Oleh: Tia Elvia
Di Indonesia ganja dikenal sebagai salah satu jenis narkotika dan penggunaan ganja bisa dijerat pidana. Tanaman yang memiliki nama latin Cannabis Sativa, belakangan ini menjadi perbincangan hangat lantaran negara-negara anggota The United Nations Drug Agency’s menghapus ganja dari kategori obat-obatan berbahaya pada tanggal, 2 Desember 2020 lalu. Keputusan ini pun menimbulkan banyak pro-kontra. PBB sebelumnya telah memindahkan ganja dan turunannya dari golongan satu yang termasuk hard drug ke dalam golongan empat. Dari hasil voting yang telah dilakukan oleh Komisi Obat Narkotika (CND), yang memiliki anggota sebanyak 53 negara, 27 negara Eropa dan Amerika setuju, 25 lainnya termasuk China, Pakistan, dan Rusia menentang serta satu abstain.
Penggunaan ganja dianggap dapat menghilangkan rasa nyeri. Dilansir dari Health Europa, Tara Leo dari Cali Extractions menyebutkan bahwa ganja mengandung Cannabidiol (CBD), bahan kimia yang berdampak pada otak, karena membuatnya berfungsi lebih baik dan juga Tetrahidrokanabinol (THC) yang memiliki sifat pereda nyeri. Cannabidiol atau disingkat menjadi CBD merupakan senyawa kimia pada tanaman ganja. CBD merupakan zat di dalam ganja yang memiliki peran cukup penting dalam dunia kesehatan. WHO menyatakan bahwa CBD memiliki manfaat terapeutik dan tidak berbahaya untuk publik.
CBD juga disebut telah berperan besar dalam terapi pemulihan beberapa tahun terakhir ini, sehingga melahirkan industri baru bernilai miliaran dollar. Baru-baru ini, lebih dari 50 negara telah mengadopsi program ganja untuk medis. Beberapa negara seperti Kanada, Uruguay, dan 15 negara bagian di Amerika Serikat juga telah melegalkannya. Expert Committee on Drug Dependence (ECDD) telah melakukan observasi terhadap senyawa yang terdapat dalam ganja, dan mereka menyebutkan, “Bukti terbaru dari penelitian terhadap hewan dan manusia menunjukkan bahwa, penggunaan ganja dapat memiliki manfaat terapeutik untuk kejang karena epilepsi dan beberapa kondisi yang berhubungan dengannya. Bukti saat ini juga menunjukkan bahwa Cannabidiol tidak mungkin di salah gunakan atau menimbulkan ketergantungan, seperti pada Cannabinoid lain, dan Tetra Hydro Cannabinol (THC)”.
Dilansir dari laman Medical News Today, THC dapat membantu beberapa masalah kesehatan seperti epilepsi, kegelisahan, Glaukoma, gejala HIV/AIDS, rasa sakit, ketergantungan opioid, Sindrom iritasi usus besar (IBS), sindrom radang usus (IBD), Sklerosis ganda, kesulitan tidur hingga gangguan gerak. Sedangkan, CBD dapat membantu menangani beberapa masalah kesehatan, seperti kegelisahan, depresi, peradangan, migrain, gangguan stress pasca trauma (PTSD), kejang, penyakit radang usus, serta psikosis atau gangguan mental. Selain itu, menurut laporan WHO, CBD juga dapat mengobati penyakit Alzheimer, beberapa jenis kanker tertentu hingga penyakit serius lainnya.
Namun, terlepas dari semua manfaatnya, tentunya penggunaan CBD dan THC harus sesuai porsinya dan didukung oleh pengawasan dari ahlinya, karena di negara lain pun produk ganja belum dilegalkan sebagai obat medis walau telah didukung dengan banyaknya penelitian. Selain itu, meski PBB telah melegalkan ganja, keputusan ini tak serta merta membuat ganja legal di banyak negara termasuk di Indonesia. Hal ini dikarenakan tergantung hukum yang berlaku dimasing-masing negara.
Penyunting: Rini Trisa