Wajah Reformasi: Demokrasi dan Represif di Sisi Berbeda

WhatsApp Image 2021 05 21 At 12.37.27

Oleh: Ayu Sabrina

Indonesia, hari ini mengandung potensi gejolak sosial yang sama dengan banyak negara lain. Pemburuan ekonomi, beban utang, sistem politik yang tertutup, korupsi, kerusakan lingkungan, dan hasil pemilu yang tidak legitimate. Semua potensi social unrest tersedia hari ini. Tetapi, pemerintah terkesan hanya mampu menjawabnya dengan ancaman: gebuk, usir, bubarkan.

Narasi represif justru menjadi umpan pengerasan politik identitas. Terlihat bahwa pemerintah tidak siap menyaksikan ketidakpastian politik dan bahwa masyarakat sedang tumbuh dalam sisi buruk dari politik agony: persaingan “kita” lawan “mereka” tidak ditampung dalam kultur demokrasi. Energi kompetisi meluap dalam bentuk dendam komunal.

Politik mengalami pendangkalan makna, karena sekadar diselenggarakan dalam konteks persaingan kuantitatif: yang besar harus berkuasa, kendati tanpa argumen. Mutu politik tidak dihasilkan dalam keheningan pikiran, tetapi oleh teriakan di atas panggung. Penyelesaian ketegangan sosial, hal yang sesungguhnya dapat diatasi melalui ruang publik yang diskursif, justru diseret ke wilayah hukum dengan alasan “Negara Hukum”. Negara hukum justru hendak meminimalkan penggunaan hukum, karena percaya bahwa konflik bisa diatasi dengan kejujuran argumentasi.

Era reformasi dimulai sejak gelomang protes sosial, pada Mei 1998 berhasil menduduki gedung DPR dan menjatuhkan sang pemimpin fenomenal, Soeharto. Bagaimana tidak, ia patut disebut fenomenal. Karena atas kepemimpinan Soeharto selama 32 tahun, bangsa Indonesia berhasil mengukir sejarah, tentang fenomena negeri dengan demokratisasi yang tidak berjalan baik. Ketidakadilan, ketimpangan sosial, pemberantasan hak suara bahkan hak hidup bertalu-talu di masa ini. Dengan semangat persatuan, mahasiswa dan rakyat melangsungkan gerakan yang juga fenomenal, kita mengenalnya sebagai gerakan reformasi.

Tentu, dengan lahirnya reformasi, bangsa Indonesia menjadi penuh harap. Berharap demokratisasi berjalan lebih mulus, ketimbang sewaktu orde baru. berharap, pemenuhan hak hidup, hak bersuara, dan hak-hak lainnya dipenuhi secara optimal oleh negara. Namun memang, dalam perjalanannya selama 23 tahun, bukanlah sesuai harapan. Pasang surut demokrasi pun terjadi, kemuakkan rakyat atau pun kemuakkan pemerintah terhadap rakyatnya juga tercermin akhir-akhir ini.

Pemburukan demokrasi hari ini terjadi bukan karena tidak ada garis besar haluan negara, melainkan karena negara yang tak mampu membaca garis sejarah negeri, dan arah haluan dunia hari ini. Karena itu, kita dibuat hiruk-pikuk dengan persoalan ideologi negara, seolah-olah sumber masalah keterpurukan bangsa ada di situ. Seolah-olah keadilan sosial dapat diwujudkan melalui seminar tentang “Pancasila Sudah Final,” bila sudah final untuk apa diseminarkan? Seolah-olah lagi, keamanan warga terjamin dengan memasang CCTV di seluruh sudut kota. Masih seolah-olah, kita diminta berpikir bahwa memburuknya kualitas hidup rakyat selalu disebabkan oleh faktor global dan bukannya faktor dalam negeri sendiri.

Inkonsistensi Kebebasan

“Masyarakat harus lebih aktif menyampaikan kritik, masukan, ataupun potensi maladministrasi (maladministratif) dan para penyelenggara pelayanan publik juga harus terus meningkatkan upaya-upaya perbaikan-perbaikan,” kata Jokowi saat beri sambutan di Laporan Akhir Tahun Ombudsman RI, Senin, 8 Februari 2021 lalu. Memang, konstitusi menjamin kebebasan berpendapat. Namun, pengkritik bisa dipidana karena dianggap melakukan ujaran kebencian bahkan penghinaan.

Dari ucapan presiden Jokowi tersebut, terlihat bahwa ia sedang berusaha untuk memberikan sinyal bahwa pemerintah tidak anti kritik, tetapi di saat yang sama, dirinya memberikan titah orang untuk perkarakan si pengkritik. Presiden Jokowi seolah tutup mata terhadap berbagai kasus pembungkaman kebebasan berpendapat yang selama ini terjadi. Seolah-olah bilang bahwa kita boleh untuk berbicara, itu dijamin oleh kebebasan. Tetapi setelah kita berbicara, pemerintah tidak jamin kebebasan kita. Setelah berbicara atas nama kebebasan tersebut, ditunggu oleh UU ITE, dan bahkan kemudian ditunggu oleh Bareskrim.

Bukan hanya itu, yang paling mengerikan adalah ketika kita telah menggemakan kebebasan berbicara, yang justru kita juga terancam hak hidup. Pada saat aksi demonstrasi contohnya, para demonstran bersitegang dengan aparat, hal itu seolah tak pernah terlewat. Penguasa seperti terus membenturkan aparat dengan para pembela rakyat. Setelah bersitegang, pemerintah justru muncul bak penengah dan pencinta damai di antara konflik yang ada.

Proteslah, Biar Kalian Kami Gebuk

Melihat dari aksi demonstrasi “Reformasi Dikorupsi” pada tahun 2019 lalu, setiap daerah menggalakkan gerakan itu dan puncaknya mereka gelar juga di depan Gedung DPR-RI, Senayan Jakarta. Bisa dikatakan gerakan protes sosial hari itu merupakan catatan sejarah baru, di mana kebijakan pemerintah lagi-lagi tidak memihak rakyat.

Jelas, kebijakan publik harus bisa menyelesaikan masalah hari ini, memprediksi ancaman masa depan, dan sesuai dengan sumber daya yang tersedia. Karena, tujuan dari kebijakan publik juga harus mampu menciptakan suasana yang mendukung produktivitas masyarakat dalam mencapai kesejahteraan. Kebijakan publik itu menyentuh banyak bidang. Karena itulah, kebijakan publik tidak akan pernah lepas dari kritik dan bisa memuaskan seluruh pihak.

Bukan hanya di gerakan reformasi dikorupsi, gerakan-gerakan setelah hari itu pun juga tetap dilakukan para aktivis gerakan. Sudah barang tentu, aparat pasang badan untuk menjaga “Stabilitas Negara.” Tetapi, rakyat seolah diperlihatkan betapa garangnya aparat kepada para penggerak. Bukan hanya pada aktivis gerakan, tetapi juga pada kebebasan pers.

Naas, Indonesia adalah negara demokrasi dan kita setiap tahun, setiap saat, selalu diperlihatkan dengan kekerasan aparat (sebagai representasi pemerintah) terhadap rakyat sendiri. Polisi berada di daftar teratas pelaku kekerasan terhadap jurnalis dan demonstran, dan kasus kekerasan polisi terhadap jurnalis tak pernah diusut tuntas. Seakan ia selalu teriak, “Maju sini meliput, biar kalian kami gebuk!”

Kemerosotan kebebasan pers merupakan sinyal, sekaligus bisa berdampak runtuhnya institusi dan prinsip demokrasi lainnya. Dengan menyerang pers, pemerintah bisa dianggap menyerang hak publik untuk mendapatkan dan menyebarluaskan informasi melalui pers yang independen.

Kita seolah diambang pertanyaan, bahwaapakah kita memang benar merdeka? Berdemokrasi dengan perlindungan yang optimal? Sedangkan di sisi lain, kita melihat bahwa negara menghadirkan sikap represifitas terhadap rakyat. SehinggaIndonesia, memang penulis simpulkan, bak koin logam yang memiliki sisi berbeda. Di satu sisi ia meneriakkan demokrasi, tetapi di sisi lain ia bertindak represif.

Penyunting: Andini Primadani

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *