Untukmu yang Hidup di Zaman Abu-abu
Karya Rima Nur Rohmah
Tak ingin jadi si pengkhianat tapi membusuk dalam buah, tak ingin jadi si penipu tapi bibir tak bosan menghianati mata, tak ingin jadi si pecundang tapi punggung kau sandarkan pada pohon yang tak pernah kau siram. Ya, hidup di zaman abu-abu ini memang membenarkan yang tidak tentu benar, tidak ada lagi kebaikan yang benar yang ada hanya setiap kebiasaan adalah benar. Hati sudah lelah untuk merintih tak sedikitpun hati dianggap ada, hanya logika yang dominan.
Katakan, ungkapkan, yang benar yang baik. Masih bisakah membedakannya? Yang ada hanya kesemuan dan abu-abu. Kapan ruh ini akan bangun, bahkan lupa kapan mulanya tertidur. Siapa yang akan membangunkannya? Teman? Teman yang mana? Yang seperti apa? Apa temanmu itu baik? Bukankah berwarna abu-abu juga?
Lingkungan baru, bukanlah hal sepele untuk mempelajarinya. Anggapan bahwa semua orang baik bisa saja sirna, dengan alasan apapun. Ya, terutama pengkhianatan, hal itu bisa merubah lautan menjadi abu-abu juga. Badai bisa menjadi pelajaran tersendiri sebagai pegalaman hidup. Hanya saja, berkeyakinan bahwa pelangi akan datang setelah badai menghampirinya.
Langit yang cerah tidak lagi memberi arti apa-apa ketika semuanya masih terlihat abu-abu, mungkin mentari bisa menjadi penyembuhnya tapi ternyata tidak, atau mungkin air hujan bisa menghapus luka, tapi yang terjadi hanya bisa menyelimuti air mata, hanya saja air yang mengalir ini memberi arti bahwa hidup harus terus dijalani.
Hidup terus dijalani bahagia dan merasa nyaman dengan orang-orang yang masih abu-abu. Tak terbayang sebelumnya untuk mendapat mahkota emas itu harus menghadapi masalah yang menghancurkan keyakinan dan menggoyahkan komitmen. Terkhusus bagi yang membaca agar selalu ingat bahwa
“Biarlah terasingkan dalam keadaan dirimu sebagai bintang, meskipun mereka tersenyum dalam keadaan bibir membusuk”.