Oleh: Theda Dzar Ghifari Ankasa Mahasiswa Pendidikan Bahasa Indonesia Universitas Siliwangi Angkatan 2017
Layaknya angin badai yang kedatangannya tidak diharapkan, ia terus berjalan mencari belas kasih orang yang masih peduli terhadap dirinya. Orang memanggilnya Surti, perempuan desa berusia 25 tahun, mempunyai rambut yang lebat yang terlihat cocok dengan wajah cantiknya. Namun sayang, kejadian yang menimpanya membuat malu warga desanya, sehingga kehidupan Surti sudah tidak ada artinya lagi untuk warga setempat, yang ada hanyalah kebencian yang tertanam yang ditularkan ke warga lainnya.
“Lihatlah, perempuan busuk itu. Pergi kau dari sini!“
“Biarkan saja perempuan itu. Biarkan dia mati kelaparan. Hari juga sudah mulai gelap, ia akan kesulitan mencari tempat untuk berlindung dari dinginnya malam desa ini.”
Surti berjalan melewati rumah-rumah di desanya dengan harapan ada yang mau memberikan tempat untuk berlindung demi bisa bertahan hidup dalam dinginnya malam dan rasa lapar dalam perutnya. Namun yang didapat hanyalah tatapan tajam sinis yang seolah-olah tidak mengharapkan ia kembali ke desa kelahirannya ini.
Semuanya berawal ketika Surti yang tidak tahan dengan kehidupan di desa dan berniat pergi untuk mencari pekerjaan di kota, karena sang suami telah tiada akibat kecelakaan saat bekerja. Kehidupan pun berubah drastis, Surti bertanggung jawab penuh atas kehidupan keluarganya untuk menggantikan peran suaminya dengan bekerja.
Dengan meninggalkan bibi dan adiknya yang masih menempuh pendidikan di SMA, Surti berniat berangkat ke kota. Kedua orang tua Surti telah tiada, Surti hanya tinggal dengan bibi dan adiknya. Ia berniat pergi ke kota untuk mencari pekerjaan dengan tujuan mendapatkan uang yang bisa ia gunakan untuk keluarga kecilnya di desa. Ia pun berjalan meninggalkan desa setelah pamit dengan bibi dan adiknya menuju kota.
Surti harus berjalan dari rumahnya ke jalan utama sekitar satu jam. Sesampainya di jalan utama, ia harus bersabar menunggu kendaraan umum antardesa yang terkadang lewat dan terkadang juga tidak ada sama sekali yang lewat untuk bisa ditumpangi menuju kota. Setelah hampir satu jam menunggu, tak ada satu pun kendaraan umum yang lewat.
Hingga akhirnya ada sebuah mobil pribadi yang berisi sepasang suami istri yang mobilnya berhenti di hadapan dirinya. Suami istri tersebut menawarkan Surti tumpangan untuk ikut naik ke dalam mobilnya,
“Mau kemana mbak?”
“Mau ke kota bu,”
“Mari mbak ikut saya saja, kebetulan saya mau ke kota.”
Dengan senang hati ia menerima tumpangan suami istri tersebut dan ikut bersama mereka. Dalam perjalanan mereka berbincang-bincang menanyakan perihal kepergiannya dari desa ke kota.
“Anu bu, suami saya sudah meninggal. Saya mau menggantikan peran suami saya untuk bekerja. Pekerjaan di desa penghasilannya sedikit, jadi saya pergi ke kota untuk penghasilan yang lebih baik,”
“Oalah.. hebat sekali loh mba ini,”
“Iya bu, terima kasih.”
Jarak dari jalan utama tempat menunggu mobil ke pusat kota jika ditempuh dengan mobil sekitar empat jam perjalanan. Beruntung sekali ada suami istri yang baik, yang mau menampungnya untuk pergi ke kota. Jika tidak, mungkin akan lebih lama jika menggunakan mobil umum.
Dalam perjalanan, mereka berhenti sejenak untuk beristirahat akibat perjalanan yang cukup jauh ke kota, mereka membeli makan dan minum di warung pinggir jalan yang pemandangannya langsung mengarah ke sawah yang mulai tergusur oleh bangunan-bangunan perumahan. Dengan rasa letih akibat perjalanan yang melelahkan, sang suami pun tak lama kemudian tidur di teras warung tersebut dengan dengkuran yang keras akibat lelahnya perjalanan, ia juga kelelahan karena harus bekerja pada malam harinya, sehingga harus beristirahat dengan cukup agar staminanya kuat ketika bekerja pada malam hari.
Sang istri pun tiba-tiba memanggil Surti untuk menemaninya dan mengajak ngobrol sambil memakan makanan ringan yang ia beli di warung tersebut.
“Emangnya mau kerja di mana mbak? Nanti tinggal sama siapa?”
“Belum tahu bu,”
“Loh kok belum tahu?”
“Saya di kota gak punya kenalan toh bu, jadi bingung mau kerja di mana,”
“Hidup di kota itu bahaya mbak kalo gak ada kenalan, orang-orangnya juga banyak yang hidup individual mbak,”
“Iya toh bu,”
“Tapi sebentar deh.”
Ia pun beranjak dari tempat duduk seolah-olah mengingat akan sesuatu dan menelpon kakaknya yang berada di kota dan menanyakan tentang lowongan pekerjaan yang dibuka kakaknya apakah masih ada atau tidak.
“Hallo mas,”
“Iya de, ada apa?”
“Lowongan kerjaan di toko masih buka gak mas? Ini loh, aku bawa perempuan, umurnya masih muda, sekitar 25 tahunan, lagi nyari pekerjaan, kasian mas,”
“Masih ada de, bawa saja dia ke toko. Kebetulan mas lagi di toko,”
“Oawalah oke mas. Makasih.”
Ia pun segera menghampiri Surti seolah-olah mendapatkan kabar baik dan menawarkan pekerjaan itu kepada Surti.
“Gini loh mbak, di kota, kakakku punya toko baru belum ada pegawainya. Kebetulan mbak lagi nyari pekerjaan kan? Saya mau menawarkannya,”
“Iya toh bu?”
“Iya mba, gajinya juga lumayan, 2 juta sebulan. Mau ngga mba?”
“Saya sih mau bu. Tapi saya bingung nanti tidur di mana,”
“Tenang aja, nanti saya belikan bantal dan kasur untuk mbak. Untuk sementara tidur di toko dulu aja, gimana?”
“Di toko juga sudah ada toiletnya, warung makan juga gak jauh kok,”
“Waah.. ya sudah bu saya terima pekerjaannya.”
Ia pun mengucapkan banyak terima kasih karena telah bertemu keluarga yang baik, yang mau membantunya untuk mencari pekerjaan dan menghidupi keluarganya di desa.
Perjalanan pun dilanjutkan setelah sang suami bangun dari tidurnya. Sang istri pun bercerita tentang apa yang terjadi saat ia tidur. Sang suami pun langsung melaju melanjutkan perjalanan ke kota, menuju toko untuk menemui kakak sang istri.
Setelah perjalanan yang cukup jauh, akhirnya sampai juga di wilayah perkotaan. Surti pun terkagum-kagum melihat pemandangan yang sangat berbeda dengan di desa, seperti gedung-gedung yang menjulang tinggi, jalanan yang macet oleh kendaraan, dan teriknya cuaca di kota akibat kurangnya pepohonan.
Tak lama kemudian sampailah di toko sang kakak yang letaknya berada tak jauh dengan pintu masuk tol. Surti pun bertemu lalu berbincang-bincang dengan kakak dari perempuan yang memberinya tumpangan ke tempat ini. Surti pun sepakat untuk bekerja dan tinggal sementara di sini.
“Kerjaannya mudah kok mbak, cuma ngejagain toko ini. Kalau ada yang beli yaa dilayani, ini list daftar harga-harganya silahkan mbak hafalkan,”
“Toko ini nanti lusa kalau bisa mulai buka ya, jangan lupa dibersihkan terlebih dahulu,”
“Baik mas, terima kasih banyak sebelumnya.”
Ia pun mengucapkan banyak terima kasih pada pemilik toko karena sudah memberinya tempat tinggal dan pekerjaan sebagai penjaga toko dengan gaji yang lumayan.
Toko pun mulai buka, menjual bermacam-macam barang-barang rumah tangga, perabotan dapur, beras, minyak, rokok, aneka minuman, dan makanan ringan layaknya sebuah minimarket. Para pelanggan pun mulai berdatangan, mulai dari warga sekitar yang ingin berbelanja hingga mobil-mobil yang pengemudinya beristirahat dahulu untuk ngopi dan merokok sebelum memasuki tol.
Hari-hari terus berganti. Setiap bulan ia mengirimkan hasil kerjanya untuk bibi dan adiknya di desa. Uang di transfer ke nomor rekening bibinya untuk keperluan kehidupan keluarganya di desa.
Surti pun merasa pekerjaannya mulai membosankan dengan gaji yang sebagian besar ia kirim untuk keluarganya dan ia hanya mendapatkan sebagian kecilnya saja untuk hidup di kota yang serba mahal ini. Surti pun mulai berpikir untuk mencari pekerjaan lain, tapi ia kebingungan karena tidak memiliki kenalan di kota ini.
Suatu hari ada pembeli yang datang ke toko dengan menggunakan baju yang terlihat mahal, menggunakan mobil pejabat berplat warna merah yang mampir membeli rokok dan minuman ke toko, saat akan membayarnya ia melihat Surti dengan tatapan yang berbeda. Seolah-olah ada yang aneh pada diri Surti.
“Berapa mbak?”
“Totalnya 30 ribu pak,”
“Ini mbak uangnya 100 ribu,”
“Kalau mbanyak berapa ya?”
“Maksudnya apa ya pak? Sayagakngerti.”
Orang tersebut ternyata tertarik terhadap kecantikan Surti, ia berharap bisa mendapatkan Surti dengan menawarkan uang yang ia punya.
“Gakusah pura-pura mbak,”
“Mbak butuh berapa?”
“300 ribu? 400 ribu? atau berapa ribu dalam semalam?”
“Mau?”
Surti pun paham apa yang dimaksud pria tersebut, tanpa pikir panjang karena kebutuhan yang diperlukannya untuk hidup di kota yang serba mahal dan ia tidak mempunyai kerabat lain untuk mencari pekerjaan lain di kota ini, ia pun menjawab apa yang dimaksud oleh pria tersebut lalu bernegosiasi tentang harga dengannya.
Setelah mencapai kesepakatan mengenai harga dan tempat, yang ternyata tempat yang dipilih adalah toko ini, karena sudah terdapat kasur dan toilet, serta jauh dari keramaian pusat kota. Pria itu pun berjanji malam ini akan datang ke sini lagi untuk menemuinya.
Toko pun tutup lebih awal pada pukul sembilan malam, untuk mempersiapkan tempat yang akan digunakan sebagai tempat bermain dengan pejabat ‘nakal’ itu. Toko yang sudah dipercayakan untuk dijaga oleh pemilik toko, akan dijadikan tempat yang tidak semestinya. Kasur yang diberikan oleh perempuan yang membantu memberinya pekerjaan digunakan untuk melayani predator berdasi yang sedang kelaparan yang baru ia temui tadi siang.
Pejabat itu pun datang malam itu, menggunakan sepeda motor klasik dengan tujuan agar tidak ada yang mengetahui bahwa ia adalah seorang pejabat. Ia pun masuk ke dalam toko dan disambut Surti yang sudah menggunakan rok pendek dengan dada yang terbuka, ia berpenampilan tidak seperti biasanya di depan orang yang baru ia kenal. Malam itu Surti berdandan sangat cantik demi memuaskan nafsu pelanggannya, ia rela merelakan harga dirinya agar mendapatkan pundi-pundi uang.
Ronde pertama pun dimulai, di atas kasur yang sudah diganti spreinya dan ruangan yang sudah harum diberi pewangi agar meminimalisasi bau keringat yang bercucuran pada malam kelam itu. Sambil meminum alkohol yang pejabat itu berikan, Surti pun melayani pejabat itu secara perlahan serta menyetel suara musik yang keras untuk meredam jeritan.
Malam itu pun berakhir dengan hebat. Pejabat itu pun pamit sebelum matahari terbit dengan memberikan uang yang sudah disepakati sebelumnya. Ia pun berjanji akan datang lagi di lain waktu.
Seperti hari-hari biasanya, toko pun setiap pagi buka kembali untuk menjual berbagai macam barang. Pemilik toko pun selalu mengecek setiap seminggu sekali keadaan toko tersebut. Ia sangat puas terhadap kerja Surti yang bersih, rapi, dan maksimal dalam bekerja. Barang-barang yang terjual pun uangnya sesuai dengan barang yang terjual.
Entah mendapatkan kabar dari mana, toko pun setiap harinya bertambah ramai oleh pelanggan-pelanggan yang ‘nakal’. Banyak pelanggan toko yang kembali menanyakan hal yang sama seperti yang dilakukan pejabat waktu itu. Rasanya pejabat itu mempunyai banyak kenalan yang mempunyai kebutuhan yang sama dengan dirinya dan merekomendasikan mengenai tempat ini.
Malam-malam itu pun terulang kembali, bahkan dalam seminggu terkadang Surti bisa melayani beberapa orang yang datang ke toko. Dengan melihat terlebih dahulu latar belakang pelanggannya untuk dapat menentukan harga yang dipasangnya saat itu.
“Malam ini kosong?”
“Maaf mas, sudah ada janji dengan orang lain, lusa saja gimana?”
“Oalah, oke deh.”
Toko itu pun menjadi terkenal, pada pagi dan siang hari seperti toko biasa pada umumnya, namun saat malam hari toko itu adalah tempat untuk orang-orang yang mencari kepuasan dengan meninggalkan istri dan anaknya demi orang lain.
Surti sadar bahwa dirinya sekarang adalah seorang pelacur, bibi dan adiknya di desa tidak mengetahui kehidupan Surti yang sesungguhnya di kota seperti apa. Mereka hanya mengetahui bahwa ia bekerja di sebuah toko dan selalu mengirimkan hasil pekerjaannya ke bibinya dengan tepat waktu tiap bulannya. Surti sampai berani terjun ke kehidupan yang kelam seperti ini, demi kebutuhan keluarga dan dirinya agar dapat terpenuhi.
Pada suatu hari Surti mendapatkan sebuah pelanggan yang berjanji akan membayarnya dengan uang yang lebih besar dari biasanya, ia pun mengiyakan ajakan tersebut untuk malam ini. Malam harinya ia berdandan terlebih dahulu seperti biasa, agar pelanggan puas dengan apa yang akan didapatkannya. Ternyata yang datang adalah mobil polisi dengan suara sirinenya yang nyaring, membuat Surti ketakutan. Mereka sudah mengintai toko tersebut sejak beberapa hari sebelumnya.
“Jangan bergerak, diam di tempat.”
Ternyata pelanggan yang datang saat siang hari adalah polisi yang menyamar, mereka mendapatkan informasi tempat ini dari masyarakat, bahwa toko pinggir jalan ini menjadi tempat bermain pada malam hari. Surti pun malam itu ikut dibawa ke kantor polisi untuk dimintai keterangan.
Esok harinya sang pemilik toko datang ke kantor polisi setelah dihubungi oleh polisi atas kejadian semalam, ia mengaku sangat terkejut dengan apa yang terjadi dan tidak mempercayai apa yang telah dilakukan Surti. Pemilik toko lalu menceritakan semuanya kepada adiknya yang saat itu membawa Surti ke tokonya. Adiknya pun sangat terkejut, ia tidak percaya bahwa Surti yang dilihatnya adalah perempuan yang baik ternyata malah sebaliknya.
Surti pun sambil menangis menyesali perbuatannya dan meminta maaf kepada pemilik toko serta perempuan yang telah memberinya pekerjaan dan memberi tempat tinggal.
“Maafkan saya pak, maafkan perbuatan saya,”
“Saya sudah mengecewakan bapak, yang mau menerima saya dan memberikan pekerjaan di toko,”
“Sudah tidak apa-apa mbak, semoga kamu bisa mengambil pelajarannya dari kejadian ini.”
Toko pinggir jalan itu akhirnya ditutup, pemilik toko pun bergegas membersihkan barang-barang tokonya untuk dipindahkan ke tempat lain, serta berniat menjual toko tersebut. Toko tersebut ternyata bisa laris karena terdapat seorang pelacur yang cantik di dalamnya.
Polisi pun memberitahukan kejadian yang menimpa Surti kepada bibinya di desa melalui telepon, bibinya pun sangat terkejut dan syok mendengar berita tersebut. Ia merasa tidak percaya apa yang dikatakan polisi dan berniat datang langsung ke kantor polisi untuk memastikannya.
Esoknya, bibi serta adiknya datang untuk menjenguk Surti yang masih terdapat di kantor polisi, mereka pun menangis histeris karena memang benar itu adalah Surti. Surti pun menyesali perbuatannya dan meminta maaf karena tidak memberitahukan kepada mereka tentang kehidupan sesungguhnya yang ia jalani di kota. Itu semua demi membahagiakan mereka agar kehidupannya bisa terpenuhi di desa.
Yang lebih mengejutkan lagi, setelah polisi melakukan pemeriksaan, mereka memberitahukan bahwa Surti menderita gejala HIV akibat berhubungan badan dengan orang-orang yang menggunakan jasa dirinya. Hal ini membuat bibinya kembali menangis dan merasa kecewa dengan apa yang terjadi terhadap Surti.
Surti pun ditahan sementara untuk dimintai keterangan oleh polisi dan menjalani beberapa sidang tentang kasusnya. Surti pun dibebaskan dalam beberapa hari setelah keterangan sudah didapatkan semuanya. Karena di dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) tidak ada pasal yang dapat menjerat seorang Pekerja Seks Komersial (PSK). Ketentuan KUHP hanya dapat digunakan untuk menjerat penyedia PSK atau biasa disebut muncikari.
Surti pun setelah dibebaskan langsung pergi kembali ke desanya, ia pun datang tanpa membawa apa-apa selain perasaan malu dengan apa yang terjadi pada dirinya. Warga desa pun telah mengetahui kasus yang terjadi terhadap Surti, akibat mendengar berita dari beberapa warga yang tahu akan kejadian yang menimpa Surti.
Warga pun sepakat bahwa Surti sudah tidak layak lagi tinggal di desa, akibat berita yang tersebar tentang dirinya yang membuat warga desa setempat malu dan penyakit yang dideritanya menjadi ketakutan warga desa tersebut. Hal ini karena warga desa tidak mengetahui bahwa penyakit ini tidak akan menular jika hanya dengan bersentuhan dan bertatap secara langsung. Minimnya informasi tentang penyakit HIV di desa tersebut membuat Surti semakin dibenci, mereka tidak mengetahui bahwa penyakit HIV hanya bisa ditularkan melalui perilaku seksual dan penggunaan jarum suntik.
Surti pun diusir keluar dari desa, bibi dan adiknya pun tidak bisa berbuat apa-apa karena mereka pun diancam akan diusir oleh warga jika membantunya. Surti pun akhirnya kembali berjalan meninggalkan desa, dengan masih berharap ada warga desa yang membantunya. Dengan perut yang lapar dan hari sudah mulai gelap ia tetap berjalan pergi meninggalkan desa. Surti pun harus kembali berjalan ke jalan utama yang sebelumnya ia lalui, sekitar satu jam Surti berjalan menuju jalan utama dan harus menunggu mobil yang mau memberikannya tumpangan, karena saat malam hari sudah tidak ada kendaraan umum yang akan lewat. Surti pun berjalan dan terus berjalan, ia tidak mempunyai tujuan mau kemana dan pada siapa ia akan tinggal. Dengan posisi perut kelaparan dan dinginnya cuaca malam, ia berpikir akan mati saja malam ini.
Namun, dari kejauhan ada sebuah mobil yang berjalan melintasi jalan tersebut dengan pelan, ia pun segera melambaikan tangannya untuk memberikan tanda bahwa ia butuh tumpangan. Mobil pun datang menghampiri dan berhenti di depannya, kaca mobil pun dibuka oleh pengendara mobil tersebut. Surti pun kaget, karena pengemudinya adalah pria yang waktu itu bersama istrinya menawarkan tumpangan kepada dirinya. Tetapi hari ini pria tersebut mengemudi sendiri, tidak bersama istrinya. Pada awalnya Surti enggan menaiki mobil itu, karena merasa tidak enak karena ia telah mengecewakan orang baik sepertinya. Yang membuat Surti terkejut adalah kata-kata yang pria itu ucapkan kepadanya.
“Berapa mbak?”
Surti pun terdiam sejenak memikirkan pertanyaan yang terlontar dari pria tersebut, seolah-olah tidak percaya orang baik yang ia temui ternyata memiliki kebutuhan lain yang tidak diketahui istrinya. Ternyata mobil tersebut sengaja melaju dengan pelan karena mencari perempuan yang sedang menunggu di pinggir jalan. Dengan kondisi perut yang lapar dan cuaca malam yang dingin Surti pun menjawab pertanyaan pria itu
“300 ribu sudah termasuk tempat tidur dan makan malam,”
“Baiklah, ayo cepat naik.”
Surti pun melakukan kembali hal yang sama seperti yang ia lakukan sebelumnya, ini terjadi karena kebutuhan untuk hidup yang sulit. Menjadi seorang pelacur merupakan pekerjaan yang sangat luar biasa. Jika kita melihatnya dari sudut pandang yang berbeda, orang-orang selalu memandang rendah pekerjaan ini, mereka hanya merasa dirinya lah yang paling benar. Namun, akan berbeda hal jika seseorang menjadi pelacur karena alasan kebutuhan ekonomi yang terus meningkat dan sulitnya mencari pekerjaan yang upahnya layak, lalu apa salahnya jika seseorang menjadi palacur, yang tujuannya sama dengan pekerjaan lain yaitu untuk memenuhi kebutuhan keluarga dan dirinya sendiri agar lebih baik. Jangan hanya bisa memberikan komentar yang negatif serta merendahkan pekerjaan orang lain tanpa memberikan solusi yang matang, jauh di belakang hal tersebut, mereka juga memiliki banyak kebutuhan yang harus mereka penuhi.
Memang benar sekali jika ada yang mengatakan menjadi pelacur bukanlah pekerjaan yang baik, pekerjaan ini memang perlu menjadi perhatian semua pihak dan perlu diberikan edukasi yang lebih agar para pelacur itu sadar mendapatkan uang dengan cepat dengan cara yang salah seperti itu mempunyai risiko yang besar di belakangnya. Jangan jauhi orang-orangnya, tetapi bantulah mereka untuk mencari solusi apa yang dibutuhkannya.
Penyunting : Tim Editor