Oleh: Lita Nuraeni
Dunia perpolitikan Indonesia kembali memanas, usai adanya pernyataan kudeta yang disampaikan Agus Harimurti Yudhoyono (AHY) selaku Ketua Umum Partai Demokrat terhadap pihak-pihak yang ingin menggeser kepemimpinannya. Pihak-pihak tersebut disampaikan AHY merupakan para anggota dan mantan anggota partai demokrat yang terhubung dengan orang luar.
Isu mengenai kudeta di dalam tubuh partai demokrat ini bermula dari diadakannya kongres luar biasa (KLB) yang dilaksanakan di Deli Serdang, Sumatra Utara. Di mana, hasil dari kongres luar biasa tersebut memilih Moeldoko yang merupakan Ketua Staf Kepresidenan sebagai Ketua Partai Demokrat. Moeldoko, secara terang-terangan diketahui memang ingin merebut kekuasaan partai demokrat yang selama ini erat kaitanya dengan keluarga SBY.
Para kader partai demokrat diketahui berkomplot dan bersekongkol dalam upaya kudeta kepemimpinan partai “berlambang mercy” tersebut dan ingin mengangkat Moeldoko menjadi ketua partai demokrat. Dengan dalih untuk menghapuskan dinasti politik pada partai demokrat, yangmemang tampak dengan jelas dikuasai keluarga Cikeas. Mengetahui hal tersebut, AHY selaku ketua umum partai demokrat menyebutkan bahwa KLB yang mengatas namakan partai demokrat tersebut ilegal dan inkonstitusonal serta tidak sesuai dengan AD/ART.
Berbicara mengenai dinasti politik pada partai demokrat ini, memang sudah menjadi rahasia umum. Pasalnya, AHY yang sebelumnya merupakan seorang TNI dan juga merupakan putra dari Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpilih menjadi ketua umum partai demokrat setelah 3tahun bergabung dengan partai. Padahal mengenai batas di mana seseorang dapat mencalonkan diri sebagai ketua umum sudah tertulis dalam anggran dasar dan rumah tangga (AD/ART), yaitu minimal 5 tahunsetelah menjadi anggota partai.
Lantas saja hal ini menyulut kemarahan dari para senior dan pendiri partai demokrat. Mereka pun beranggapan bahwa pengangkatan AHY sebagai ketua umum partai demokrat terkesan dipaksakan dan justru tidak sesuai dengan AD/ART partai. Terlebih lagi, terdapat kejanggalan-kejanggalan yang mewarnai proses terpilihnya AHY menjadi ketua umum partai demokrat ini. Di antaranya yaitu, AHY terpilih menjadi ketua umum berdasarkan hasil survei tertinggi, padahal untuk menjadi ketua umum bukan dilihat dari hasil survei, melainkan dari kemampuan yang dimilikinya. Dalam kasus ini memang terlihat bahwa kurang demokratisnya partai demokrat.
Jabatan wakil ketua partai demokrat juga lagi-lagi dipegang oleh keluarga SBY yaitu, Edhi Baskoro Yudhoyono yang merupakan adik kandung dari AHY. Sedangkan, saat ini SBY sendiri menjabat sebagai ketua majelis tinggi partai demokrat.
Padahal, jika dilihat masih banyak kader dari partai ini yang juga memiki kemampuan yang mumpuni untuk menjadi ketua dari partai demokrat. Hal inilah yang menimbulkan kekecewaan dari para kader senior partai demokrat, yang merasa tidak diberi kesempatan untuk bisa menduduki jabatan penting dalam partai tersebut. Nah, mungkin ini dapat menjadi alasan mengapa aksi kudeta ini dilakukan karena untuk menyelamatkan partai dari dinasti politik, meskipun cara ini terbilang salah.
Namun, jika terpilihnya Moeldoko menjadi ketua umum partai demokrat disahkan dan dinyatakan sesuai dengan AD/ART, hal ini tentunya akan mencederai partai itu sendiri. Dan membuat banyak pihak tertarik untuk melakukan kudeta seperti ini untuk merebut kekuasaan dari partai orang lain tanpa bersusah panyah membangunnya.
Tak hanya partai demokrat saja yang mengalami konfik internal semacam ini. Hal ini juga pernah dialami oleh partai-partai lain seperti, Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), Partai Kebangkitan Bangsa (PKB), GOLKAR, HANURA, serta Partai Persatuan Pembangunan (PPP).
Sebagai contoh kita lihat dalam kasus Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP), partai ini pernah mengalami konflik internal pada tahun 1996, yang menjadikan Megawati Soekarnoputri sebagai ketua umum PDIP menggantikan ketua umum sebelumnya yaitu Soerjani. Jika dilihat memang hampir sama dengan konflik internal pada partai demokrat, yang membedakan ialah hasil dari kongres luar biasa (KLB) dengan sah menetapkan Megawati sebagai Ketua Umum PDIP yang bertahan hingga saat ini.
Eksistensi Megawati sebagai ketua partai berlogo banteng ini juga banyak menuai kontroversi. Karena, diduga Megawati ingin membangun dinasti politik dalam tubuh partai PDIP. Hal ini terbukti dengan dijadikannya Puan Maharani sebagai ketua DPR RI periode 2019-2024.
Konflik internal dalam sebuah partai politik memang sangat mungkin terjadi. Sebuah partai tentunya tidak dapat berdiri sendiri begitu saja. Dalam pembentukanya pasti membutuhkan campur tangan orang banyak bukan hanya dari sanak saudara. Komitmen, kerjasama, solidaritas antar kader dalam partai politik sangat dibutuhkan untuk menghindari perpecahan partai yang dapat menciptakan dualisme kepemimpinan.
Dualisme kepemimpinan pada dasarnya lahir dari adanya pihak yang tidak puas atas kinerja pemimpin yang sekarang, sehingga menginginkan adanya pemimpin yang baru. Meskipun mereka sadar bahwa ada satu pemimpin yang bisa dikatakan tidak sah, namun setidaknya mereka berhasil menggertak dan menunjukan ketidakpuasannya pada kepemimpinan yang sekarang.
Mengenai aksi kudeta yang menyebabkan kekisruhan dalam tubuh partai demokrat ini tentunya menjadikan partai sibuk dengan masalah internalnya saja, yang tanpa disadari akan merusak citra baik dari partai tersebut. Untuk ke depannya diharapkan partai politik di Indonesia dapat mencegah adanya konflik internal yang dapat memecah belah partai. Karena, mungkin mencegah merupakan salah satu solusi terbaik.
Karena tidak sedikit partai politik yang juga merasakan panasnya konflik internal seperti ini. Sebab, konflik internal sebenarnya lebih membahayakan dibangdingkan dengan konflik eksternal. Jika konflik dalam tubuh partai demokrat ini terus memanas dan berujung pada pergantian ketua umum, akankah KLB Deli Serdang yang disebut-sebut “ilegal” ini dapat menghancurkan dinasti politik keluarga Cikeas?Kita dapat lihat pada babak selanjutnya.
Penyunting: Rini