Terjadinya Krisis Berorganisasi, Salah Siapa?

Opini Ormawa

Badai pandemi yang telah menggulung semuanya beberapa tahun, memang sudah menemui titik terangnya. Namun, apa pun yang ia tinggalkan tentu saja berdampak besar pada dunia yang kita tinggali ini. Salah satunya adalah kemampuan kita menghadapi dunia. Salah satu contohnya yaitu kemampuan kita dalam bersosialisasi. Pandemi memaksa kita semua untuk menahan diri bersosialisasi sehingga beberapa orang yang merasakan post-pandemic situation merasa kurang dalam bersosialisasi.

Salah satu dampak yang dirasakan di sektor pendidikan, selain lebih banyak diadakannya kelas yang bersifat di dalam jaringan (daring) adalah menurunnya minat berorganisasi. Sebenarnya, kelas daring tidak selamanya buruk. Kelas daring membuka kesempatan kepada siapa pun untuk mengikuti kelas di mana saja tanpa terbatas ruang. Itu adalah salah satu dampak positif dari pandemi. Namun, menurunnya keinginan mahasiswa untuk berorganisasi secara relatif, menimbulkan polemik dan pertanyaan, salah siapa ini semua?

Setelah kehidupan kampus kembali ke hakikatnya, masuk kelas—bertemu secara langsung—tanpa terhalang layar, merasakan kampus kembali hidup. Kehidupan itu sayangnya tidak selaras dengan minat para mahasiswa, khususnya mahasiswa baru sebagai target sasaran mereka untuk mengikuti kegiatan tersebut. Kehadiran Merdeka Belajar Kampus Merdeka (MBKM) yang digagas oleh Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi, Nadiem Makarim mungkin bisa menjadi faktor terbesar yang memengaruhi keputusan mahasiswa.

Pasalnya, dengan iming-iming adanya “uang saku”, pengalaman kerja di industri besar, dan juga relasi yang menyebar di seluruh Indonesia menjadi poin utama yang tersorot dalam mengikuti ini. Program yang dicanangkan oleh Pak Nadiem ini juga menarik. Tidak hanya magang, tetapi terdapat juga program KKN yang tersebar ke seluruh Indonesia; pertukaran mahasiswa, baik nasional sampai internasional; bahkan Kampus Mengajar yang ranahnya khusus untuk mahasiswa pendidikan juga ada. Dengan seluruh fasilitas yang dijanjikan, maka terasa wajar ketika banyak sekali mahasiswa yang berbondong-bondong memilih untuk mengganti tujuan.

Pandemi yang telah mengambil sebagian besar dari hidup kita juga merenggut peranan penting dalam pengambilan keputusan. Sebab, terdapat perasaan tidak ke mana-mana selama lebih dari dua tahun karena keterbatasan mobilisasi. Tujuan utama berkuliah bukan sekadar “berorganisasi”, tetapi chance to get more better. Kehidupan industri yang mulai bergerak lebih maju juga menjadi alasan bahwa kesempatan terasa makin sempit.

Namun, penulis sendiri sebagai mahasiswa yang sudah merasakan dua program secara bersamaan, ternyata kehidupan berorganisasi dan kehidupan magang itu bersifat tidak “menabrak”. Namun, ia berjalan dengan selaras. Dengan adanya organisasi, kita bisa belajar cara untuk mengorganisasikan, cara untuk mengatur sesama dan mengatur relasi. Sebuah pelajaran yang sifatnya tidak ada di bangku akademik mana pun kecuali terjun ke masyarakat langsung.

Fenomena merosotnya keinginan mahasiswa, khususnya mahasiswa baru adalah masalah universal yang terjadi di kampus lainnya. Permasalahan utama dapat disebabkan oleh beberapa faktor, salah satunya adalah organisasi tersebut ternyata tidak selaras dengan perkembangan zaman. Tantangan itu seharusnya dikaji oleh organisasi yang ada di dunia kampus. Maka, dengan menjawab tantangan zaman, organisasi bisa berjalan dengan semestinya.

Penulis: Aliffia Hanin N.

Penyunting: Verra Neisya Septiani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *