Institusi Pendidikan, Ternyata Ladang Kekerasan Seksual

WhatsApp Image 2019 12 07 At 17.49.19

Oleh Ayu Sabrina Barokah

Mahasiswa Ilmu Politik 2018

Hendak pergi ke kampus untuk menuntut ilmu. Pamit kepada orang tua agar diberikan berkah dan dimudahkan dalam proses pendidikan. Eh, ternyata ketika di kampus mendapatkan perlakuan yang tidak senonoh yang bersifat traumatik dan berpengaruh terhadap psikis. Mungkin itulah gambaran yang dialami oleh beberapa kawan kita yang menerima kekerasan seksual. Tak ayal, perempuan yang seharusnya dihormati atas dasar kemanusiaan justru malah dianggap sebagai objek pelampiasan libido para lelaki.

Kekerasan seksual adalah setiap tindakan baik berupa ucapan ataupun tindakan yang dilakukan seseorang untuk menguasai atau memanipulasi seseorang serta membuatnya terlibat dalam aktivitas seksual secara tidak sadar, termasuk mengajaknya untuk mau berhubungan seksual dengan cara paksa. Selain itu, tindakan berupa siulan, main mata, komentar atau ucapan bernuansa seksual, colekan atau sentuhan di bagian tubuh, gerakan atau isyarat yang bersifat seksual, sehingga mengakibatkan ketidaknyamanan, tersinggung, merasa direndahkan martabatnya, dan mungkin hingga menyebabkan masalah kesehatan dan keselamatan jiwa.

Kekerasan seksual hingga saat ini masih menjadi ancaman nyata bagi para perempuan. Hal ini timbul dari status tersubordinasinya perempuan oleh laki-laki. Padahal peran perempuan tidak saja urusan rumah tangga. Tetapi melebar ke ranah domestik. Meskipun begitu, masih ada saja kecenderungan potensi laki-laki dibandingkan perempuan. Termasuk dalam pemenuhan kebutuhan biologis yaitu seks. Faktanya, sampai detik ini di Indonesia masih banyak pemerkosaan yang merupakan tindakan dari kekerasan seksual.

Pada dasarnya, setiap manusia berhak untuk melindungi dirinya sendiri dari tindakan-tindakan yang berpotensi menimbulkan ketidaknyamanan. Kekerasan seksual merupakan sebuah tindakan yang tidak menghargai hak-hak kemanusiaan orang lain (perempuan maupun laki-laki) yang berkaitan dengan seksualitas/tubuh. Bentuk dari kekerasan seksual bermacam-macam, mulai dalam bentuk verbal seperti cat–calling, sexisme, hingga sentuhan fisik.

Kasus kekerasan di kampus sepertinya sudah seringkali terdengar. Hal itu kerap menjadi buah bibir di kalangan mahasiswa. Namun sayang, kebanyakan kasus bahkan tidak terungkap, karena alasan atas nama baik penyintas dan juga nama baik kampus yang dipertaruhkan. Lagi pun, ketika penyintas mengaku, apa yang bisa dilakukan kampus? Menghukum sang pelaku? Kalau pelakunya orang penting di kampus bagaimana? Untuk kemungkinan 50% pun kita tak punya harapan.

Seperti kasus kekerasan yang menimpa salah seorang mahasiswi UGM. Kasus tersebut baru terkuak dan menjadi viral ketika tim Balairung Press melakukan investigasi. Dari hasil investigasi tersebut, diketahui bahwa kasus itu rupanya terjadi pada pertengahan Desember 2017 lalu, ketika penyintas sedang melakukan KKN ke Pulau Seram, Maluku, dan ternyata pelaku juga merupakan mahasiswa UGM. Jika demikian, bukankah kekerasan seksual ini bentuk kelalaian dari pihak kampus?

Mirisnya lagi, penyintas yang telah berupaya untuk mendapatkan keadilan justru disalahkan atas apa yang telah terjadi. Pihak kampus malah menganalogikan kasus tersebut seperti “Ibarat kucing kalau diberi gereh (ikan asin dalam Bahasa Jawa) pasti setidak-tidaknya akan dicium-cium atau dimakan”.

Selain kasus Agni, pada awal 2018 pun terjadi hal yang serupa di kampus FISIP USU. Kasus kekerasan seksual yang diduga dilakukan dosen yang mengampu mata kuliah di Departemen Sosiologi merebak. Saat Hindun (bukan nama sebenarnya) meminta perbaikan nilai kepada HS yang diyakini sebagai dosen yang baik dan kerap melibatkan mahasiswa dalam setiap penelitiannya. HS pun mengabulkan permintaan perbaikan nilainya dan kemudian HS mengajak Hindun untuk meninjau lokasi penelitian. Hingga sampai di jalanan yang sepi, HS mulai melancarkan aksinya. Tangan HS tiba-tiba menjalar ke bagian sensitif Hindun, lanjut ke bagian bokong Hindun.

Singkat cerita, kejadian itu dilaporkan oleh Hindun ke pihak kampus. Berbulan-bulan setelah dilaporkan ke departemennya, Hindun tak mendapat kabar baik soal solusi kasus. Hingga dia mendapat chat foto surat skorsingkepada HS. Namun anehnya, surat itu seperti asal dibuat. Tanpa kop surat dan stempel resmi kampus. Bahkan beberapa kali HS masih berada di kampus.

Tidak sampai disitu, jejak dosen predator bahkan sampai pada kampus Islam UIN Maulana Malik Ibrahim Malang (UIN Maliki Malang). Kampus nuansa Islami tersebut menorehkan cerita baru dalam sepanjang sejarah. Pasalnya menurut penuturan UAPM Inovasi Malang terdapat dua berita mengenai kasus kekerasan seksual yang dilakukan oleh salah satu dosen Fakultas Humaniora di kampus UIN Maliki Malang terhadap mahasiswinya, yaitu “Dosen Predator Masih Berkeliaran di UIN Malang” oleh tirto.id dan “Lagi, Jejak Dosen Predator di UIN Maliki Malang” oleh uapminovasi.com.

Kisah ini dimulai ketika Adawiyah (bukan nama sebenarnya) mengikuti kelas yang diajar Qarun (bukan nama sebenarnya) dan ditunjuk sebagai ketua kelas. Setelah pemilihan ketua kelas, semua ketua kelas dari empat kelas yang diajar Qarun diminta datang ke rumahnya. Namun Adawiyah datang terlambat, hal ini yang membuat Qarun mengajak Adawiyah untuk berbincang lebih lama sehingga membuatnya pulang terakhir.

Setelah hari itu, Qarun berani menyentuh Adawiyah, mengirimi pesan singkat bahkan menawari Adawiyah untuk datang ke rumah Qarun dengan alasan ingin membantu Adawiyah dalam mengerjakan tugas. Qarun juga berani mengajak Adawiyah untuk berangkat bersama. Bahkan pernah saat Adawiyah mengirim tugas via email kepada Qarun, namun dibalas dengan link video porno oleh Qarun dan mengajaknya untuk menonton bersama, bahkan terdapat sampai dua puluh tiga link video yang dikirim Qarun dalam waktu yang berbeda-beda.

Adawiyah juga mengaku pernah hampir dicium oleh Qarun di area kampus dan diancam tidak diluluskan dari mata kuliah yang diajar Qarun. Gerak-gerik Qarun semakin jelas saat Adawiyah ingin mengajukan judul skipsi, karena Qarun bersikukuh untuk menjadi dosen pembimbingnya, namun Adawiyah menolak hal tersebut.

Kejadian-kejadian tersebut adalah contoh dari sekian banyak kasus yang ada, dengan dominan penyintas selalu tidak mendapatkan keadilan, terlebih jika pelaku adalah seorang tenaga pendidik. Sungguh miris, berapa pun kementerian atau lembaga HAM dan keperempuanan ternyata masih tidak bisa menjamin keselamatan tubuh para perempuan. Kasus-kasus yang ada bukan hanya satu, dua, atau tiga, tapi bahkan ratusan.

Riset gabungan antara tirto.id, Vice Indonesia, dan BBCmengenai kekerasan seksual di perguruan tinggi menunjukkan adanya 174 kasus kekerasan seksual. Diduga angka ini tidak mempresentasikan jumlah yang sebenarnya dari kasus kekerasan seksual. Kenapa? Tentu saja karena adanya logika seperti dosen tersebut yang sama sekali tidak berpihak kepada korban. Sehingga korban tidak percaya diri untuk mengungkapkannya.

Data selanjutnya bahkan lebih mencengangkan lagi. Dari 174 kasus tersebut, 63 pelakunya adalah dosen. Hal ini seharusnya membuat kita lebih sangsi terhadap argumentasi dosen tersebut. Dosen yang seharusnya mengayomi mahasiswanya ternyata memiliki potensi menjadi pelaku terbesar kedua di bawah teman sejawat dengan angka 68. Selain itu, mayoritas kasus terjadi di area kampus. Padahal kampus seharusnya menjadi lingkungan yang aman untuk mahasiswa.

Entah kelalaian kampus atau kesalahan pelaku ataupun penyintas, sebaiknya kita sebagai perempuan wajib antisipasi bahkan mencurigai terhadap siapa pun yang berpotensi melakukan kekerasan seksual, termasuk potensi terkena serangan dosen predator yang bahkan bisa saja kita tidak sangka-sangka pelakunya. Dan mungkin, kasus kekerasan seksual ini tidak memandang kampus elitkah, negerikah, swastakah, atau bahkan kampus bernuansa Islami sekalipun. Bahkan kampus bernuansa militer pun bisa saja berpotensi terdapat jejak dosen predator. Silakan pastikan, apakah kampusmu aman dari potensi kekerasan seksualgirls? Jangan sampai orang terdekat atau dosen yang berkegiatan intens denganmu justru orang yang paling berpotensi. Jika iya, jangan malu dan takut untuk melapor, setidaknya ceritakan hal itu pada orang terdekat dan yang kamu percayai. Jangan sampai kamu tidak mendapatkan keadilan!

Penyunting: Yanifa RS

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *