuknya sebuah perselingkuhan.
Hmm nonton sinetron ini memang bikin kepikiran dan nagih. Saking nagihnya, sinetron “Suara Hati Istri” sampai bikin konser atas prestasinya sebagai tayangan yang laku di pasaran hiburan televisi. Tidak kita sadari, televisi swasta ini berhasil “menggoreng” perempuan sebagai produk yang ia jualkan. Dengan mengatakan bahwa “Suara Hati Istri” adalah sebuah gambaran pernikahan, yang bisa jadi akan kita alami atau terlihat secara nyata. Tapi jangan sampai, menjadi referensi berumah tangga pembaca, karena bahaya ketika nanti ada adegan yang berbeda, mau tanya kemana?
Penyunting: Ghina