Oleh: M. Yusya Rahmansyah

Bulan ini bulannya mahasiswa baru memunculkan wajah di aplikasi video konferensi semacam zoom atau google meet. Momen yang paling ditunggu mantan pelajar sekolah yang akan masuk ke dalam jenjang yang lebih tinggi sebagai pelajar di perguruan tinggi. Masa-masa orientasi mahasiswa baru atau ospek atau pkkmb ini memang berbeda dibandingkan tahun lalu. Ospek kali ini berlangsung dan tergantung dengan koneksi internet, tidak berjalan secara langsung seperti biasa. Pandemi memaksa ospek daring terlaksana.

Baru-baru ini beberapa kampus melaksanakan ospek daring, begitupun dengan kampus Saya, Universitas Siliwangi. Tak berbeda dengan kampus-kampus lain. Konsep ospek daring memaksa mahasiswa baru atau maba menjalani masa-masa ospek tanpa bertemu secara langsung dengan kakak tingkat atau teman seangkatannya.

Dan tidak merasakan secara langsung bagaimana rasanya “di ospek langsung”. Eh, ngomongin ospek daring. Baru-baru ini ada kasus ospek daring dengan rasa “di ospek langsung”, sebut saja kampus di Jawa Timur. Melakukan ospek daring, tapi ngomelin si maba karena ada atribut yang tidak lengkap. Atau di daerah Sumatera yang mabanya diminta mencoret muka karena melakukan kesalahan.

Konsep ospek memang lekat dengan perpeloncoan. Bagi beberapa kakak tingkat yang sudah jadi mahasiswa sejak lama, momen ini dianggap yang paling tepat “mengajarkan” adik-adik maba tentang apa yang disebut dengan orientasi atau masa pengenalan, dan ini berlangsung terus menerus bak lingkaran setan yang tidak ada putusnya.

Lantas, apasih penyebab ospek lekat dengan perpeloncoan? Mungkin memang pada awalnya pelaku perpeloncoan memang tidak bermaksud melakukan hal itu. Namun, memori yang pernah di alaminya mengarahkannya untuk melakukannya.

Terjadilah istilah budaya atau adat ospek di kampus. Seniornya melakukan perpeloncoan kepada adik maba, lalu adik maba jadi senior di tahun selanjutnya dan datang adik maba baru yang akan diperlakukan sama dengan apa yang dia pernah rasakan sebelumnya. Bahkan tanpa sadar tidak sengaja melakukan itu. Maka lahirlah lingkaran setan yang tidak akan putus dimakan zaman, kalau belum ada yang merubahnya. Siapa yang merubahnya? Kalian para mahasiswa yang melakukan perubahan itu. Kan Agent of Change kan, bukan agen gas elpiji.

Perpeloncoan ini sebenarnya yang gimana sih? Oke, perpeloncoan atau bullying ada banyak macamnya; ada fisik seperti hukuman fisik, ada verbal dengan makian atau perkataan kasar, dan ada cyber bullying atau perpeloncoan secara daring. Dalam kasus perpeloncoan yang terjadi rata-rata maba tidak diberikan penjelasan secara jelas dan bahkan tidak ada kesempatan menanyakan alasan dari si kakak mahasiswa kenapa melakukan hal tersebut dan kenapa kami diperlakukan seperti itu.

Saat masa pandemi ini, yang menjadi unik adalah dimana kakak-kakak mahasiswa ini yang melakukan ospek daring, masih sempat saja melakukan perpeloncoan.

Loh kan onlen, loh kak, kok masih sempat sih!!!” Apakah tidak terpikirkan oleh mereka, wajah mereka terpampang nyata loh itu di videonya, kan orang bisa ngerekam terus disebar. Aneh deh ah.

Dan yang cukup memalukan, di sini terlihat sosok mahasiswa yang masuk dalam lingkaran setan tadi. Sosok mahasiswa yang masih mencari celah melakukan aksi omelin maba, bukannya bahas aksi tolak Omnibus Law, lah ini omelin maba. Gimana yaa… Tapi pokoknya TOLAK OMNIBUS LAW!

Tapi, dibalik peristiwa perpeloncoan via koneksi internet ini, perlu diperhatikan sisi baiknya. Pertama, gambar buruk mengenai mahasiswa yang melakukan perpeloncoan jadi terlihat. Ini loh mahasiswanya. Jadi pelajaran untuk adik-adik maba, jangan lakukan perpeloncoan nanti ya pas jadi kakak tingkat. Melakukan perubahan tidak salah, kalian bebas melakukan hal tersebut, tapi perubahan memang butuh waktu dan penyesuaian.

Kedua, rasa perlawanan bukan hanya melawan kapitalis dan oligarki atau penguasa yang congkak, tapi juga mahasiswa penguasa yang congkak dan tidak memanusiakan manusia. Dan yang terakhir, paid promotenya kaka… eh bukan itu, hehe. Maksudnya menjadi mahasiswa itu perlu kritis tidak egois dan peka terhadap keadaan masyarakat, selama menjadi mahasiswa mainkan peran sebagai mahasiswa dengan bijak dan baik. Sekian.

Penyunting: Rini Trisa