Ditulis oleh : Ayu Sabrina Barokah
Mahasiswa Ilmu Politik 2018
Staff Divisi Reporter LPM Gemercik
DPR, tempat berkumpulnya orang-orang pintar, bijak, dan konon katanya siap menampung kepentingan rakyat. Entah rakyat mana yang dimaksud, karena nyatanya hari ini banyak penolakan dari sebagian rakyat untuk anggota dewan kita yang absurd. Revisi UU KPK, Revisi UU KUHP, serta Revisi UU PAS sebenarnya dibuat oleh otak dan kepentingan siapa? Dan untuk siapa sebenarnya UU tersebut “diperbaiki”? DPR seolah bak dewa, yang bisa menentukan apa yang kita perlukan, tanpa melakukan proses pencarian data dan fakta.
Tentang Revisi UU KPK yang hari ini tengah gencar menjadi polemik serta diperdebatkan oleh berbagai pihak bahkan tidak menemukan titik terang, Jokowi sebelumnya pernah bilang akan memperkuat KPK untuk kepentingan rakyat, tapi di revisi UU KPK beliau setuju kalau penyadapan KPK harus diawasi dewan pengawas, dewan pengawasnya pun dibentuk presiden, di mana letak memperkuatnya? Selain itu, KPK sudah tidak bisa memilih penyidik yang dipilih secara independent oleh KPK, melainkan harus berasal dari kepolisian. Di sisi lain, Firli Bahuri telah ditetapkan sebagai pimpinan KPK yang baru oleh DPR. Perlu diketahui, beliau ini berasal dari “pabrikan cokelat” apa itu pabrikan cokelat? Itu adalah kepolisian. Kabarnya beliau ini penuh kontroversi, pernah melakukan pelanggaran etik berat ketika menyandang status sebagai deputi penindakan di KPK, beliau juga pernah bertemu dengan salah satu pimpinan PDI-Perjuangan, Megawati. Dan kabar buruk lainnya, beliau tidak usah susah payah mundur dari jabatannya di kepolisian. Kita wajar jika menduga rezim sedang berusaha menerapkan multifungsi kepolisian, hal ini beralasan. Mengutip perkataan Adnan Topan Koordinator ICW, “Komisi III DPR hanya memilih pimpinan KPK yang sesuai dengan selera politiknya saja”.
Selain Revisi UU KPK yang ramai diperbincangkan dan ditolak, Revisi UU KUHP pun mengalami hal serupa, konon katanya terdapat sejumlah pasal yang bermasalah, yaitu pasal 167 tentang makar, pasal 440-449 tentang pengaturan tindak pidana penghinaan, pasal 218-220 tentang penghinaan presiden dan wakil presiden, pasal 240-241 soal penghinaan pemerintah yang sah, dan pasal 353-354 soal penghinaan kekuasaan umum atau lembaga negara. Pasal tersebut dinilai memuat rumusan karet yang berpotensi mengekang kebebasan berpendapat, termasuk kebebasan pers. Mungkin bisa saja, setelah opini ini ditulis dan RUU KUHP disahkan, kami (pers) akan dikebiri. Selain itu, RUU KUHP ini seakan-akan hanya mengatur moral masyarakat, bukan ketertiban masyarakat untuk kepentingan umum. Negara dianggap terlalu ikut campur sampai harus tahu dengan siapa kita harus tidur.
Selain itu, ada pula Revisi UU PAS. RUU PAS ini begitu absurd, bagaimana bisa seorang napi, koruptor, maling ketika sedang dihisab bisa mengambil cuti dan rekreasi? Sejumlah pasal yang terdapat dalam RUU PAS ini akan meringankan dan melonggarkan sanksi bagi narapidana dalam menjalankan masa tahanan. Anggota DPR pun menerangkan dengan santai bahwa narapidana bisa mempergunakan hak cuti bersyarat itu untuk pulang ke rumah atau bahkan jalan-jalan ke mal, dengan syarat harus diikuti oleh petugas kemana pun.
Mendengar beberapa Revisi Undang-Undang yang dinilai tidak rasional, ribuan mahasiswa di seluruh Indonesia memilih untuk melenggangkan kaki ke hadapan anggota dewan kita terhormat, mulai dari regional hingga ke Senayan. Apakah membuahkan hasil sesuai ekspektasi? Sampai saat ini masih tidak. Pemerintah beserta DPR hanya “menunda” pengesahan Revisi Undang-Undang tersebut, entah sampai kapan. Parahnya, Ketua DPR RI, Bambang Soesatyo bersikeras yakin RUU KUHP disahkan akhir periodesasinya tanpa mempertimbangkan pendapat publik atau bahkan mahasiswa, disusul wakil ketua DPR RI, Fahri Hamzah pun menyebut mahasiswa yang berdemo dianggap tidak penting dan sebaiknya tidak dilakukan.
Ada apa sebenarnya dengan anggota dewan kita terhormat? Apakah mereka sengaja melakukan hal tersebut sebagai hadiah kenang-kenangan periodesasi terakhir mereka? Menyuarakan siapa sebenarnya mereka? Kemana wakil-wakil setiap daerah? Kemana keterwakilan perempuan di parlemen? Apakah kalian hanya hadir 5 tahun sekali saat kampanye, menghabiskan uang untuk bisa duduk di kursi basah dengan hanya ongkang-ongkang kaki membuat peraturan hingga sah? Bahkan ketika mahasiswa berbondong-bondong datang dari seluruh penjuru Nusantara hanya ingin bertemu dengan mereka, mahasiswa malah diserang dan menjadi korban. Demokrasi nampaknya begitu mahal dan hanya mereka yang berkuasa yang akan menang.
Memang jelas, kita perlu mempertanyakan dan menyalahkan anggota DPR. Karena bagaimana pun beliau-beliau adalah wakil kita, penyambung hubungan antara kita dengan negara. Nama mereka saja “Dewan Perwakilan Rakyat” namun itu terserah pembaca ingin menafsirkan DPR sebagai apa, karena kita punya gagasan sendiri dan punya penilaian sendiri.
Revisi UU KPK, Revisi UU KUHP, dan Revisi UU PAS hanyalah sebagian contoh yang mengalami ketidakwarasan gagasan, selain ini masih banyak lagi. Ide pelantikan anggota dewan baru pun muncul sebagai alternatif dan salah satu harapan. Namun, rasanya terlalu jauh dan hampa mengharapkan anggota dewan baru kita untuk segera dilantik dan bekerja. Jangan-jangan kerjanya nanti hanya akan meneruskan keinginan-keinginan periodesasi sebelumnya yang belum tuntas dilaksanakan.
Mari kita panjatkan doa paling serius agar kewarasan anggota dewan bisa kembali di masa-masa terakhirnya. Cukup dulu, terlalu banyak kekecewaan yang kita rasakan, dan sulit nampaknya untuk dijelaskan secara rasional karena mereka juga tidak memberikan alasan rasional kenapa harus mengubah Undang-Undang yang sudah kita laksanakan sejak lama. Pesan ini ditulis dengan tinta dan hati yang sakit, menuntut kewarasan serta perbaikan untuk Indonesia yang berkemajuan dan UNGGUL.
Penyunting: Yanifa RS